Gunungan Sampah Bantargebang Menghijau, Antara Pertanda Baik dan Krisis Pengelolaan
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Gunung sampah
di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, yang selama bertahun-tahun menjadi simbol krisis pengelolaan sampah Jabodetabek, kini memperlihatkan wajah yang berbeda.
Di balik persoalan ekologis yang kian mendesak, timbunan sampah setinggi puluhan meter itu mulai menampakkan warna hijau.
Sebelumnya, gunungan sampah di
TPST Bantargebang
didominasi warna kecokelatan hingga kehitaman akibat penumpukan bertahun-tahun dan proses pembusukan yang terus berlangsung.
Gunung sampah berwarna gelap itu menjadi pemandangan yang menyeramkan dan hampir setiap hari menghiasi kawasan Bantargebang.
Ketinggian sampah di lokasi tersebut bahkan telah mencapai sekitar 70 meter, melampaui tinggi rumah-rumah warga di sekitarnya.
Tumpukan sampah yang menjulang tinggi itu seolah menandai krisis kapasitas pembuangan di Bantargebang. Sampah terpaksa ditumpuk setinggi mungkin karena hampir tidak ada lagi lahan pembuangan yang benar-benar kosong di TPST ini.
Namun, di balik kondisi yang kian mengkhawatirkan itu, pemandangan berbeda mulai terlihat.
Gunungan sampah yang sebelumnya tampak gersang dan mengerikan kini mulai menghijau. Area puncaknya ditumbuhi berbagai tanaman, menyerupai bentang gunung alami di pedesaan.
Salah satu pengepul limbah plastik, Andi (34), mengatakan penghijauan di gunung sampah
Bantargebang
terjadi secara alami.
“Itu banyak tumbuhan memang alami begitu. Sampahnya itu lebih subur dari pada tanah,” ungkap Andi.
Sampah yang menumpuk selama bertahun-tahun berubah menjadi semacam kompos, sehingga memicu tumbuhnya tanaman hijau di atasnya dan menghadirkan wajah baru Bantargebang.
Namun, menurut Andi, proses penghijauan tidak terjadi secara merata. Ia menjelaskan, air lindi yang mengalir dari timbunan sampah kerap merusak tanaman di bagian bawah.
Akibatnya, hanya bagian atas tumpukan sampah yang menghijau, sementara area bawah tetap didominasi warna kehitaman akibat paparan air lindi.
Pakar Lingkungan dari Universitas Indonesia (UI), Mahawan Karuniasa, menjelaskan terdapat dua penyebab utama gunung sampah di Bantargebang dapat menghijau.
Pertama, penghijauan bisa dilakukan secara sengaja sebagai bagian dari standar pengelolaan
landfill
atau Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang dirancang untuk menimbun limbah padat secara sistematis.
“Karena ada diurug sedikit lapisan tanah atau praktik standard
sanitary landfill
dan ditanami jenis semak atau rerumputan pioner,” ungkap Mahawan kepada Kompas.com, Jumat (12/12/2025).
Kedua, penghijauan dapat terjadi secara alami melalui kolonisasi tumbuhan pionir yang berasal dari area sekitar landfill atau dari benih yang terbawa angin maupun hewan.
Tumpukan sampah di Bantargebang juga kerap menjadi lokasi hewan ternak warga, seperti kambing, untuk mencari makan.
Kotoran hewan-hewan ternak tersebut kemudian berperan sebagai pupuk alami yang mendorong pertumbuhan tanaman di atas gunungan sampah.
Menurut Mahawan, menghijaunya gunungan sampah bukan sekadar perubahan visual, namun juga menjadi pertanda baik.
“Dalam perspektif
sanitary landfill
, pertanda baik, untuk kurangi bau, penyakit, dan potensi longsor,” ungkap Mahawan.
Namun, di sisi lain, kondisi tersebut juga menandakan bahwa sampah di Bantargebang telah menumpuk dalam waktu yang sangat lama tanpa proses pengolahan yang signifikan.
Sementara itu, volume sampah yang masuk ke Bantargebang mencapai sekitar 7.000 ton per hari, jauh melebihi kapasitas pemrosesannya.
Kondisi tersebut membuat gunung sampah di Bantargebang terus menjulang dari waktu ke waktu.
Mahawan menyebutkan, dengan rata-rata sampah Jakarta yang masuk ke Bantargebang mencapai 7.000 ton per hari, maka dalam setahun volume sampah yang tertimbun bisa mencapai 2,5 juta ton.
Saat ini, total timbunan sampah di Bantargebang diperkirakan telah mencapai 55 juta ton. Dengan kapasitas maksimal sekitar 70 juta ton, sisa daya tampung
landfill
hanya sekitar 15 juta ton.
“Kalau 15 juta dibagi 2,5 juta yang per tahunnya maka kurang lebih enam tahun ke depan,” tutur Mahawan.
Menurut dia, usia Bantargebang masih bisa diperpanjang hingga sekitar 10 tahun apabila kapasitas landfill ditingkatkan dan pengelolaan dilakukan secara optimal.
Namun, tanpa penanganan yang serius, tumpukan sampah akan terus membeludak dan berpotensi menimbulkan dampak negatif.
Dampak tersebut antara lain bau menyengat saat musim hujan atau ketika angin bertiup ke permukiman warga.
Selain itu, risiko pencemaran air dan kerusakan tanah di sekitar Bantargebang juga semakin besar akibat timbunan sampah yang terus menggunung.
Mahawan menegaskan, pemerintah tidak bisa membiarkan kondisi Bantargebang terus memburuk.
Jika dibiarkan, risiko terjadinya bencana seperti longsor sampah yang membahayakan warga akan semakin besar.
Karena itu, pemerintah perlu melakukan berbagai upaya, salah satunya dengan menyeimbangkan jumlah sampah yang masuk ke Bantargebang dengan kapasitas pengolahannya.
Bahkan, Mahawan mengemukakan opsi alternatif jika TPST Bantargebang benar-benar tidak lagi mampu menampung sampah, yakni pembangunan pulau sampah.
“Dan bagi saya mungkin rencana plan B-nya kalau memang sampai penuh, itu bisa membuat pulau sampah dengan berbagai kelemahannya,” ucap Mahawan.
Namun, ia mengingatkan agar pulau sampah tidak dikelola seperti Bantargebang yang menampung berbagai jenis sampah tanpa proses pengolahan memadai.
Sampah yang masuk ke pulau sampah harus sudah melalui proses pengolahan dan memiliki nilai tambah agar bebannya tidak sebesar Bantargebang.
Selain infrastruktur, Mahawan menekankan pentingnya regulasi yang jelas dan konsisten dalam pengelolaan sampah.
“Regulasi yang ada pun kalau pelaksanaannya kita arahkan untuk menjaga agar berapa pun jumlah sampah itu bisa seimbang dengan pemrosesannya,” kata dia.
Regulasi tersebut harus benar-benar dijalankan agar beban sampah di TPST Bantargebang dapat dikurangi. Tanpa pengolahan yang seimbang,
kondisi TPST Bantargebang
berisiko semakin
overload
.
Mahawan juga menilai dukungan politik dari pemerintah pusat, gubernur, hingga DPRD sangat dibutuhkan untuk memperbaiki kondisi Bantargebang.
Dukungan itu dapat diwujudkan melalui peningkatan prasarana
pengolahan sampah
yang sudah ada, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) dan Refuse Derived Fuel (RDF).
Kedua fasilitas tersebut perlu ditingkatkan seiring bertambahnya volume sampah Jakarta dari tahun ke tahun. Pemerintah juga disarankan menyediakan anggaran khusus untuk pembangunan sarana pengolahan sampah.
“Saya kira persoalan anggaran ini perlu dilibatkan di dalam urusan ini. Ini kepedulian pemerintah mengenai anggaran untuk TPST, tidak hanya TPST sebenarnya untuk sampah juga di seluruh Indonesia, agar tidak terjadi seperti apa yang terjadi di Bantargebang,” jelas Mahawan.
Jika pemerintah menghadapi keterbatasan anggaran, Mahawan menyarankan agar pembangunan fasilitas pengolahan sampah dapat melibatkan investor.
“Saya kira peran investor ini bisa diarahkan untuk kalau ada keterbatasan anggaran. Apakah bersedia untuk membangun berbagai unit pemprosesan yang ada di Bantargebang, sehingga tidak menggunakan anggaran pemerintah, investor ada di situ,” tutur Mahawan.
Selain itu, pengolahan sampah dari hulu, di tingkat komunitas, RT, dan RW, juga perlu diperkuat.
Dengan pengelolaan sampah yang baik di hulu, jumlah sampah yang masuk ke Bantargebang dapat ditekan.
“Kemudian, kalau sektor swasta ini tentu saja ya bisa dua, baik tadi sebagai investor ataupun sebagai konsumen berbagai produk yang dihasilkan dari berbagai proses pengolahan sampah,” ucap dia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
/data/photo/2025/12/15/693fc4aa4d61e.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/16/694106a20d39e.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/16/694104c213fc0.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/16/6940d46eaacec.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/16/6940c4e86c2c6.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/15/6940320232215.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)