Gerbong Padat dan Rutinitas Tak Berujung Jutaan Pengguna KRL
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Setiap hari, sebelum matahari terbit, jutaan warga Jabodetabek sudah bergerak menuju Jakarta dengan KRL. Dari Bogor, Depok, Tangerang, hingga Bekasi, aliran manusia mengalir menuju Jakarta sejak subuh.
Gelombang komuter menciptakan ritme harian yang bukan hanya menghidupkan ibu kota, tetapi juga membentuk
identitas sosial
para penggunanya. Aktivitas pulang-pergi ini telah mengakar begitu dalam hingga menjadi bagian dari kehidupan masyarakat urban.
Deretan gerbong KRL menjadi simbol mobilitas terbesar di kawasan metropolitan. Bagi pekerja kantoran, teknisi, mahasiswa, hingga pelajar, perjalanan panjang itu bukan sekadar perpindahan, tetapi rutinitas yang melekat pada keseharian mereka.
Rutinitas yang sama setiap pagi dan sore telah membentuk pola yang semakin mengakar, bangun sebelum matahari terbit, berebut ruang di gerbong, berdiri selama puluhan kilometer, lalu pulang pada jam yang sama bersama jutaan orang yang menempuh perjalanan serupa.
Sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Rakhmat Hidayat, memandang fenomena tersebut sebagai pola klasik yang muncul di berbagai kota besar dunia.
Menurut dia, apa yang terjadi di Jabodetabek merupakan dinamika umum ketika pusat ekonomi, pendidikan, dan jasa terkonsentrasi di satu kota.
“Ini menjadi fenomena yang lazim ya di dalam masyarakat di kota-kota besar di Asia, di Eropa ketika pusat ekonomi, perdagangan, pendidikan, dan jasa terkonsentrasi di sebuah kota,” ujarnya.
Menurut Rakhmat, keputusan banyak warga untuk tinggal di luar Jakarta dipengaruhi beragam faktor: ekonomi, budaya, psikologis, hingga kualitas hidup. Kota-kota penyangga seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi menawarkan hunian lebih terjangkau dan lingkungan yang lebih lapang.
Fenomena ini bukan khas Indonesia. Paris, Berlin, London, Seoul, hingga Tokyo menunjukkan pola serupa: warga tinggal di pinggiran namun bekerja di pusat kota berkat akses transportasi massal yang memadai.
Pada jam-jam sibuk, perpindahan besar-besaran ini membuat populasi Jakarta melonjak drastis. Menurut Rakhmat, jumlah orang yang berada di Jakarta saat jam kerja bisa dua kali lipat dari jumlah penduduk yang tinggal secara permanen.
“Misalnya bisa bayangkan Jakarta kalau jam kerja itu penduduknya bisa 30 juta jiwa tapi setelah sejam kerja itu penduduk Jakarta kurang lebih 15-20 juta jiwa,” kata Rakhmat.
Ritme harian ini menunjukkan betapa vitalnya KRL dalam ekosistem metropolitan Jabodetabek.
Dengan jarak yang jauh dan biaya hidup yang meningkat, para pekerja membutuhkan moda transportasi yang tidak hanya terjangkau, tetapi juga memungkinkan
mobilitas harian
berlangsung efisien.
Bagi para komuter, KRL adalah pilihan rasional, cepat dan terjangkau. Dengan jarak tempuh yang jauh dan biaya hidup yang tinggi, transportasi massal menjadi penopang utama mobilitas. Namun, Rakhmat menilai infrastruktur yang ada belum sepenuhnya mampu menampung kebutuhan komuter.
Jalur yang terbatas membuat beberapa rute sangat padat, terutama Bogor dan Bekasi. Waktu tempuh dapat mencapai satu hingga satu setengah jam, belum termasuk perjalanan dari rumah ke stasiun dan sebaliknya.
“Saya membutuhkan waktu satu jam sampai satu jam setengah dari rumah saya di Sawangan Depok sampai ke kampus di Rawamangun,” ujarnya.
Ia membandingkan dengan Taiwan yang memiliki jejaring transportasi lebih lengkap sehingga waktu tempuh bisa dipangkas hingga 30 menit untuk jarak serupa.
Di balik rutinitas melelahkan, muncul fenomena sosial yang khas. Gerbong KRL menjadi ruang interaksi dan tempat berkembangnya komunitas baru.
Kelompok-kelompok penumpang yang sering bertemu mulai membangun kedekatan, bahkan berlanjut ke luar keseharian. Ada kelompok ibu-ibu yang membuat grup WhatsApp, saling membawa makanan, hingga mendoakan anggota yang sakit.
Rakhmat menyebut gerbong kereta sebagai cermin dinamika sosial masyarakat urban.
“Jadi KRL itu bukan semata-mata alat transportasi tapi sebenarnya juga adalah mereka ruang sosialisasi,” katanya.
Fenomena ini menunjukkan bahwa dalam kerasnya ritme hidup perkotaan, manusia mencari cara untuk membangun kedekatan baru. Di balik wajah lelah, ada rasa kebersamaan yang muncul dari perjuangan yang sama.
Identitas sosial baru pun terbentuk. Sebutan “Anker” atau “Anak Kereta” menjadi label yang disandang para pengguna setia.
Public Relations Manager KAI Commuter Indonesia (KCI), Leza Arlan, menyebutkan, mobilitas pengguna
KRL Jabodetabek
terus meningkat dalam lima tahun terakhir. Hingga November 2025, rata-rata volume pengguna pada hari kerja mencapai 1.057.359 orang per hari.
Kepadatan tertinggi terjadi pada jam sibuk pagi dan sore, saat mayoritas masyarakat bepergian untuk bekerja.
“Peak hours
pagi jam 06.00 – 09.00 WIB, peak hours sore 16.00 – 19.00 WIB,” kata Leza saat dihubungi, Rabu (10/12/2025).
Esya (21), komuter dari Depok Baru, sudah bersiap sebelum banyak orang selesai sarapan. Setiap pukul 06.30–06.45, ia meninggalkan rumah untuk mengejar rangkaian KRL menuju Gondangdia.
Bagi Esya, KRL bukan sekadar alat transportasi, tetapi sistem yang mengatur ritme harian—cara berjalan, membawa barang, hingga manajemen waktu.
Dengan rute Depok Baru–Gondangdia, ia menghabiskan 3 jam perjalanan pulang-pergi setiap hari, atau sekitar 90 jam per bulan.
“Sangat ramai apalagi di stasiun Depok Baru dan Pondok Cina, banyak yang naik dari dua stasiun tersebut,” kata Esya.
Memasuki kereta saat jam padat membutuhkan strategi: posisi tas, langkah cepat, hingga membaca celah di antara penumpang.
“Siap-siap tas sudah berada di posisi depan, terus pas pintu sudah terbuka, langsung satset naik ke kereta, karena kalau engga satset bisa kedorong-dorong (penumpang lain),” ujarnya.
Pengalaman naik KRL setiap hari membuat Esya hafal titik pintu berhenti dan posisi gerbong yang biasanya lebih longgar.
“Sebenernya bisa dapat posisi bagus karena terbiasa, kalau tiap hari naik krl dan keretanya sama terus, bisa tau titik pintu krl berhenti tuh dimana,” katanya.
Meski hafal titik berhenti kereta, perjalanan tetap penuh tantangan. Ia pernah melepas tiga kereta karena penuh atau terhambat akibat kereta anjlok. Di dalam gerbong, ia menghadapi dorongan penumpang dan sikap acuh terhadap kursi prioritas.
“Pernah sih waktu itu sebelum ada kereta baru, bisa terlewat tiga kereta karena saking penuhnya. Terus pernah juga ada kereta yang anjlok jadi perjalanannya terhambat dan waktu tempuhnya jadi lama,” sambungnya.
Memasuki gerbong, dunia baru pun dimulai. Suasana padat, dorongan dari penumpang belakang, dan drama sosial seperti kursi prioritas yang enggan diberikan, menjadi bagian dari rutinitas.
“Desak-desakan di kereta sih jujur capek nahan dorongannya,” ujarnya.
Namun ia tetap setia naik KRL karena cepat dan murah.
“Menghemat waktu banget dan harganya murah banget cuma Rp 3.000 dari Depok Baru ke Gondangdia,” ucapnya.
Di balik kesibukan, ia juga menemukan kenyamanan kecil, seperti teman seperjalanan yang ia kenal tanpa sengaja.
“Untuk pejuang KRL, semangat terus, stay safe ya pejuang KRL,” kata Esya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Gerbong Padat dan Rutinitas Tak Berujung Jutaan Pengguna KRL Megapolitan 11 Desember 2025
/data/photo/2025/12/11/693a1b6459e88.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/12/11/693a1c0e509c2.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)

/data/photo/2025/12/09/69383395eedad.jpeg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/12/10/69392cdca5569.jpeg?w=250&resize=250,140&ssl=1)

/data/photo/2025/12/11/693aaf78059dd.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/10/693927aeb47e0.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/11/693ac9ac3d71c.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/11/693abd54b8544.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/11/693a827ff2aa4.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/11/693a6db352c7e.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)