Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Fenomena Urban Jakarta: Mengapa Banyak yang Bertahan di Gang Sempit Minim Cahaya Matahari? Megapolitan 29 Desember 2025

Fenomena Urban Jakarta: Mengapa Banyak yang Bertahan di Gang Sempit Minim Cahaya Matahari?
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Permukiman padat di Jakarta kerap dipandang sebagai kenyataan yang “sudah dari dulu ada”.
Gang sempit
, rumah berhimpitan, minim cahaya matahari, dan buruknya sanitasi seolah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari wajah kota.
Salah satunya bisa ditemui di Kampung Rawa, Johar Baru,
Jakarta
Pusat.
Dalam banyak kasus, kondisi tersebut dinormalisasi sebagai konsekuensi urbanisasi dan keterbatasan ruang di ibu kota.
Kepadatan permukiman di jantung Jakarta bukan sekadar persoalan sempitnya gang atau rapatnya bangunan rumah yang saling berhimpitan.
Di balik lorong-lorong sempit dan hunian yang tumbuh tanpa pola, tersimpan sejarah panjang tentang bagaimana sebuah wilayah perlahan dipaksa berubah dari kampung menjadi kota, tanpa pernah benar-benar dipersiapkan sebagai ruang hidup yang layak.
Situasi ini tidak lahir secara tiba-tiba. Itu merupakan akumulasi dari absennya pengaturan tata kota sejak awal, sekaligus respons warga yang berusaha bertahan hidup sedekat mungkin dengan sumber penghidupan mereka.
Ketika ruang kota tidak disiapkan secara terencana, masyarakat pada akhirnya memanfaatkan celah yang ada, menjadikan kawasan padat sebagai tempat tinggal sekaligus ruang ekonomi, meski dengan risiko yang besar.
Kondisi tersebut lambat laun dinormalisasi. Kepadatan, ketidakteraturan, dan keterbatasan fasilitas seolah dianggap sebagai keniscayaan kehidupan kota.
Pengamat sosial Rissalwan Habdy Lubis menjelaskan, urbanisasi sering dipahami sebagai arus perpindahan penduduk dari desa ke kota.
Namun, menurut dia, definisi tersebut terlalu sempit untuk menjelaskan apa yang terjadi di kawasan-kawasan padat Jakarta.
Ia menyebut Johar Baru sebagai contoh nyata urbanisasi dalam makna yang lebih struktural.
Bukan sekadar orang desa datang ke kota, melainkan wilayah yang awalnya bersifat kampung dipaksa berubah menjadi kawasan urban tanpa kesiapan infrastruktur.
“Jadi urbanisasi itu bukan berpindahnya orang dari desa ke kota, tapi urbanisasi itu definisinya adalah kondisi di mana satu area yang bersifat rural dipaksa menjadi urban,” kata dia saat dihubungi, Jumat (26/12/2025).
Proses pemaksaan ini berlangsung cepat dan tanpa perencanaan matang. Jalan sempit, bangunan tak beraturan, serta ketiadaan ruang publik menjadi ciri yang terus bertahan hingga kini.
“Nah itulah urbanisasi. Apa karakteristiknya? Tidak tertata, kalaupun ini jalannya sempit dan sebagainya,” kata dia.
Selain faktor pemicu dari atas
(top-down),
Rissalwan juga menyoroti faktor kedua yang datang dari bawah
(bottom-up),
yakni
opportunity
atau peluang ekonomi.
Warga memilih bertahan di kawasan padat karena lokasinya dekat dengan pusat aktivitas ekonomi.
“Nah kemudian penyebab kedua tadi yang saya sebutkan
opportunity
atau peluang. Nah ini kalau tadi dari segi
top-down
-nya,” kata dia.
Bagi banyak warga, tinggal di kawasan padat di pusat kota memberikan akses langsung ke pekerjaan informal.
Mereka tidak perlu mengeluarkan biaya transportasi besar dan bisa memperoleh penghasilan harian.
“Fenomena ini itu karena orang-orang pada akhirnya memanfaatkan tempat-tempat atau lokasi yang dekat dengan mereka beraktivitas ekonomi,” ujar dia.
Bahkan, dalam periode tertentu, kawasan tersebut pernah dimanfaatkan sebagai penginapan murah bagi pekerja sektor informal, meski dengan kondisi yang sangat tidak layak.
“Penginapan, satu malam Rp 5.000, tapi sangat tidak layak, karena memang bahaya, padat dalam arti orang cuma disusun-susun. Mirip kayak hotel kapsul, tapi ini dalam versi yang lebih murah,” kata dia.
Kondisi hunian yang sempit, gelap, dan padat bukan berarti tidak disadari oleh penghuninya.
Namun, bagi banyak warga, kondisi tersebut masih dianggap lebih “menguntungkan” dibandingkan harus kembali ke kampung halaman tanpa kepastian penghasilan.
“Kenapa mereka bertahan? Terkait dengan
opportunity
tadi, bahwa mereka pada akhirnya memang bisa mendapatkan sumber penghidupan di sana,” ujar dia.
Menurut Rissalwan, sektor jasa di kota memberikan hasil yang instan. Penghasilan bisa diperoleh dalam hitungan jam atau hari, berbeda dengan sektor pertanian di desa yang membutuhkan waktu lebih lama.
“Jadi kita bekerja hari ini, dapat kerja hasil hari ini. Tapi kalau kembali ke kampungnya, harus bertani misalnya, paling tidak harus menunggu satu bulan, dua bulan, bahkan ada yang mungkin sampai tiga bulan,” ujarnya.
Kepadatan ruang tidak hanya berdampak pada kualitas hunian, tetapi juga pada kondisi psikologis dan sosial warga.
Rissalwan menilai tingkat stres masyarakat di kawasan padat cenderung tinggi.
“Akibatnya apa? Mereka stressnya tinggi. Tingkat stressnya tinggi masyarakat di situ. Sering sekali terjadi tawuran,” ujar dia.
Gesekan sosial kerap muncul bukan dalam skala besar, melainkan konflik sehari-hari antarwarga yang dipicu ruang hidup yang terlalu sempit.
“Mungkin bukan tawuran yang dalam konteks antarkampung, tapi mungkin perkelahian atau pertengkaran antar rumah, antar RT,” kata dia.
Kampung-kampung padat di Jakarta tidak boleh terus dibiarkan dalam kondisi saat ini.
Ia mendorong transformasi kawasan menjadi permukiman yang lebih layak dan terencana.
“Saran saya sih dalam jangka panjang memang kota, kampung-kampung di kota itu harus ditransformasi,” ujar dia.
Ia menyarankan pendekatan konsolidasi tanah dan pembangunan hunian vertikal sebagai solusi jangka panjang, agar kawasan tersebut benar-benar menjadi bagian dari kota yang beradab.
“Saya lebih mendorong dalam tanda kutip kampung-kampung di Jakarta, itu ditransformasi menjadi pemukiman yang lebih layak, yang lebih modern, yang lebih ‘kota’,” kata dia.
Minah (54) salah seorang warga di Kampung Rawa, Johar Baru, Jakarta Pusat telah menjalani hidup selam puluhan tahun di permukiman tersebut.
Hidup Minah tak pernah benar-benar lepas dari gang sempit, sejak kecil hingga kini berusia 54 tahun, ruang hidupnya terus menyempit seiring waktu, sementara bangunan di sekelilingnya tumbuh meninggi.
Rumah berukuran sekitar 2×4 yang kini ia tempati bukan pilihan ideal, melainkan hasil dari keadaan mendesak yang memaksa keluarganya mengambil keputusan besar puluhan tahun lalu.
Rumah yang lebih layak terpaksa dilepas demi menyelamatkan nyawa sang ibu yang kala itu harus dirawat di rumah sakit.
Tanpa jaminan kesehatan dan tanpa pilihan lain, keluarga Minah menjual rumah bagian depan. Sejak saat itu, Minah menempati ruang kecil di belakang yang kemudian menjadi satu-satunya tempat ia bertahan hingga kini.
“Saya di sini udah dari lahir. Dari rumah saya yang ke depan tuh, ibu kan dirawat di rumah sakit dulu, kan enggak pakai BPJS kan dulu. Jadi itu buat nebus ibu dijual nih rumahnya yang depan. Jadi saya nempatin ini segini sepetak,” ujar dia.
Saat itu, Minah masih berusia sekitar 20 tahun. Sejak hari itu pula, hidupnya berjalan di ruang yang sama, tanpa banyak perubahan.
Rumah sepetak tersebut menjadi tempat ia melewati masa dewasa, menikah, membesarkan anak, hingga menua.
Puluhan tahun berlalu, namun luas ruang tinggalnya tetap, bahkan terasa makin sempit akibat bangunan sekitar yang terus bertambah tinggi.
“Waktu itu saa masih umur 20 tahun. Berarti udah 34 tahun tahun saya di sini, waktu belum punya suami,” ujarnya.
Pada awalnya, Minah tinggal bersama kedua orang tuanya. Ia adalah satu-satunya anak yang menetap dan merawat mereka, sementara saudara-saudaranya tinggal terpisah.
Rumah sempit itu menjadi ruang bersama keluarga kecil yang harus berbagi keterbatasan setiap hari.
“Dulu Saya di sini sama orangtua, anak satu-satunya. Tadinya tiga cuman di pisah-pisah, jadi saya sendiri ikut orang tua, mas,” ungkapnya.
Seiring waktu, jumlah penghuni rumah berubah. Minah sempat tinggal bersama suami dan anak-anaknya.
Namun, beberapa hari sebelum wawancara dilakukan, suaminya meninggal dunia. Kepergian itu kembali menegaskan betapa terbatasnya ruang hidup yang mereka miliki.
“Kalau sekarang di sini tiga orang. Kemarin ayahnya (suami) baru meninggal, tadinya empat baru 7 hari,” katanya.
Di dalam rumah, suasana terasa lembap saat hujan dan panas saat siang hari. Sirkulasi udara sangat terbatas. Namun, Minah telah terbiasa dengan kondisi tersebut.
“Ya begini aja udaranya. Kalau hujan lembap, Kalau misalnya panas ya udaranya agak panas. Agak panas sedikit,” kata dia.
Meski hidup di lingkungan yang minim cahaya dan udara, Minah tidak mengaitkan kondisi rumahnya dengan masalah kesehatan keluarga.
Ia menilai sakit yang diderita almarhum suaminya bukan disebabkan oleh lingkungan tempat tinggal.
“Cuma ya kita nempatinya sehat-sehat aja sih. Alhamdulillah. Bapaknya aja baru kemarin umur 64 baru kena ginjal Itu pun akibat kurang minum. Bukan gara-gara lingkungan,” ujar dia.
Karena cahaya matahari hampir tidak pernah masuk ke rumah, lampu menjadi kebutuhan utama. Lampu di rumah Minah menyala selama 24 jam penuh.
Kondisi gang yang tertutup oleh tembok tinggi membuat rumahnya seperti berada di lorong bawah tanah. Tanpa lampu, rumah akan gelap gulita.
“Nyala 24 jam, Kalau dimatiin gelap kayak goa sebab kan ini kehalang sama tembok,” ungkap dia.
“Di atas juga kehalang sama tembok. Ini kan tadinya nggak tinggi,Jadi masih ada sinar matahari Sekarang udah tinggiin semua,” sambungnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.