Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Dilema Pengamen Ondel-ondel: Antara Jaga Marwah Budaya atau Bertahan Hidup Megapolitan 4 Desember 2025

Dilema Pengamen Ondel-ondel: Antara Jaga Marwah Budaya atau Bertahan Hidup
Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com –
Di gang-gang sempit Kramat Pulo, Senen, Jakarta Pusat, deru kehidupan beradu dengan denting musik Betawi yang keluar samar dari ponsel para remaja.
Anak lelaki usia belasan tahun tampak bergantian memasang kepala
ondel-ondel
kecil yang warnanya memudar, bersiap turun ke persimpangan jalan.
Bagi mereka, boneka besar warisan
budaya
Betawi ini bukan lagi simbol perayaan atau tradisi, melainkan alat mencari nafkah.
Kampung Ondel-ondel sudah lama dikenal sebagai kantong pengrajin dan pelaku seni Betawi. Namun beberapa tahun terakhir, wajah kampung berubah.
Anak-anak
putus sekolah
usia 10–15 tahun semakin banyak terlihat menyewa ondel-ondel kecil untuk mengamen ke berbagai titik keramaian.
“Kebanyakan dari mereka putus sekolah, jadi ya kita berdayakan. Daripada mereka keluyuran enggak jelas,” kata pengrajin ondel-ondel Firli (44), generasi penerus dari salah satu penggerak tradisi di kawasan itu.
Firli masih mendapatkan pesanan ondel-ondel untuk acara-acara tertentu, tetapi pemasukan utamanya kini justru bersumber dari setoran anak-anak yang mengamen, yakni sebanyak Rp 20.000–30.000 per hari.
Bila hujan atau patroli Satpol PP digencarkan, mereka sering pulang tanpa hasil.
“Sekarang orang banyak yang enggak paham makna ondel-ondel. Dilihatnya cuma buat cari duit,” ujar Firli.
Ia tidak menampik bahwa realitas ekonomi membuat anak-anak menjadikan ondel-ondel sebagai tumpuan nafkah.
Tekanan patroli di Jakarta juga membuat mereka merambah ke Tangerang, Depok, Bekasi, hingga Merak.
Firli berharap pemerintah tidak hanya menertibkan, tetapi memberi alternatif.
“Kalau mau larang ya boleh, tapi kasih kegiatan seni, atau bantuan untuk UMKM. Kampung ini bisa jadi kampung wisata,” katanya.
“Ondel-ondel enggak pernah berubah maknanya. Yang berubah adalah pemahaman masyarakat,” kata Yahya.
Menurutnya, komodifikasi ondel-ondel demi bertahan hidup bukan hanya merugikan estetika budaya, tetapi juga menempatkan simbol Betawi itu dalam situasi yang tidak layak.
“Pemanfaatan yang kreatif dengan pakem yang benar itu baik. Tapi kalau dipakai semata-mata cari duit atau survive hidup, itu menghina dan merugikan budaya,” ujarnya.
Yahya menekankan perlunya pemerintah menyediakan ruang aman untuk mempertahankan fungsi budaya ondel-ondel tanpa harus menempatkannya di jalanan.
Dari sisi pemerintah, penertiban tetap harus dilakukan. Kepala Satpol PP Jakarta Pusat Purnama Hasudungan menegaskan bahwa ondel-ondel adalah ikon budaya Betawi yang tidak selayaknya digunakan untuk mengamen.
“Ondel-ondel itu ikon budaya. Wajib kita jaga, bukan dijadikan hal-hal yang membuat estetika kurang baik,” ujarnya.
Penertiban dilakukan berdasarkan Perda 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum yang melarang aktivitas mengamen, termasuk menyuruh orang lain untuk mengamen. Namun di lapangan, situasinya jauh lebih rumit.
“Mereka punya tempat untuk mengekspresikan keahliannya, bukan di jalan,” kata Purnama. Kenyataannya, ruang tersebut belum benar-benar tersedia.
“Dulu orang bikin ondel-ondel karena banyak acara arak-arakan. Sekarang acara formal jarang, jadi anak-anak banyak yang pakai buat jalan,” ucapnya.
Ia menyebut tradisi pengrajin menurun, tak kuat menandingi kebutuhan ekonomi warga.
“Sekarang lebih banyak yang pakai daripada yang bikin,” ujarnya.
Endang berharap pemerintah memberi perhatian agar kampung ini kembali hidup sebagai ruang budaya.
“Kalau dijadikan kampung wisata, mungkin anak-anak enggak perlu turun ke jalan,” katanya.
Fenomena
pengamen ondel-ondel
memunculkan dilema yang tak mudah diselesaikan, yakni bagaimana menjaga marwah budaya Betawi tanpa menutup mata terhadap
kesulitan ekonomi
masyarakat.
(Reporter: Lidia Pratama Febrian | Editor: Abdul Haris Maulana)
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.