Dilema Larangan Pesta Kembang Api: Empati Korban Bencana dan Kekhawatiran Pedagang
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Pergantian tahun di Jakarta tahun ini tidak lagi semata dimaknai sebagai pesta cahaya dan dentuman di langit malam.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memilih menarik rem perayaan, menyusul bencana alam yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera.
Imbauan hingga larangan menyalakan
kembang api
menjadi simbol sikap empati, bahwa euforia seharusnya ditahan ketika duka masih menyelimuti daerah lain.
Kebijakan itu disampaikan bukan tanpa alasan. Di tengah suasana nasional yang masih dibayangi kabar korban, pengungsian, dan kerusakan akibat bencana, pesta kembang api dianggap berpotensi melukai rasa solidaritas.
Perayaan yang identik dengan hura-hura dinilai tidak sejalan dengan semangat kebersamaan dan kepedulian antardaerah.
Namun, di tingkat akar rumput, kebijakan ini bersinggungan langsung dengan kehidupan pedagang kecil yang menggantungkan pemasukan pada momentum akhir tahun.
Bagi mereka,
tahun baru
bukan sekadar perayaan, melainkan satu dari sedikit kesempatan dalam setahun untuk memutar roda ekonomi.
Sasarannya dianggap mengarah pada perayaan besar, acara resmi, atau konsumsi kembang api berskala besar.
Namun, dalam praktiknya, gema larangan itu merembes hingga ke lapak-lapak sederhana di pinggir jalan.
Di sejumlah titik di Jakarta, termasuk Tanah Abang, pedagang kembang api tetap muncul. Namun, jumlah barang yang dijual lebih terbatas.
Tidak ada lagi stok besar atau variasi mencolok. Lapak-lapak terlihat lebih sederhana, seolah berdagang sambil menunggu situasi.
Di Tanah Abang, suasana jelang Tahun Baru tetap hidup, tetapi tidak seramai biasanya. Trotoar dipenuhi payung warna-warni yang menaungi kardus-kardus kembang api.
Pembeli datang dan pergi tanpa keramaian berlebihan. Tidak ada teriakan menawarkan dagangan. Para pedagang lebih banyak duduk, menunggu, dan mengamati sekitar.
Sesekali mereka berdiri saat ada calon pembeli yang berhenti. Di antara deretan lapak itu, Linda menjadi salah satu pedagang yang sudah akrab dengan ritme musiman ini.
Baginya, jualan kembang api bukan hal baru, melainkan rutinitas tahunan yang dijalani dengan perhitungan matang.
“Sudah biasa tiap tahun, kalau jual beginian (kembang api) kan enggak bisa tiap hari,” kata Linda saat ditemui di kawasan Tanah Abang, Senin (29/12/2025).
Pengalaman panjang membuat Linda memahami betul risiko yang melekat pada dagangan kembang api.
Ia memilih jenis barang yang menurutnya masih aman dan tidak berpotensi menimbulkan masalah keselamatan.
Dalam kondisi larangan seperti sekarang, kehati-hatian menjadi prinsip utama.
Ia menyadari, ruang gerak pedagang kecil semakin sempit ketika kebijakan empati diberlakukan secara luas.
“Cuma saya jual barang-barang enggak bahaya,” kata dia.
Meski demikian, permintaan dari masyarakat tidak sepenuhnya hilang. Masih ada pembeli yang mencari kembang api untuk anak-anak atau sekadar simbol kecil perayaan.
“Yang beli mah ada aja, biasanya ibu-ibu beli buat anak,” kata dia.
Linda mengetahui soal larangan menyalakan kembang api tahun ini.
Ia memahami bahwa kebijakan tersebut berkaitan dengan empati atas bencana di Sumatera, meski menurutnya dampak langsung lebih terasa di kalangan pedagang kecil.
Larangan ini membuat pedagang enggan menyetok barang dalam jumlah besar. Modal yang dimiliki pun dijaga agar tidak terjebak dalam stok yang tak terjual.
Bagi pedagang kecil, barang yang mengendap berarti uang yang tidak berputar.
“Makanya kita beli enggak banyak-banyak. Takutnya enggak laku duit kita
mendem,”
ujar dia.
Linda menyebut modal awal yang ia gunakan relatif terbatas. Ia tidak berani mengambil risiko besar di tengah situasi yang tidak pasti.
“Ini sih dari bos dikirimin, kalau modal awal kita paling Rp 1 juta,” kata dia.
Hasil penjualan pun jauh dari kata pasti. Ada hari yang sedikit, ada pula hari yang nyaris tanpa transaksi.
“Enggak tentu (lakunya) paling Rp 100.000 yang laku juga kan paling kembang api aja,” kata dia.
Karena ketidakpastian itu, ia memilih tidak menambah stok baru. Dagangan yang dijual merupakan sisa dari tahun sebelumnya.
“Ini kan kita karena sisa (tahun lalu) nggak beli lagi,” ujar dia.
Meski sadar risiko, Linda tetap memilih berjualan. Baginya, membiarkan barang tersimpan tanpa dijual justru lebih merugikan.
“Jadi kita, ya, kita lakuin aja daripada nggak jadi duit. Mendingan jadi duit, kan, sayang,” katanya.
Selain soal penjualan, bayang-bayang razia juga menjadi pertimbangan. Namun, Linda membedakan dengan jelas antara kembang api dan petasan berdaya ledak tinggi.
Ia merasa kebijakan penertiban lebih menyasar jenis barang tertentu.
“Emang kalau petasan dirazia, kalau kembang api kan ada surat izinnya,” kata dia.
Selama bertahun-tahun berdagang, ia mengaku relatif aman dari penertiban. Situasi di lapaknya cenderung kondusif.
“Kalau yang razia-razia tuh yang kayak petas-petasan, Tapi saya sih,
alhamdulillah,
ini udah berapa tahun-tahun aman aja,” ujar dia.
Cerita serupa datang dari Siti (bukan nama sebenarnya), pedagang lain di Tanah Abang. Ia juga merasakan dampak langsung dari
larangan kembang api
tahun ini.
Bagi Siti, jualan kembang api hanyalah usaha musiman untuk menutup kebutuhan akhir tahun.
“Saya jualan kembang api itu baru sekitar lima tahunan ini. Setiap mau tahun baru aja. Kalau hari biasa saya jualan nasi uduk pagi-pagi,” kata dia.
Ia memahami alasan empati di balik larangan tersebut, tetapi tetap berada di posisi sulit sebagai pedagang kecil.
“Saya paham maksudnya. Kita juga sedih ada bencana. Tapi di sisi lain, buat pedagang kecil kayak saya, ini satu-satunya kesempatan setahun,” ujar dia.
Informasi soal larangan kembang api menjelang Tahun Baru diterima warga dengan cara yang beragam.
Tidak semua mendapatkan penjelasan utuh. Sebagian hanya menangkap kabar sekilas dari media sosial atau obrolan di grup percakapan.
Bagi ibu rumah tangga bernama Rina (36), larangan tersebut terdengar samar. Ia tahu ada pembatasan, tetapi tidak memahami detailnya.
Kondisi ini membuatnya berada di posisi yang serba tanggung, antara mengikuti imbauan dan menanggapi keinginan anak-anak di rumah.
“Iya, saya sih dengar katanya kembang api sama petasan itu dilarang di Jakarta. Cuma ya dengarnya sekilas-sekilas doang,” kata Rina saat ditemui, Senin.
Ia tidak tahu apakah larangan berlaku untuk semua jenis kembang api atau hanya yang berskala besar dan berbahaya.
“Detailnya saya juga nggak ngerti. Dilarangnya semua apa cuma yang gede-gede, saya juga nggak tahu,” kata dia.
Meski begitu, Rina memahami alasan di balik imbauan tersebut. Ia menangkap pesan empati terhadap korban bencana di Sumatera sebagai hal yang patut dihormati.
Namun di sisi lain, ia juga menghadapi kenyataan sosial di lingkungan tempat tinggalnya, di mana anak-anak sudah lama menunggu momen pergantian tahun.
Dalam situasi itu, keputusan orangtua menjadi tidak sederhana.
“Karena tiap tahun juga begini. Anak-anak sudah nunggu dari lama. Mereka lihat tetangga main, temannya main, masa anak sendiri nggak dikasih,” ujar dia.
Rina tidak menolak esensi dari larangan tersebut. Ia hanya merasa penerapannya menjadi rumit ketika dihadapkan pada anak-anak yang belum sepenuhnya memahami empati.
“Saya ngerti sih maksud larangannya. Buat keamanan, buat empati juga katanya. Cuma ya itu, kalau dilarang total, anak-anak kasihan enggak ngerti juga, kan setahun sekali,” kata dia.
Pandangan lain datang dari Agus (41), yang menilai larangan kembang api hampir selalu muncul setiap akhir tahun.
Bagi Agus, kembang api telah menjadi bagian dari pengalaman Tahun Baru anak-anak.
Ia mengakui, tanpa suara dan cahaya kembang api, momen pergantian tahun terasa hambar bagi mereka.
Agus memilih jalan tengah dengan tetap mengawasi anaknya saat bermain.
Ia berharap kesadaran semacam ini juga dimiliki oleh orangtua lain agar perayaan tidak berubah menjadi insiden.
“Anak-anak kan setahun cuma nunggu ini Kalau enggak ada kembang api, tahun baru rasanya kaya nggak ada apa-apanya,” ujar dia.
Meski demikian, Agus memahami konteks empati yang melatarbelakangi imbauan tersebut.
Ia tidak menutup mata terhadap penderitaan korban bencana dan mengakui bahwa alasan itu masuk akal.
“Sebenernya saya tahu kok ini lagi diminta empati buat korban bencana, saya juga kasihan,” kata dia.
Meski begitu, Agus memilih mengambil jalan tengah. Ia merasa masih ada ruang kompromi dengan membatasi jenis dan skala kembang api yang dimainkan anak-anak, selama tetap dalam pengawasan.
“Lagian kan kita juga bakar kecil-kecilan aja enggak yang sampai gede gitu, sewajarnya anak-anak aja,” kata Agus.
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Pol PP) DKI Jakarta, Satriadi Gunawan, menegaskan bahwa larangan penjualan kembang api dan petasan menjelang Tahun Baru dilakukan tidak bersifat mutlak.
Melainkan lebih menekankan pada kegiatan yang dilakukan oleh
event-event
besar dan pertimbangan empati terhadap korban bencana di Sumatera.
Menurut dia, Pol PP tetap melakukan imbauan kepada pedagang agar memperhatikan kondisi sosial saat ini.
“Karena kan sedang ada keprihatinan kita terhadap masyarakat yang tertimpa musibah di Sumatera, jadi mengimbau untuk itu,” ujar Satriadi.
Sementara pengawasan terhadap masyarakat umum terbatas, dengan fokus pada edukasi dan imbauan ketimbang tindakan langsung.
Pendekatan ini juga dilakukan bekerja sama dengan TNI dan Polri, agar penggunaan kembang api di masyarakat dapat berkurang secara sukarela.
“Pol PP berupaya untuk melakukan imbauan, imbauan kepada para penjual-penjual petasan untuk berprihatinlah mengajak mereka agar tidak menjual atas keprihatinan yang sudah kita laksanakan,” kata dia.
Pengamat sosial, Rakhmat Hidayat menekankan, larangan menyalakan kembang api di Jakarta tahun ini bukan untuk meniadakan tradisi, tetapi sebagai bentuk arif dan bijaksana.
Masyarakat diminta menunjukkan apresiasi dan simpati terhadap korban bencana.
Hal ini tidak hanya menjadi tanda solidaritas, tetapi juga mengurangi pemborosan energi, listrik, dan biaya materiil yang biasanya muncul dari pesta besar.
“Menurut saya memang ini secara arif dan bijaksana memang lebih baik tidak menyalakan
kembang api tahun baru
di seluruh Indonesia adalah bentuk apresiasi, penghargaan, simpati,” kata dia.
Menurut Rakhmat, imbauan gubernur Jakarta harus diturunkan ke tingkat yang lebih rendah, seperti wali kota, camat, lurah, hingga RT dan RW.
Dengan koordinasi berlapis, pengawasan terhadap perayaan yang masih dilakukan warga bisa lebih efektif.
“Menurut saya itu harus diturunkan pada level yang lebih konkret di bawahnya, yaitu di surat edaran dari wali kota, misalnya, dan wali kota juga menurunkan pada level di lingkungan masyarakat yang lebih kecil, sehingga itu akan menjadi lebih instruksional,” kata Rakhmat,\.
Menurut dia, larangan pesta kembang api seharusnya dipandang sebagai kesempatan untuk melakukan refleksi bersama.
Warga bisa berkumpul untuk doa bersama, berbagi makanan, atau mengumpulkan donasi.
Cara ini dinilai lebih bermakna dibanding merayakan dengan kembang api dan petasan yang sifatnya konsumtif dan terbatas pada hiburan sesaat.
“Jadi saatnya kita memang lebih menunjukkan kepedulian kepada masyarakat, yang memang menjadi penyintas bencana tersebut,” ujar dia.
Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, menegaskan bahwa larangan penggunaan kembang api berlaku menyeluruh.
Keputusan ini mencakup seluruh kegiatan, baik yang digelar oleh pemerintah maupun pihak swasta, sebagai bentuk penyesuaian dalam menyambut pergantian tahun.
“Dalam menyambut Natal dan Tahun Baru, maka, terutama untuk tahun baru, saya sudah memutuskan untuk Jakarta tidak ada kembang api, baik yang dilakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta maupun oleh swasta,” ujar Pramono di Balai Kota Jakarta, Jakarta Pusat, Senin (22/12/2025).
Sementara itu, Wakil Gubernur DKI Jakarta, Rano Karno, menekankan keterbatasan pemerintah dalam mengawasi masyarakat yang merayakan Tahun Baru secara individual di ruang terbuka.
Larangan lebih diarahkan kepada penyelenggara acara berskala besar untuk memastikan kepatuhan tetap terjaga.
“Kami tidak bisa melarang masyarakat menyalakan kembang api. Tidak mungkin kami memeriksa masyarakat yang ada di Monas atau ada di mana untuk tidak menyalakan kembang api,” ucap Rano.
Sebagai alternatif hiburan, Pemprov DKI menyiapkan pertunjukan drone di delapan titik strategis, termasuk di kawasan GBK, Sudirman, dan Kota Tua.
Pertunjukan ini turut diiringi penampilan sejumlah musisi, sehingga momen pergantian tahun tetap terasa meriah meski tanpa kembang api.
“Kami mengabarkan kepada masyarakat Jakarta bahwa tahun ini, tahun baru kita tidak kita meriahkan dengan kembang api. Tapi tidak mengurangi rasa juga bahagia, kita adakan drone. Drone cukup banyak, cukup besar, dengan transisi,” ujar Rano.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Dilema Larangan Pesta Kembang Api: Empati Korban Bencana dan Kekhawatiran Pedagang Megapolitan 30 Desember 2025

/data/photo/2024/12/30/6771a4e2dba71.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/12/28/6950b35d04453.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/12/30/695370d872c21.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/12/30/695367706bdf5.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/12/24/694b7a2a42d7f.jpeg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/12/30/69539e7f7dd51.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2024/12/30/6771a4e2dba71.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/30/6952d0e4767bf.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/28/6950b35d04453.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/24/694b17eea1f6d.png?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/30/695370d872c21.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)