Di Balik Sunyinya Pemakaman Jakarta: Menyusuri Cerita Para Penjaga Makam
Penulis
JAKARTA, KOMPAS.com –
Di tengah riuh kehidupan Jakarta, ada pekerjaan yang jarang disorot tetapi berjalan setiap hari tanpa henti, yakni menjaga dan menggali makam.
Di berbagai
TPU di Jakarta
, orang-orang yang menjalankan tugas ini menghadapi kondisi lapangan yang tidak mudah, cuaca yang kerap ekstrem, serta tekanan pekerjaan yang berlangsung 24 jam.
Dalam keseharian mereka, ada kisah tentang keteguhan, kesabaran, dan ketidakpastian hidup.
Siang yang teduh di TPU Rorotan, Jakarta Utara, memperlihatkan suasana yang kontras dengan hiruk pikuk kota.
Hanya deru angin dan barisan nisan yang menemani sejumlah petugas Penyedia Jasa Lainnya Perorangan (PJLP) berseragam hijau muda saat mereka menjalankan rutinitas.
Kholil (25), salah satu petugas penggali makam, duduk sejenak menikmati waktu istirahat seusai menggali dua liang baru.
Topi hitam yang ia pegang di pangkuannya sesekali ia putar, menandai letih setelah pekerjaan fisik yang berat.
Ia bekerja di bawah Dinas Pertamanan dan Kehutanan (Distamhut) DKI Jakarta, dan hari itu ia ditemui setelah menjalani separuh pekerjaannya.
“Kita kerja pakai tim, satu tim 6–7 orang. Totalnya ada lima grup, semuanya masuk tiap hari,” jelasnya.
Tidak ada sistem piket. Setiap tim masuk bersama setiap hari, bekerja bergantian dari satu galian ke galian berikutnya.
Kholil menyebut bahwa pekerjaannya menuntut kesiapsiagaan penuh.
“Kalau untuk absen kita jam 07.00 WIB itu sudah absen. Absen pulang ya jam 16.00 gitu kan. Tapi kalau untuk kerjanya kita 24 jam harus siap. Kalau misalkan ada galian malam nih, ya kita harus siap malam-malam,” ujar dia.
Beberapa kali ia harus menggali pada malam hari karena keluarga jenazah datang dari luar kota atau karena kondisi jenazah harus segera dimakamkan.
“Harus segera dikubur, bau kan,” katanya.
Ketika galian selesai lebih cepat daripada kedatangan keluarga, ia dan tim memilih berjaga hingga prosesi pemakaman tuntas.
Penerangan di TPU Rorotan cukup baik, sehingga bekerja malam bukan kesulitan bagi mereka.
“Kalau untuk malam sih enggak ngaruh (penerangan). Malam enak, sejuk kalau malam. Enggak panas ya, aman kerjanya,” ujar Kholil.
Di lapangan, kondisi kerja tidak selalu bersahabat. Saat hujan deras, tanah menjadi licin dan becek, membuat pacul sulit dikendalikan.
Lumpurnya yang tebal memperlambat pekerjaan sekaligus meningkatkan risiko ambles di area galian.
Penghalang lain datang dari akar pohon yang melintang di bawah tanah hingga batu keras.
“Kalau akar kan susah. Kadang melintang gini akarnya. Kalau sudah melintang gini, panjang ya, kita harus pakai mesin potong,” ucap Kholil.
Dalam kondisi seperti itu, mereka kerap memakai palu besar atau gergaji agar kedalaman liang tetap sesuai standar.
Ada pula titik-titik makam yang cepat mengeluarkan air tanah. Dalam situasi itu, kedalaman galian kerap disesuaikan dan harus dijelaskan terlebih dahulu kepada keluarga.
Kholil menegaskan bahwa peralatan kerja tersedia cukup lengkap, dari pacul pribadi hingga mesin gergaji yang dibagikan per tim. Mereka pun terdaftar dalam BPJS Ketenagakerjaan untuk perlindungan risiko kerja.
“Kalau parah langsung pastiin bawa ke puskesmas. Kalau enggak mah, ya kita obatin biasa aja,” imbuh dia.
Statusnya sebagai PJLP harus diperpanjang setiap tahun. Meski begitu, Kholil tidak banyak menuntut.
“Kalau untuk diperpanjang, ya paling semoga diperpanjang teruslah kontraknya. Itu aja sih,” kata dia.
Saat ditemui, tubuhnya basah oleh keringat di bawah terik matahari. Ia merapikan sebuah makam yang rusak sambil bekerja tanpa alas kaki.
Dua ember air di sampingnya menjadi satu-satunya fasilitas untuk membersihkan diri dari tanah yang menempel.
“Iya saya yang di sini, ngerapiin, ngerawat lah hari-hari. Tapi saya sebenernya kerja, kuli aja saya mah,” ujarnya.
Kalong bekerja di bawah seorang pemegang wilayah yang membagi pendapatan dari pemberian keluarga penziarah. Penghasilannya jauh dari layak.
“Biasanya (sebulan) dapat ya paling Rp 150.000 kalau dari ngerapiin. Soalnya sistemnya bagi hasil juga. Jadi misalnya dikasih uang Rp 50.000, nanti bagi dua sama bos, belah semangka aja (bagi rata),” kata dia.
Uang Rp 10.000–Rp 20.000 adalah nominal yang kerap ia terima.
Desember adalah satu-satunya bulan yang bisa dianggap “panen kecil”, ketika banyak makam perlu dirapikan akibat hujan atau tanah turun.
“Biasanya di bulan 12 itu sama bos digaji Rp 400.000. Tapi kadang tergantung permintaan juga,” katanya.
Istrinya membantu mencari nafkah dengan berjualan bunga ziarah dan kopi di pos kecil yang juga menjadi tempat mereka tidur tiap malam.
“Alhamdulilah ada pemasukan dari istri juga. Istri jualan kopi sama bunga buat nyekar, bisa nambahin,” ucapnya.
Sesekali, Kalong mendapat tambahan saat membantu proses penggalian.
“Biasanya kalau bantu ngegali dapat lebihan, bisa Rp 50.000,” katanya.
“Saya kalau malem sama istri tidur paling di pos situ. Aslinya saya orang Dadap, Tangerang sana, tapi kalau hari-hari ya di sini, biar gampang kerjanya,” kata dia.
Tinggal di area pemakaman membuatnya siaga 24 jam untuk pemakaman mendadak.
“Kalau biasanya ada yang malem juga tuh mau dimakamin, ya tetep makamin, malem juga. Standby terus kita,” ceritanya.
TPU Tegal Alur sendiri rawan banjir. Makam bisa hilang tertutup air, terutama saat hujan ekstrem.
“Di sini kan rawan banget banjir. Kalau banjir tuh sampai makamnya enggak keliatan lagi, banyak yang pada rusak,” keluhnya.
Meski begitu, ia merapikan kembali makam-makam rusak, termasuk yang tak pernah lagi dikunjungi keluarga.
Ada nilai kemanusiaan yang ia pegang: makam, tak peduli siapa pemiliknya, harus tetap dirawat.
“Soalnya mau dikata enggak ada orang keluarga yang dating, sudah kayak ada rasa tanggung jawab juga buat saya,” ucapnya.
Kalong menyadari jurang kesejahteraan antara dirinya dan petugas resmi Sudin Pertamanan.
“Kalau tim ijo itu mangkas-mangkas rumput tanemannya, kalau saya kan makamnya langsung,” jelasnya.
Ia sangat ingin menjadi PJLP agar memiliki kepastian gaji dan perlindungan kerja. Namun, pendidikan adalah tembok besar.
“Saya ijazah SD doang punya nya, setahu saya mah kalau mau jadi PJLP itu minimal ijazahnya SMP. Kalau saya enggak bisa,” lanjutnya.
Pandemi Covid-19 menjadi titik balik hidupnya. Sebelumnya ia bekerja sebagai buruh pabrik, hingga gelombang PHK membuatnya kehilangan pekerjaan. Sejak itu, makam menjadi tempat ia bertahan hidup.
“Habis itu ya begini aja, nguli, nukang, terus tiga tahun ini lah jaga makam,” ujarnya.
Di balik kelelahan dan penghasilan yang jauh dari cukup, ia tetap berharap satu hal, yakni perhatian.
“Pengin diperhatikan juga, masih ada juga kerja di makam yang hidupnya ya kayak saya begini, tapi ya mau bagaimana lagi, legowo aja,” katanya.
(Reporter: Omarali Dharmakrisna Soedirman, Ridho Danu Prasetyo | Editor: Ambaranie Nadia Kemala Movanita, Larissa Huda)
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Di Balik Sunyinya Pemakaman Jakarta: Menyusuri Cerita Para Penjaga Makam Megapolitan 2 Desember 2025
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5113256/original/044427700_1738217921-20250130-Banjir_RW_13-GANG_2.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/12/03/692fcdec1a97e.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/11/06/690c8c8f0f45d.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)

:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5428645/original/058850800_1764557016-Kebakaran_di_RS_Pengayoman.jpeg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/11/27/69285ea33398d.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2024/12/06/67527840768a0.png?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2017/12/20/1716285305.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2023/11/08/654b347a94825.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/05/693239b871628.jfif?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2021/12/05/61acdd2a73645.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/11/02/690767c45d7f1.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)