Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Di Ambang Krisis Daya Tampung, Usia TPST Bantargebang Diprediksi Tinggal 6 Tahun Megapolitan 15 Desember 2025

Di Ambang Krisis Daya Tampung, Usia TPST Bantargebang Diprediksi Tinggal 6 Tahun
Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com
– Gunungan sampah di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, dinilai hanya memiliki sisa usia sekitar enam tahun lagi.
Dengan laju
sampah Jakarta
yang mencapai ribuan ton per hari, tanpa perubahan mendasar dari hulu hingga hilir, kawasan pembuangan akhir terbesar di Indonesia itu disebut berada di ambang krisis daya tampung.
Pengamat Lingkungan Mahawan Karuniasa menyatakan, hitungan kasar usia
Bantargebang
menunjukkan waktu yang kian terbatas jika pola pengelolaan sampah tidak segera dibenahi.
“Dengan
inflow
sekitar 7.000 ton per hari dan kapasitas yang tersisa, secara hitungan kasar Bantargebang hanya punya waktu sekitar enam tahun,” ujar Mahawan saat dihubungi
Kompas.com,
Jumat (12/12/2025).
TPST Bantargebang selama ini menjadi tulang punggung pengelolaan sampah Jakarta. Setiap hari, lebih dari seribu truk mengangkut sampah dari berbagai penjuru ibu kota menuju kawasan pembuangan seluas sekitar 110 hektare tersebut.
Mahawan menjelaskan, angka 7.000 ton sampah per hari merupakan estimasi yang relatif konsisten muncul dalam berbagai laporan pengelolaan sampah Jakarta.
“Angka itu bisa kita gunakan sebagai dasar untuk memperkirakan volume sampah yang masuk ke Bantargebang,” kata Mahawan.
Dari sisi kapasitas, total sampah yang telah tertimbun di Bantargebang diperkirakan mencapai 55 juta ton. Jika angka tersebut setara dengan sekitar 80 persen kapasitas maksimal, maka total daya tampung
landfill
diperkirakan berada di kisaran 70 juta ton.
“Kalau sekarang sudah 55 juta ton, berarti sisa kapasitasnya sekitar 15 juta ton,” ujar Mahawan.
Dengan laju timbunan sekitar 2,5 juta ton per tahun, sisa ruang pembuangan itu diperkirakan akan habis dalam waktu enam tahun.
“Itu pun dengan catatan tidak ada peningkatan inflow,” kata dia.
Tak hanya volume dan luas, ketinggian gunungan sampah juga menjadi persoalan serius. Berdasarkan informasi yang ia peroleh, tinggi timbunan sampah di Bantargebang saat ini berada di kisaran 40 hingga 60 meter, dengan rata-rata sekitar 50 meter.
Mahawan menilai persoalan utama Bantargebang bukan semata jumlah sampah, melainkan ketimpangan antara sampah yang masuk dan
kapasitas pemrosesan
.
“Intinya, kapasitas pemrosesan harus seimbang dengan inflow. Kalau yang masuk 7.000 ton per hari, maka idealnya yang diproses juga 7.000 ton per hari,” ujarnya.
Namun, kondisi di lapangan menunjukkan kapasitas pemrosesan—baik untuk pembangkit listrik, RDF (
refuse derived fuel
), maupun teknologi pengolahan lainnya—belum mampu mengejar laju masuknya sampah.
Masalah tersebut, menurut Mahawan, tidak bisa dilepaskan dari keterbatasan anggaran.
“Meningkatkan kapasitas pemrosesan tentu butuh biaya besar. Ini persoalan kepedulian anggaran pemerintah,” katanya.
Selain persoalan teknis, dampak lingkungan juga menjadi tantangan tersendiri, mulai dari kualitas air di sekitar lokasi, emisi gas dari landfill, hingga potensi longsor.
Bantargebang sebenarnya telah dilengkapi berbagai fasilitas, seperti instalasi pengolahan lindi, RDF, hingga PLTSa. Namun, Mahawan menilai seluruh fasilitas tersebut masih menghadapi persoalan klasik yang sama: kapasitas.
“Baik PLTSa, RDF, maupun fasilitas lainnya, persoalannya tetap kapasitas. Itu harus ditingkatkan agar timbunan tidak terus bertambah,” ujar dia.
Tanpa peningkatan kapasitas signifikan, fasilitas-fasilitas tersebut dinilai hanya berfungsi sebagai peredam sementara, bukan solusi struktural jangka panjang.
Bagi Mahawan, upaya memperpanjang usia Bantargebang tidak bisa hanya mengandalkan teknologi di hilir. Perubahan mendasar harus dimulai dari hulu.
“Yang pertama tentu mengurangi 7.000 ton sampah yang masuk ke Bantargebang,” kata dia.
Upaya tersebut dapat dilakukan melalui pemilahan sampah dari rumah tangga, penerapan prinsip 3R (
reduce, reuse, recycle
), hingga penguatan tanggung jawab produsen dan konsumen.
“Kalau dari rumah sudah dipilah, proses selanjutnya akan jauh lebih mudah,” ujarnya.
Teknologi seperti RDF dan
landfill mining
dinilai mampu membantu mengurangi volume sampah sekaligus menciptakan nilai tambah. Namun, penerapannya harus disesuaikan dengan pasar dan besaran inflow.
“Kapasitas RDF harus disesuaikan dengan inflow dan didukung anggaran. Kalau pasarnya ada, kapasitasnya bisa ditingkatkan,” kata Mahawan.
Ia juga membuka peluang keterlibatan investor dan pihak swasta, baik sebagai penyedia infrastruktur pemrosesan maupun sebagai pengguna produk hasil pengolahan sampah.
“Investor bisa masuk ketika anggaran pemerintah terbatas,” ujarnya.
Dengan sisa kapasitas sekitar 15 juta ton, Mahawan memperkirakan Bantargebang hanya mampu bertahan enam tahun ke depan. Namun, jika kapasitas pemrosesan ditingkatkan secara signifikan, usia operasionalnya bisa diperpanjang hingga satu dekade.
“Tapi tanpa perubahan, enam tahun itu angka yang realistis,” katanya.
Kompas.com
sebelumnya, Jumat (12/12/2025), menelusuri langsung kondisi TPST Bantargebang. Dari kejauhan, gunungan sampah tampak menjulang, sebagian permukaannya terlihat menghijau.
Mahawan menjelaskan, warna hijau tersebut dapat berasal dari praktik sanitary landfill melalui penutupan tanah dan penanaman semak, atau dari kolonisasi alami tumbuhan pionir.
“Dalam perspektif
sanitary landfill
, itu pertanda baik untuk mengurangi bau dan risiko longsor. Tapi di sisi lain, itu menandakan sampah sudah lama berada di sana,” ujarnya.
Pengamat perkotaan Universitas Indonesia, Muh Aziz Muslim, menilai antrean panjang truk sampah merupakan gejala struktural dari krisis kapasitas yang telah berlangsung lama.
“Kuantitas sampah Jakarta terus bertambah, sementara kapasitas penampungan dan pengolahan sudah tidak lagi memadai,” ujar Aziz saat dihubungi.
Menurut dia, Bantargebang yang telah lama beroperasi dan berkali-kali mengalami insiden persampahan menunjukkan kapasitasnya telah terlampaui.
“Ini menunjukkan kurangnya perencanaan dan pengelolaan sampah yang efektif,” kata Aziz.
Aziz juga menyoroti kerusakan infrastruktur jalan menuju zona pembuangan serta meningkatnya risiko lingkungan. Ia menekankan pentingnya intervensi menyeluruh dari hulu hingga hilir.
“Pengurangan sampah dari rumah tangga lewat 3R akan meringankan beban TPA,” katanya.
Langkah seperti RDF plant dan pemilahan, menurut Aziz, masih bersifat jangka pendek.
“Kita butuh solusi jangka panjang, sistem yang lebih efektif dan efisien,” ujarnya.
Anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta, Bun Joi Phiau, menegaskan bahwa tumpukan sampah setinggi belasan lantai menimbulkan risiko serius.
“Salah satunya longsor yang membahayakan warga dan pekerja,” ujarnya.
Ia meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memantau ketahanan tanggul di sekitar Bantargebang secara berkala dan segera memperkuat bagian yang melemah.
Petugas Bantargebang Roni (bukan nama sebenarnya) (50) menyebut kejadian longsor kerap dipicu aktivitas pemulung yang menggelindingkan karung dari atas gunungan sampah.
“Itu bikin tumpukan di bawahnya bergeser dan akhirnya longsor,” kata Roni saat ditemui di TPST Bantargebang.
Sementara itu, sopir truk sampah Santo (39) menggambarkan antrean kendaraan yang bisa berlangsung belasan jam.
“Masuk jam 09.00 pagi, pernah pulang jam 04.00 pagi,” ujarnya saat ditemui.
Menurut Santo, ketinggian sampah yang sudah tidak layak membuat truk harus menunggu lama hingga tersedia zona pembuangan yang masih bisa dipadatkan.
Kondisi kerja ini kembali menjadi sorotan setelah meninggalnya sopir truk sampah Yudi (51) asal Jakarta Selatan.
Rekannya, Fauzan, menyebutkan Yudi mengalami kelelahan berat akibat jam kerja yang melebihi batas kontrak.
Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung menyatakan Yudi terindikasi memiliki penyakit jantung dan keluarga telah menerima santunan maksimal.
Namun, bagi para sopir, peristiwa tersebut menjadi pengingat keras tentang beratnya beban kerja di tengah krisis sampah yang belum menemukan solusi menyeluruh.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.