Dari Sentra Perajin ke Pengamen, Potret Kampung Ondel-ondel di Kramat Pulo
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Di tengah permukiman padat Kramat Pulo, Senen, Jakarta Pusat, sebuah kampung kecil dengan lorong-lorong sempit masih menyimpan denyut tradisi Betawi yang bertahan sepanjang tiga dekade.
Kampung itu bernama
Kampung Ondel-ondel
, sebuah kawasan yang sejak awal 1990-an dikenal sebagai pusat para perajin boneka raksasa ikon
budaya Betawi
.
Namun, seperti banyak tradisi lain yang berhadapan dengan perubahan zaman, Kampung Ondel-ondel kini menghadapi babak baru, jumlah perajinnya menyusut dan pemanfaatan ondel-ondel bergeser.
Kampung yang dahulu ramai pesanan kini lebih banyak mengandalkan pendapatan dari anak-anak pengamen di jalanan.
Kondisi itu terungkap saat Kompas.com menelusuri Kampung Ondel-ondel, Selasa (2/12/2025). Untuk menuju kampung tersebut dari Jalan Letjen Suprapto menuju Jalan Kramat Pulo yang langsung menikung ke permukiman padat.
Akses lain bisa ditempuh lewat Jalan Kembang Sepatu menuju Jalan Inspeksi hingga bertemu Jalan Kembang Pacar.
Begitu memasuki kawasan, kehidupan Betawi terasa kuat. Di kiri dan kanan jalan utama kampung berdiri deretan ondel-ondel berukuran besar, laki-laki berwajah merah dengan kumis tebal dan perempuan berwajah putih dengan sanggul dan hiasan kembang kelapa.
Beberapa boneka bersandar pada tembok rumah, sebagian lain menempel pada tiang kayu dan seng seadanya.
Di beberapa titik, warna pakaian ondel-ondel tampak memudar. Kain hijau, biru, merah, hingga oranye yang dulu cerah kini terlihat pucat dan kusut. Menandakan betapa intens boneka-boneka itu dipakai untuk arak-arakan, hajatan, atau bahkan kegiatan ngamen yang dilakukan anak-anak.
Di sepanjang jalan utama, lapak-lapak kecil berdiri dengan tenda terpal biru dan oranye. Mereka menjual miniatur Ondel-ondel, gantungan kunci, makanan ringan, hingga minuman kemasan.
Para pedagang duduk di kursi plastik sambil mengawasi pembeli, anak-anak berlarian di antara motor-motor yang terparkir rapat, menciptakan suasana kampung yang riuh sekaligus intim.
Di bagian dalam kampung, rumah-rumah berdempetan. Sebagian menggunakan seng sebagai dinding tambahan, sebagian lain menutup halaman dengan terpal.
Di salah satu gang, terlihat sepasang ondel-ondel berdiri membelakangi jalan, pakaian lusuh menempel karena ruang penyimpanan yang serba terbatas.
Miniatur ondel-ondel sekitar 20–25 sentimeter digantung dalam plastik, dijual sebagai suvenir khas.
Warnanya cerah dan detailnya menyerupai pasangan besar yang dirayakan di budaya Betawi.
Meski sederhana, miniatur-miniatur ini menjadi satu-satunya produk baru yang konsisten diproduksi dalam skala kecil.
Di depan gapura merah-putih bertuliskan nomor 202, warga duduk sambil mengawasi anak-anak bermain.
Dahulu gapura itu bertuliskan “Kampung Ondel-Ondel”, tetapi kini tulisan tersebut sudah hilang.
Suasana yang hidup itu menyisakan jejak perubahan. Dulu kampung ini dihuni empat perajin ondel-ondel utama sejak 1990-an, tetapi kini hanya bersisa dua orang yang benar-benar masih membuatnya dari nol.
Ketua RT 11 RW 04 Kramat Pulo, Endang (62), menyambut Kompas.com di rumahnya, rumah kecil yang tak jauh dari deretan ondel-ondel besar di pinggir jalan.
“Awalnya cuma empat perajin. Itu awal banget tahun 90-an. Sekarang yang benar-benar masih bikin cuma dua orang,” kata Endang, Selasa.
Menurut Endang, kampung ini sudah dikenal sebagai Kampung Ondel-ondel sejak sekitar tiga dekade lalu.
Saat itu, empat perajin utamanya memproduksi ondel-ondel untuk keperluan acara adat, arak-arakan, dan perayaan Betawi.
Mereka adalah warga asli Jakarta yang berkumpul karena memiliki profesi yang sama.
“Dulu kalau ada pesanan baru mereka kerja. Ramai sekali. Tapi sekarang cuma pakai, sewa, atau jualan atribut,” kata Endang.
Dari total 148 KK, hanya sebagian kecil saja yang berhubungan dengan produksi ondel-ondel.
Sebelumnya ada sanggar besar yang dikenal sebagai CS Sanggar Betawi, dibentuk oleh empat pencetus awal. Kini sanggar itu masih ada, tetapi berjalan jika ada panggilan acara.
“Kalau enggak ada acara ya enggak jalan,” ujar Endang.
Kehidupan budaya di kampung ini pun berubah. Arak-arakan besar yang meriah setiap 17 Agustus atau Tahun Baru masih berlangsung, tetapi pesanan acara formal menurun.
“Yang pakai untuk ngamen justru makin banyak,” kata Endang.
Di lorong kampung, Kompas.com bertemu Firli (44), seorang perajin yang meneruskan usaha ayahnya.
Firli bercerita bahwa ia mulai serius meneruskan usaha perajin sekitar 2017, setelah ayahnya meninggal.
Kini ia menjadi satu dari sedikit orang yang masih memproduksi ondel-ondel secara manual.
“Saya buat ondel-ondel kalau ada pesanan, kalau enggak ada pesanan ya disewakan ke anak-anak untuk mengamen,” ujar Firli di rumah kecil miliknya.
Menurut Firli, banyak anak di kampungnya yang putus sekolah sehingga ikut ngamen ondel-ondel untuk menambah pemasukan keluarga. Tetapi sistem sewanya sangat fleksibel.
“Daripada nongkrong enggak jelas, ya kita berdayakan. Kita enggak patok harga. Kadang cuaca saja ngaruh. Kalau hujan, sepi,” tutur dia.
Firli menjelaskan bahwa pesanan ondel-ondel saat ini datang dari berbagai tempat, termasuk sekolah-sekolah atau konten kreator.
Harga satu set ondel-ondel lengkap sepasang laki-laki dan perempuan berkisar di Rp 3 juta–Rp 3,5 juta, tergantung ukuran.
Untuk pesanan khusus dengan tinggi 2,5–3 meter, harganya bisa lebih tinggi.
Bahan bakunya sederhana: bambu untuk rangka, resin piper untuk kepala, dan baju yang dijahit oleh penjahit langganan.
Satu set ondel-ondel bisa selesai dalam 1 minggu, atau lebih cepat jika lembur.
Meski masih aktif berkarya, jumlah produksi tahun ini sangat kecil.
“Tahun ini, enggak sampai 10 pasang. Dulu bisa belasan,” tuturnya.
Sementara pendapatan rutin justru datang dari setoran anak-anak yang mengamen.
“Pendapatannya enggak banyak, paling 20–30 ribu per hari per anak,” ucap Firli.
Dulu satu grup ondel-ondel bisa berisi 12–13 orang. Kini paling hanya 4 grup aktif yang berkeliling yang berisi dua atau tiga anak.
Fenomena anak-anak mengamen ondel-ondel di jalanan bukan hal yang asing di Jakarta.
Namun kegiatan itu berhadapan langsung dengan aturan ketertiban umum.
Firli mengaku sering melihat anak-anak ditangkap petugas.
“Masuk ring 1 ditangkap. Kalau cuma lewat nggak apa-apa, tapi kalau ngamen ya langsung dibawa ke Dinas Sosial,” ujar Firli.
Ia bahkan pernah mengeluarkan sepupunya yang ditangkap dua hari di Binsos.
“Lurah bantu keluarin,” katanya.
Firli menyebut larangan ngamen tanpa solusi membuat banyak anak beralih ke wilayah lain seperti Tangerang, Bekasi, dan Banten.
“Jakarta patroli sering. Ekonomi nggak stabil, juga dorongan utama,” ucapnya.
Kasatpol PP Jakarta Pusat, Purnama Hasudungan Panggabean, menegaskan bahwa aturan itu merujuk pada Perda Ketertiban Umum Nomor 8 Tahun 2007, khususnya Pasal 40 huruf a–c, yang melarang seseorang menjadi pengamen maupun memberi uang kepada pengamen.
Menurut Purnama, penertiban dilakukan demi menjaga estetika budaya Betawi.
“Ondel-ondel adalah ikon budaya. Wajib ditempatkan pada tempatnya, bukan untuk hal-hal yang membuat estetika kurang baik,” ujar Purnama saat dihubungi Kompas.com, Selasa.
Purnama juga menyebut pendekatan yang dilakukan bukan sekadar penindakan, tetapi edukasi agar para pengamen memahami bahwa ondel-ondel bukan sekadar alat mencari uang, melainkan representasi budaya Betawi.
“Kita berikan pemahaman bahwa ada tempat yang tepat untuk mengekspresikan keahlian mereka,” kata Purnama.
Budayawan Betawi, Yahya Andi Saputra, memandang fenomena menurunnya jumlah perajin dan meningkatnya penggunaan ondel-ondel untuk mengamen sebagai pergeseran besar dalam pemahaman masyarakat terhadap simbol budaya Betawi.
“Ondel-ondel tidak pernah berubah makna. Yang berubah adalah pemahaman dan pemanfaatan masyarakat,” ujarnya.
Ia menilai pemanfaatan ondel-ondel untuk tujuan kreatif seperti membuat kaus, komik, hingga gantungan kunci merupakan hal yang baik, selama mengikuti pakem budaya.
“Itu berguna dan bisa melestarikan,” katanya.
Namun penggunaan oleh oknum yang hanya mencari keuntungan atau bertahan hidup dinilai merendahkan.
“Itu menghina dan merugikan budaya,” ujarnya.
Menurut Yahya, kampung-kampung yang menjadi pusat budaya seperti Kampung Ondel-ondel seharusnya mendapat perhatian.
“Ada potensi besar, tinggal bagaimana dikelola,” katanya.
Jika melihat kondisi lapangan, Kampung Ondel-ondel sebenarnya memiliki potensi
wisata budaya
yang besar.
Deretan ondel-ondel besar yang berdiri di setiap tikungan, aktivitas sanggar, hingga jejak sejarah para perajin sejak 1990-an cukup kuat untuk dikembangkan menjadi destinasi edukasi budaya Betawi.
Firli mengatakan ia terbuka jika kampungnya dijadikan kampung wisata.
“Sudah sering disampaikan. Kalau enggak boleh ngamen, minimal jadikan kampung ini kampung wisata,” kata Firli.
“Kalau pemerintah bantu pembiayaan atau fasilitasi, kami bisa adakan pertunjukan rutin,” lanjutnya.
Ia pernah mendengar wacana itu, tetapi belum pernah direalisasikan.
Sanggar-sanggar budaya pun kini banyak yang tidak terdaftar.
“Ada 15 sanggar tidak terdaftar, 1 terdaftar dan itu sanggar saya,” kata Firli.
Firli berharap ada pendampingan dari pemerintah, baik dari sektor pariwisata, UMKM, maupun kebudayaan.
“Supaya perajin baru muncul dan anak-anak enggak hanya ngamen buat bertahan hidup,” ujarnya.
Budayawan Yahya menambahkan bahwa pelestarian budaya harus sejalan dengan pemberdayaan masyarakat.
“Jika masyarakatnya sejahtera, budaya ikut hidup,” katanya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Dari Sentra Perajin ke Pengamen, Potret Kampung Ondel-ondel di Kramat Pulo Megapolitan 3 Desember 2025
/data/photo/2025/08/09/6896da5e4748b.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/06/69340d46b04da.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/06/69340c90d8e99.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2013/05/20/1108584-bil--inspeksi-mendadak--780x390.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/05/6932c987197cb.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/06/24/685a6fb8bf3cb.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)