Dapat Apa Makan dengan Rp 10.000 di Jakarta?
Penulis
KOMPAS.com –
Di tengah megahnya Jakarta, Rp 10.000 mungkin tak cukup untuk secangkir kopi di mayoritas kafe kota metropolitan ini.
Namun, bagi banyak pekerja kelas menengah ke bawah di Jakarta, uang sebesar itu masih bisa membeli sepiring nasi, sayur, dan lauk sederhana di warung tegal (warteg).
Di tempat-tempat inilah sejumlah warga bertahan di tengah megahnya Jakarta, menjaga perut tetap kenyang saat biaya hidup semakin tinggi.
Rendi (27), karyawan swasta di kawasan Gondangdia, Jakarta Pusat, mengaku makan di warteg hampir setiap hari kerja dengan menu hemat Rp 10.000.
“Kalau uang lagi mepet, cukup nasi, sayur asem, sama tempe orek. Rp 10.000 sudah kenyang,” ujar Rendi kepada
Kompas.com
, Rabu (15/10/2025).
Dalam sebulan, ia mengalokasikan sekitar Rp 900.000 hingga Rp 1 juta untuk makan.
Menurutnya, makan di warteg tiga kali sehari jauh lebih hemat dibanding membeli makanan lewat aplikasi.
“Kalau beli
online
sekali makan bisa Rp 20.000. Di warteg bisa dua kali makan. Jadi ya pilih yang bikin perut aman dulu,” katanya sambil tersenyum.
Hal serupa dialami Iza (34), pegawai administrasi di kawasan Wahid Hasyim. Ia sudah menjadi pelanggan warteg selama hampir dua tahun.
“Kalau sudah akhir bulan, saya pasti lebih sering makan di warteg. Soalnya gajian belum turun, tapi perut tetap harus diisi,” ujarnya.
Biasanya ia membeli nasi, sayur lodeh, dan telur dadar seharga Rp 12.000.
“Kalau mau hemat, tinggal kurangi lauknya aja. Yang penting ada nasi sama sayur. Kenyang itu kuncinya,” tambahnya.
Bagi sebagian warga, warteg juga memberi rasa aman secara sosial.
“Enggak ada rasa malu kalau cuma beli murah. Penjualnya sudah tahu kondisi pembeli,” kata Iza.
Bagi pengemudi ojek online seperti Bagas (31), warteg adalah tempat paling mudah dan murah untuk mengisi tenaga.
“Kalau lagi narik, paling gampang cari makan di warteg. Tinggal parkir motor, makan, bayar Rp 10.000, lanjut kerja lagi,” katanya.
Menu favoritnya adalah nasi, sayur bayam, tempe, dan sambal. Kadang ia menambah telur dadar kalau sedang banyak order.
Ia mengaku kenaikan harga bahan makanan mulai terasa, tapi masih bisa ditoleransi.
“Sekarang telur naik, ayam juga mahal. Tapi masih bisa dapet nasi telur Rp 12.000. Asal enggak naik terus, masih aman,” ucapnya.
Ketiganya sepakat, warteg bukan hanya tempat makan, tapi juga penyelamat ekonomi harian bagi pekerja menengah ke bawah di Jakarta.
“Kalau enggak ada warteg, enggak tahu makan di mana lagi. Di Jakarta, Rp 10.000 itu udah langka,” ujar Rendi.
Di sisi lain, para pemilik warteg juga berusaha menjaga agar menu hemat tetap tersedia.
Tirta (40), pemilik warteg di Pancoran, Jakarta Selatan, tetap menyediakan menu seharga Rp 10.000 berupa nasi, telur, dan satu jenis sayur.
“Kalau Rp 10.000 itu kan, jadi nasi sama lauk ya. Kayak contoh, pakai telur balado misalnya, ditambah satu kuah (sayur), misal tumis kacang ini,” kata Tirta.
Menurutnya, harga tersebut bukan standar keuntungan, melainkan strategi agar pelanggan tidak lari.
“Kadang-kadang kita mau untung besar, tapi pelanggan kurang. Tapi kalau untungnya sedikit, pelanggan ramai, lumayan. Yang penting pelanggan enggak kabur,” jelasnya.
Meski harga bahan pokok naik, Tirta berusaha tidak mengurangi porsi nasi maupun lauk.
“Nasi juga, porsi sama. Paling itu prinsipnya. Kita dapat untung dikit itu enggak masalah yang penting banyak pelanggan. Walaupun harga pokok naik, yang penting jaga kualitas,” tambahnya.
Untuk menu ayam, harga dibanderol Rp 14.000 hingga Rp 20.000 tergantung tambahan lauk.
“Kalau nasi ayam saja itu Rp 14.000. Kalau ayam sama telur bisa Rp 19.000 sampai Rp 20.000,” katanya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), kelompok Makanan, Minuman, dan Tembakau menjadi penyumbang utama inflasi nasional.
Pada September 2025, inflasi nasional tercatat 2,65 persen (year-on-year), sementara inflasi tahunan di Jakarta sempat berada di kisaran 0,14 persen pada Januari 2025 dan bergerak fluktuatif sepanjang tahun.
Dalam kondisi itu, keberadaan warteg dengan menu Rp 10.000–Rp 12.000 per porsi menjadi penting bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Harga yang fleksibel dan porsi yang menyesuaikan kantong menjadi faktor utama yang menjaga daya beli sekaligus memastikan warga tetap bisa makan tiga kali sehari tanpa menurunkan gizi.
Di tengah tekanan harga pangan, warteg tak hanya menjadi simbol keuletan pedagang kecil, tetapi juga penopang nyata bagi ketahanan ekonomi harian warga Jakarta.
(Reporter: Lidia Pratama Febrian, Hafizh Wahyu Darmawan | Editor: Ambaranie Nadia Kemala Movanita, Abdul Haris Maulana)
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Dapat Apa Makan dengan Rp 10.000 di Jakarta? Megapolitan 16 Oktober 2025
/data/photo/2025/12/03/692f20b25b92d.jpeg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/10/30/6902cc15528ee.jpeg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/04/22/680749ee9bfd5.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/10/23/68fa17356d60f.jpeg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2019/05/17/786865101.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/10/17/68f1ec373be02.jpeg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2023/08/28/64ec7c8b95ce2.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/05/693230daa69eb.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/06/6933b85c67abd.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/05/6932c987197cb.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2021/02/11/6024c5b6d9ffc.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/06/69339b3d46a34.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)