Cerita Warga Pulau Pari Bongkar Dugaan Perampasan Ruang Hidup Turun-Temurun
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Warga
Pulau Pari
, Kepulauan Seribu, mengaku telah mengalami dugaan
perampasan ruang hidup
selama bertahun-tahun oleh oknum pemerintahan.
Hal itu disampaikan Bobby, salah satu warga sekaligus perwakilan masyarakat Pulau Pari, dalam diskusi publik peringatan Hari HAM di LBH Jakarta, Sabtu (29/11/2025).
Bobby menjelaskan, persoalan tersebut telah berlangsung sejak lama dan diwariskan secara turun-temurun, hingga saat ini dirasakan semakin mengancam keberlangsungan hidup warga. Ia menyebut masyarakat Pulau Pari telah bermukim di wilayah tersebut selama delapan generasi.
Menurut Bobby, sejak 1880 warga sudah menetap, bekerja, dan berdaya di Pulau Pari sebelum muncul praktik-praktik yang ia sebut sebagai upaya perampasan lahan dan ruang laut.
“Bukan cuman di daratannya, di Jakarta lah khususnya gitu kan. Tapi saya, kami di Pulau Seribu pun sama mengalami hal yang sama,” kata Bobby dalam sesi diskusi, Sabtu (29/11/2025).
Ia menegaskan bahwa masyarakat bukan hanya kehilangan lautan yang selama ini menjadi sumber mata pencaharian utama. Menurut Bobby, upaya perampasan kerap dilakukan secara sepihak dan tanpa dialog dengan warga.
“Kalau di pulau itu bukan cuma daratannya. Lautnya pun mereka coba rampas gitu kan,” ucap dia
Dalam paparannya, Bobby menguraikan sejarah administratif lahan warga Pulau Pari. Ia menyebut masyarakat dulu memegang girik dan membayar ipeda sebagai kewajiban resmi kepada negara.
Namun, dokumen tersebut ditarik pemerintah pada awal 1990-an dengan janji akan diganti sertifikat hak milik (SHM).
“Di tahun 90-an, kalau enggak salah1992, itu ditarik oleh pemerintahan yang katanya bakal diganti dengan SHM,” kata Bobby.
Faktanya, sertifikat yang dijanjikan tidak pernah diberikan. Warga justru hanya memegang fotokopi dokumen, sementara belakangan diketahui bahwa lahan tersebut telah berpindah ke pihak lain.
“Ternyata sudah dilempar, oknum kelurahan sudah dijual 100 persen. Itu yang ditulisnya,” ungkapnya.
Bobby menyebut warga telah melapor ke berbagai lembaga, termasuk Ombudsman Jakarta. Lembaga itu, kata dia, melakukan investigasi selama dua tahun dan menemukan dugaan maladministrasi dalam penerbitan SHM di Pulau Pari.
“Bahwa terbitnya SHM di Pulau Pari, yang dimiliki oleh perusahaan itu, maladministrasi cacat hukum,” kata dia.
Bobby juga menyinggung tekanan yang ia dan warga lain alami saat memperjuangkan ruang hidup mereka. Ia mengaku pernah ditahan selama 19 hari dan menghadapi intimidasi personal.
“Bahkan saya sendiri, orang yang sudah pernah ditahan di Polres Jakarta Utara selama 19 hari,” ujarnya.
Ia juga mendapatkan ancaman personal dari pihak-pihak yang diduga terlibat sengketa lahan. Namun, menurutnya, langkah-langkah represif itu tidak membuat warga gentar.
“Saya justru semakin berani, semakin tahu kebusukan-kebusukan mereka,” ujar dia.
Selain itu, ia mengaku pernah ditawari uang, gaji, hingga rumah mewah agar menghentikan perjuangan warga. Namun seluruh tawaran itu ia tolak.
“Saya pernah mau digaji Rp16 juta per bulan. Saya mau dibuatkan rumah yang mewah, mau dikasih uang. Sampai saat ini, saya masih di tawarkan. Mau berapa sudut,” ungkap dia.
Menurut Bobby, persoalan di Pulau Pari semakin parah setelah muncul berbagai izin pemerintah kepada perusahaan yang mengelola lahan atau melakukan reklamasi di sekitar pulau.
“Akses itu terputus ketika mereka mengerahkan reklamasi,” ujarnya.
Akibatnya, ruang gerak nelayan menyempit dan aktivitas sederhana seperti menepi ke pulau kosong tak lagi leluasa dilakukan.
“Sekarang pun enggak bisa lagi. Dan ruang-ruang gerak itu sudah dibatasi,” kata dia.
Bobby menyebut dampak paling terasa adalah menurunnya hasil tangkapan nelayan.
“Yang tadinya hasil tangkapan kami, misalkan 100.000, bisa dikatakan cuma 30.000, artinya mengurang,” ujar dia.
Bobby menjelaskan, warga sempat menggugat penerbitan izin tertentu ke PTUN Jakarta Timur. Namun, gugatan itu ditolak. Mereka berharap hakim mengabulkan permohonan agar tidak ada kerusakan lebih lanjut di Pulau Pari. Namun, gugatan tersebut ditolak.
“Ternyata kita kalah. Enggak tahu sebabnya apa,” ujarnya.
Ia mengaku kecewa karena warga telah menghadirkan bukti dan saksi yang dianggap kuat. Masyarakat, kata Bobby, tidak menginginkan benturan dengan korporasi maupun pemerintah. Mereka hanya menuntut pengakuan atas ruang hidup yang dihuni turun-temurun.
“Harusnya ditetapkan sebagai kawasan WKR (
Wilayah Kelola Rakyat)
, wilayah kewenangan rakyat,” jelasnya.
Pengacara Publik LBH Jakarta, Alif Fauzi, menilai rangkaian masalah tersebut mencerminkan absennya tindakan korektif dari negara meski telah ditemukan dugaan maladministrasi.
“Tadi Pak Bobby sudah cerita, ada tindakan malaadministratif penerbitan SHM secara sepihak, tapi tindakan korektifnya itu tidak dilakukan,” kata Alif.
Menurut dia, kondisi tersebut membuat warga tidak mendapatkan perlindungan hukum yang seharusnya menjadi hak dasar mereka.
Ia menambahkan, tekanan terhadap warga juga terjadi melalui proses hukum yang tidak proporsional, termasuk kriminalisasi terhadap Bobby.
“Kemudian ada juga kriminalisasi, Pak Bobby divonis bebas, terus Pak Bobby juga mengajukan rehabilitasi gitu ya, ataupun ganti rugi gitu ya, melalui gugatan atau permohonan prakratial ganti rugi,” ujarnya.
Menurut Alif, kasus Pulau Pari menggambarkan kegagalan negara memperbaiki tata kelola administrasi meskipun sejumlah regulasi seharusnya menjadi landasan penyelesaian.
“Sehingga tadi, kalau berbicara soal tadi, saya bisa asumsikan bahwa ini ada keabaian dari negara untuk tadi, memperbaiki tata administratif,” kata Alif.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Cerita Warga Pulau Pari Bongkar Dugaan Perampasan Ruang Hidup Turun-Temurun Megapolitan 29 November 2025
/data/photo/2025/12/02/692e60a3b59b9.jpeg?w=250&resize=250,140&ssl=1)


:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5415985/original/006989700_1763438087-Menteri_PPPA.jpeg?w=250&resize=250,140&ssl=1)


/data/photo/2024/12/06/67527840768a0.png?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2017/12/20/1716285305.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2023/11/08/654b347a94825.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/05/693239b871628.jfif?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2021/12/05/61acdd2a73645.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/11/02/690767c45d7f1.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)