Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

BRIN: PLTSa hingga RDF Belum Ampuh Kurangi Beban Sampah di Bantargebang Megapolitan 17 Desember 2025

BRIN: PLTSa hingga RDF Belum Ampuh Kurangi Beban Sampah di Bantargebang
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com – 
Gunungan sampah di Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, hingga kini masih menjadi persoalan lingkungan yang belum terselesaikan.
Selama puluhan tahun, tumpukan
sampah
tersebut telah menjadi beban ekologis bagi wilayah Jabodetabek dan seharusnya mendapat perhatian serius dari berbagai pihak, baik masyarakat maupun pemerintah.
Tanpa dukungan masyarakat, persoalan sampah di
Bantargebang
tidak mungkin diselesaikan oleh pemerintah sendirian.
Pasalnya, pemerintah telah melakukan berbagai upaya, mulai dari pembangunan fasilitas
composting plant
hingga pabrik pengolahan sampah
Refuse Derived Fuel
(
RDF
) untuk mengurangi timbunan sampah di Bantargebang.
Namun, berbagai upaya tersebut hingga kini belum mampu menurunkan volume sampah secara signifikan. Bahkan, ketinggian gunungan sampah di Bantargebang dilaporkan telah mencapai sekitar 70 meter.
Koordinator Kelompok Riset Teknologi Pengelolaan Sampah dan Limbah Padat Industri di Pusat Riset Teknologi Lingkungan dan Teknologi Bersih BRIN, Sri Wahyono, mengatakan, pengomposan atau
composting
di
TPST Bantargebang
sudah berjalan sejak 2003 silam.
“Saat itu diinisiasi karena adanya program subsidi kompos WJEMP (West Java Environment Management Project),” ucap Sri ketika diwawancarai
Kompas.com
, Jumat (12/12/2025).
Satu siklus pengomposan berlangsung sekitar 1,5 hingga 2 bulan hingga material benar-benar matang. Dari proses tersebut dihasilkan pupuk organik kompos curah dan pupuk organik granul (POG).
Pada masa lalu, produksi POG sempat menjadi salah satu pemasok program subsidi pupuk organik granul Kementerian Pertanian.
Namun, saat ini aktivitas pengomposan di Bantargebang kurang mendapat perhatian karena kontribusinya terhadap pengurangan beban
landfill
dinilai masih terbatas.
Hal itu disebabkan proses pengomposan sangat bergantung pada ketersediaan sampah organik yang relatif bersih dan membutuhkan waktu pengolahan yang cukup panjang.
Sementara itu, sebagian besar sampah organik yang masuk ke Bantargebang sudah tercampur dengan jenis sampah lainnya, sehingga sulit diolah menjadi kompos.
Sri mengatakan,
pilot project

PLTSa
(Pembangkit Listrik Tenaga Sampah) Merah Putih di TPST Bantargebang merupakan
pilot Waste-to-Energy
berbasis insinerator yang dikembangkan pada 2018 oleh BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) yang sekarang lebur menjadi BRIN.
“Sebagai
pilot project
insinerator kapasitas terpasangnya tentu kecil, yaitu 100 ton sampah per hari dengan produksi listrik 700 kW,” ungkap Sri.
Berdasarkan dokumen Rencana Strategis (Renstra) Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta 2025–2029, pada tahun 2024 PLTSa beroperasi selama 5.016 jam atau setara 209 hari. Selama periode tersebut, kapasitas sampah yang diinsinerasi mencapai 14.439,93 ton atau rata-rata 69 ton per hari.
Proses insinerasi menghasilkan listrik sebesar 584.873 kWh atau sekitar 48.739,4 kWh per bulan. Selain itu, pengolahan sampah melalui PLTSa menghasilkan residu berupa FABA (fly ash dan bottom ash) yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan
paving block
.
Dari pemanfaatan FABA tersebut, telah diproduksi sekitar 18.609
paving block
atau rata-rata 1.551 buah per bulan.
“Meskipun fasilitasnya sudah terpasang dan pernah diuji, modelnya belum ada yang men-
scale up
atau membangunnya dalam skala besar,” tutur Sri.
Sri menilai, PLTSa unggul sebagai demonstrasi teknologi, namun belum mampu menanggulangi timbunan sampah dalam skala besar karena kapasitasnya yang kecil.
Jadi, PLTSa belum mampu secara efektif menjadi solusi pengurangan sampah yang menumpuk di Bantargebang.
Upaya lain yang dilakukan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta untuk mengatasi tumpukan sampah di Bantargebang adalah pembangunan pabrik pengolahan sampah
Refuse Derived Fuel
(RDF).
Di Bantargebang telah dibangun RDF Plant dengan kapasitas 2.000 ton sampah per hari, yang dirancang untuk mengolah 1.000 ton sampah segar (
fresh waste
) dan 1.000 ton sampah lama hasil
landfill mining
per hari.
“RDF diproduksi dari sampah baru yang masuk setiap hari dan secara terbatas dari kegiatan
landfill mining
,” tutur Sri.
Berdasarkan data Renstra DLH DKI Jakarta 2025–2029, pada tahun 2024 jumlah sampah baru yang diproses di RDF Plant tercatat sebesar 50.149,62 ton per tahun, dengan produksi RDF mencapai 37.863,13 ton per tahun.
Jika dirata-ratakan, sampah baru yang diproses berada di kisaran 137,40 ton per hari, dengan RDF yang dihasilkan sekitar 103,73 ton per hari.
Sementara itu, kegiatan
landfill mining
di Bantargebang pada 2024 berhasil menambang sampah lama sebesar 36.320,04 ton per tahun atau sekitar 99,51 ton per hari.
Produk utama dari pengolahan sampah lama tersebut berupa humus soil sebanyak 9.191,87 ton per tahun atau sekitar 25,18 ton per hari, yang dimanfaatkan untuk kebutuhan operasional
landfill
.
Namun, pemanfaatan sampah lama sebagai bahan baku RDF dilakukan secara sangat terbatas dan selektif. Akibatnya, kontribusi RDF dari
landfill mining
relatif kecil dibandingkan dengan RDF yang berasal dari sampah baru.
Dengan demikian, secara riil RDF Plant Bantargebang pada 2024 memproduksi sekitar 103,73 ton RDF per hari yang sebagian besar berasal dari sampah baru. Sementara itu, kegiatan
landfill mining
lebih berperan dalam penataan dan stabilisasi
landfill
melalui produksi humus soil, bukan sebagai sumber utama RDF.
“Kondisi ini menunjukkan bahwa RDF Bantargebang masih beroperasi dalam skala terbatas dan berfungsi sebagai fasilitas pendukung, belum sebagai solusi utama dalam pengurangan timbulan sampah harian Bantargebang yang mencapai ribuan ton per hari,” tegas Sri.
Sri mengatakan, apabila sampah tidak tertangani dengan baik dan terus menumpuk, usia Bantargebang sebagai TPST tidak akan bertahan lama.
Oleh karena itu, ia menyarankan dua strategi besar yang perlu dijalankan secara bersamaan untuk memperpanjang usia operasional Bantargebang.
“Dapat dilakukan melalui dua strategi besar yang harus dijalankan secara bersamaan, yaitu mengurangi secara signifikan sampah yang masuk ke
landfill
dan membuka kembali kapasitas melalui pengelolaan timbunan lama atau
landfill mining
,” tutur Sri.
Dengan produksi sampah Jakarta yang mencapai sekitar 7.500 ton per hari, mengandalkan sisa kapasitas
landfill
Bantargebang dinilai tidak memadai dan berpotensi menimbulkan dampak lingkungan yang serius jika terus dipaksakan.
Strategi pertama adalah mengolah sampah terlebih dahulu melalui i
ntermediate treatment facility
(ITF) sebelum dibuang ke Bantargebang. Dengan skema ini, Bantargebang tidak lagi menjadi tempat pembuangan sampah mentah, melainkan hanya menerima residu yang benar-benar tidak dapat dimanfaatkan, sehingga volumenya jauh lebih kecil.
Untuk mendukung ITF, langkah paling mendasar yang harus dilakukan adalah pemilahan sampah dari sumbernya secara masif.
Sri menyebutkan, data nasional menunjukkan bahwa 50–60 persen sampah DKI Jakarta merupakan sampah organik, sementara sebagian besar sisanya adalah material mudah terbakar seperti plastik dan kertas.
Pemilahan sampah yang konsisten di tingkat rumah tangga, pasar, dan kawasan dapat menurunkan beban
landfill
hingga 20–30 persen, bahkan sebelum teknologi lanjutan diterapkan.
“Oleh karena itu, selain apa yang sedang diusahakan membangun berbagai fasilitas pengolahan sampah skala besar, Pemprov Jakarta juga harus melakukan gerakan yang sistematis dan masif agar sampah dapat dipilah di rumah tangga. Hal ini harus menjadi program yang serius,” ucap dia.
Pada skala besar, sampah mudah terbakar dengan nilai ekonomi rendah dapat ditangani menggunakan teknologi berbasis energi yang mampu bekerja cepat dan mereduksi volume sampah secara signifikan.
Teknologi seperti PLTSa dalam skema ITF dapat dimanfaatkan untuk memusnahkan sampah dalam hitungan jam dengan reduksi volume hingga 80–90 persen, sehingga residu yang masuk ke
landfill
hanya sekitar 10–20 persen dari volume awal.
“Pemprov Jakarta perlu membuka-buka rencana induk persampahan yang pernah disusun tahun 2005, yang mengamanatkan perlunya dibangun WtE di empat wilayah DKI sehingga mengurangi ketergantungan TPST Bantargebang,” ujar Sri.
Ia juga menyarankan agar Pemprov Jakarta mempertimbangkan pembangunan ITF lain dan tidak hanya berfokus pada RDF Plant. Selain itu, penanganan sampah makanan perlu menjadi perhatian serius karena merupakan penyumbang utama bau, lindi, dan gas metana di Bantargebang.
Sampah sisa makanan dapat diolah melalui berbagai teknologi, yakni budidaya maggot Black Soldier Fly (BSF), yang terbukti mampu mereduksi 50–70 persen bobot sampah makanan sekaligus menurunkan tekanan lingkungan di
landfill
.
Sri juga menilai
composting plant
yang sudah ada di Bantargebang perlu diaktifkan kembali dan ditingkatkan kapasitasnya. Di sisi lain, teknologi RDF yang telah dibangun perlu dioptimalkan sebagai bagian dari sistem ITF untuk menyerap sampah nonorganik kering yang tidak dapat didaur ulang dan mengubahnya menjadi bahan bakar alternatif bagi industri semen.
Strategi kedua yang perlu dijalankan adalah melakukan landfill mining secara berkelanjutan untuk memperpanjang usia Bantargebang.

Landfill
mining, yaitu penggalian dan pengelolaan kembali timbunan sampah lama untuk membuka ruang baru dan meningkatkan stabilitas
landfill
,” kata Sri.
Di Bantargebang,
landfill mining
telah menghasilkan material RDF dan material penutup berupa humus soil serta membantu penataan zona
landfill
, meskipun prosesnya bertahap dan memerlukan waktu serta biaya yang tidak sedikit.
Menurut Sri, kombinasi pengolahan sampah sebelum masuk ke landfill melalui ITF dan kegiatan landfill mining yang berkelanjutan dapat memperpanjang usia TPST Bantargebang secara signifikan.
Tanpa penerapan dua strategi tersebut, Bantargebang akan terus berada di bawah tekanan dan berisiko mencapai batas kapasitas dalam waktu yang semakin singkat.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.