Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Bertahan di Tengah Larangan, Pengamen Topeng Monyet Masih Menyambung Hidup di Jakarta Megapolitan 1 Desember 2025

Bertahan di Tengah Larangan, Pengamen Topeng Monyet Masih Menyambung Hidup di Jakarta
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com – 
Terik matahari siang menyelimuti sebuah gang permukiman padat di kawasan Matraman, Jakarta Timur.
Di antara deretan pagar besi dan tembok rumah dengan cat yang mulai mengelupas, sepasang pengamen
topeng monyet
duduk lesehan di pinggir jalan sempit beraspal.
Deni (43), pria bertubuh kurus dengan kulit kecokelatan akibat terpanggang matahari, mengenakan topi merah-putih yang telah lusuh.
Ia bersandar pada pagar rumah sambil memegang drum yang terbuat dari tabung gas bekas berwarna hijau terang, dengan cat yang mengelupas di beberapa sisi.
Di sisi lain, Raffi (18), pemuda berkaus panjang warna kuning yang sudah memudar, memegang seutas tali kuning cerah. Wajahnya serius, matanya tak lepas mengawasi monyet kecil yang menjadi pusat tontonan.
Hewan itu mengenakan pakaian biru lengkap dengan topi putih kecil dan berusaha mengikuti gerakan sesuai tarikan tali sang pawang muda.
Monyet itu mendorong miniatur gerobak roda empat yang terbuat dari kayu dan plastik bekas, dicat hitam-putih dengan roda berwarna oranye mencolok.
Sesekali, ia menaiki miniatur motor merah menyerupai motor gede (moge), berjalan pelan di atas aspal. Ekornya sesekali terangkat mengikuti gerakan tali yang terhubung ke pinggangnya.
Suasana di gang sederhana itu semakin hidup ketika anak-anak berdatangan. Seorang bocah berambut ikal menatap tanpa berkedip, duduk di atas motor milik orangtuanya yang terparkir tak jauh dari lokasi atraksi.
Ia memperhatikan monyet yang berusaha menjaga keseimbangan di atas mainan motor roda tiga, sementara sang paman terus menabuh tabung gas yang kini beralih fungsi menjadi alat musik jalanan.
Raffi sesekali memberi aba-aba melalui tarikan tali untuk mengatur gerak monyet, sementara Deni terus memainkan irama demi menarik perhatian warga.
Senyum jarang terpancar dari wajah Deni. Namun, dengan sabar ia menjelaskan bahwa pekerjaan ini telah dijalaninya selama lebih dari 25 tahun, sejak remaja di kampung halamannya di Cirebon, Jawa Barat.
“Saya yang bunyiin musik,” ujar Deni sembari mengusap keringat di dahinya saat ditemui
Kompas.com
, Jumat (28/11/2025).
“Kalau yang megang tali ini ponakan saya, Raffi,” tambahnya sambil melirik ke arah pemuda yang duduk jongkok menjaga penampilan si monyet.
Atraksi terus berlangsung di antara suara anak-anak yang penasaran, deru motor yang lewat, dan ritme dentuman tabung gas yang memecah hening siang.
Di sinilah, tradisi hiburan rakyat bernama topeng monyet masih bertahan di tengah kota yang semakin sibuk dan modern.
Deni menuturkan, penghasilan hariannya tak seberapa, rata-rata sekitar Rp 50.000. Dengan jumlah teman keliling sebanyak enam orang, mereka mengatur rute agar dapat menjangkau beberapa titik di Jakarta setiap hari.
“Tadi dari Jatinegara. Di sini sekitar Utan Kayu. Kita keliling Jakarta,” ujarnya.
Monyet yang mereka gunakan bukan milik sendiri, melainkan disewa dari kampung dengan biaya Rp 700.000 per bulan. Biasanya, monyet diganti setiap lima tahun sekali jika sudah terlalu besar dan tidak lagi mampu mengikuti atraksi.
“Terakhir saya yang menyerahkan sendiri,” katanya.
Meski demikian, Deni mengaku tidak pernah berniat mencari pekerjaan lain. Tawaran menjadi PPSU sempat datang, tetapi persyaratan administrasinya membuatnya batal.
Kontrakan yang mereka tempati di Kota Paris, Tanah Tinggi, seharga Rp 350.000 per bulan harus ditanggung bersama.
“Ya kita patungan buat bayar, buat makan, tabungan. Dirit-dirit,” ujarnya.
Menurut Deni, kondisi saat berkeliling kini semakin sulit. Banyak warga yang menolak kehadiran mereka dan peraturan larangan semakin ketat.
“Sekarang memang jarang sekali yang pakai topeng monyet. Biasanya musik atau biola di lampu merah,” tutur dia.
Raffi, yang baru berusia 18 tahun, belajar dari pamannya sejak kecil.
“Kalau monyetnya enggak nurut, enggak bisa dapet uang,” ujarnya sambil tersenyum tipis.
Deni menatap monyet yang setia mengikuti instruksinya. Ia mengenang masa-masa ketika topeng monyet masih menjadi atraksi utama di Kota Tua, dulu dianggap hiburan yang menyenangkan anak-anak dan warga.
Kini, mereka harus menyesuaikan diri dengan larangan, pengawasan ketat, dan persaingan hiburan jalanan yang lebih modern.
Meski begitu, mereka tetap gigih. Setiap hari, dari pagi hingga Maghrib, mereka mengayunkan tabung gas, mengatur tali, dan memastikan monyet tetap aman.
“Dari pagi sampai Maghrib, kita keliling Jakarta. Dari Ujung sampai ke Jatinegara terus balik lagi ke kontrakan di Tanah Tinggi,” kata Deni.
Pekerjaan yang diwariskan turun-temurun ini menjadi bagian dari identitas mereka meski risiko dan larangan terus membayangi.
Sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Rakhmat Hidayat, menilai fenomena
pengamen topeng monyet
sebagai bagian dari generasi awal pengamen di Jakarta.
“Awalnya, topeng monyet hadir sebagai hiburan murah bagi masyarakat, terutama anak-anak, pada awal tahun 1990-an,” katanya.
Menurut Rakhmat, pada masa itu teknologi digital belum berkembang sehingga hiburan jalanan menjadi tontonan utama.
Monyet dianggap lucu karena bisa mengikuti perintah pawangnya. Namun, beberapa kasus monyet menggigit penonton mulai membuat orangtua melarang anak-anak menonton topeng monyet.
Meski demikian, topeng monyet tetap bertahan sebagai sumber pendapatan ekonomi bagi pawang yang sebagian besar berasal dari kampung dan bekerja minimal berdua atau bertiga.
Memasuki tahun 2000-an, mereka menghadapi persaingan dari pengamen jenis lain, di antaranya badut, manusia silver, dan ondel-ondel.
“Yang membuat mereka bertahan adalah ciri khas profesi sebagai
pawang topeng monyet
, ada unsur sosial dan identitas yang diwariskan turun-temurun,” jelas Rakhmat.
Ia menambahkan, penurunan popularitas topeng monyet juga dipicu kritik dari aktivis lingkungan dan pencinta hewan karena dianggap mengeksploitasi satwa.
Namun, sejak 2010, fenomena ini muncul kembali karena para pawang tetap bertahan dengan jaringan pertemanan dan informasi ketika ada penertiban.
Rakhmat menekankan perlunya pendekatan humanis dan edukasi bagi pawang, bukan sekadar tindakan represif.
“Pemerintah seharusnya membatasi penggunaan hewan melalui edukasi dan dialog, agar masyarakat memahami risiko dan dampak terhadap kesejahteraan hewan,” katanya.
Di balik atraksi yang menghibur, terdapat dilema antara kebutuhan ekonomi pawang dan kesejahteraan hewan.
Deni dan Raffi, misalnya, menggantungkan hidup pada pekerjaan yang kini hampir punah tersebut. Satu hari tanpa atraksi berarti kehilangan sumber penghasilan.
Menurut Rakhmat, faktor ekonomi, fungsi hiburan, dan identitas profesi menjadi alasan utama para pawang tetap bertahan meski menghadapi larangan.
“Banyak yang tetap melanjutkan profesinya karena tidak memiliki pilihan pekerjaan lain,” ujarnya.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian (KPKP) DKI Jakarta, Hasudungan Sidabalok, menjelaskan bahwa pengawasan terhadap primata yang digunakan dalam atraksi topeng monyet lebih difokuskan pada aspek kesehatan dan kesejahteraan hewan.
Hal ini mengacu pada sejumlah peraturan, antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012, Perda Nomor 11 Tahun 1995, dan Pergub Nomor 199 Tahun 2016.
Hasudungan memaparkan, tren atraksi topeng monyet di Jakarta sudah turun drastis. Namun, sebagian pengamen tetap menggunakan jaringan penyewaan monyet secara
mobile
 dan kerap berpindah lokasi untuk menghindari petugas.
Penertiban dilakukan melalui operasi gabungan, melibatkan Satpol PP, Dinas Pertamanan dan Hutan Kota, serta BKSDA.
Prosesnya dimulai dari laporan masyarakat melalui aplikasi JAKI atau kanal CRM, kemudian identifikasi lokasi, koordinasi antar instansi, edukasi, hingga pengamanan hewan.
Setelah diamankan, hewan diperiksa dan direhabilitasi oleh Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) bekerja sama dengan lembaga konservasi atau Non-Governmental Organization (NGO).
Pendampingan juga diberikan bagi pawang yang kehilangan hewan mereka agar beralih ke pekerjaan lain yang sah.
“Tantangan terberat penghapusan praktik ini adalah mobilitas pengamen dan persepsi masyarakat yang masih menganggap topeng monyet sebagai hiburan murah,” ujar Hasudungan.
Ia menambahkan bahwa praktik ini juga melibatkan jaringan penyewaan monyet, kendaraan, dan peralatan.
Di gang sempit Matraman, kehidupan berjalan lambat di antara dentuman tabung gas dan gerakan monyet yang gemulai.
“Seru sih, selama ini kan sering lihat tapi semakin ke sini semakin jarang ada topeng monyet,” tutur Nani (32) Warga Matraman.
Menurut Nani, hiburan ini sangat ditunggu anak-anak. Meski begitu, ia juga selalu berpesan pada anaknya agar tidak mendekati hewan tersebut.
“Pastinya menghibur, cuma saya pesan tuh ke anak. Kalau lihat topeng monyet jangan dekat, takutnya digigit,” kata Nani.
Sementara itu, warga lainnya, Mustho (40), turut memberikan pendapatnya mengenai atraksi topeng monyet.
“Kalau dulu kan dijadikan hiburan, sekarang mereka ngamen. Ya enggak masalah buat kita sebagai warga, asal jangan mengganggu atau monyetnya menggigit orang,” kata Mustho.
Para pengamen jalanan dan pawang topeng monyet menghadapi dilema: antara bertahan dalam profesi yang dicintai tetapi dilarang, atau beralih ke pekerjaan baru yang lebih aman namun asing bagi mereka.
Bagi anak-anak yang menyaksikan atraksi tersebut, hiburan ini terasa sederhana, murah, dan menyenangkan. Namun, di balik tawa itu, tersimpan kisah perjuangan, identitas, serta tradisi yang nyaris punah di tengah kota yang terus bergerak maju.
Deni menatap monyet kecilnya, sesekali tersenyum tipis.
“Ini hiburan kami, cara kami cari nafkah. Tapi sekarang susah,” katanya.
Di gang sempit Matraman, suara tabung gas, langkah monyet, dan tawa anak-anak menjadi saksi bisu perjuangan mempertahankan profesi yang nyaris hilang itu.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.