Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Bencana dan Ujian Keindonesiaan Kita

Jakarta

Seminggu lebih sejak bencana yang menimpa sebagian Sumatera, pemerintah pusat nampak belum memberikan perhatian serius terhadap banjir besar dan dampaknya. Padahal, dampak banjir telah menimbulkan korban jiwa dan hilang sudah melebihi ratusan jiwa, lumpuhnya akses listrik dan logistik, serta tindakan penjarahan yang mulai terjadi.

Keberadaan hingga perhatian minim menimbulkan kesan pemerintah pusat hanya fokus untuk memanfaatkan sumber daya alam (SDA) daerah saja tanpa peduli akibat bencana yang disumbangkan oleh kesalahan tata kelola SDA.

Namun, tidak dapat dielakkan bahwa kebijakan, peraturan dan minimnya pengawasan memberi andil terhadap rusaknya bentang alam daerah yang akhirnya menimbulkan bencana hari ini.

Satu Sisi Tata Kelola SDA

Fokus tata kelola SDA belakangan hanya mengendepankan sisi ekonomi semata. Hal ini tampak dari regulasi seperti UU Cipta kerja, UU Mineral Batubara dan kebijakan seperti Program Strategis Nasional, food estate, hingga hilirisasi yang selalu berfokus pada nilai tambah ekonomi.

Peraturan dan kebijakan ini menempatkan aspek non ekonomi seperti perizinan lingkungan dan hak adat sebagai suatu halangan yang perlu diatasi.

Tujuan pemerintah adalah memberikan kemudahan berusaha, menggerakkan ekonomi, mempercepat industrialisasi berbasis pemanfaatan sumber daya alam menjadi fokus setidaknya sejak sepuluh tahun terakhir. Pidato Presiden Prabowo yang mendukung deforestasi turut memperlihatkan arah kebijakan pemerintah ke depannya.

Kendati demikian, pemerintah hendaknya perlu melakukan evaluasi mendasar atas satu sisi kebijakan tata kelola SDA ini.

Hal ini dapat dimulai dengan membentuk neraca tata kelola SDA terintegrasi sebagai basis kebijakan kekayaan negara. Selama ini, keberadaan neraca SDA hanya berfungsi sebagai informasi atas SDA di Indonesia.

Padahal, neraca SDA dapat dioptimalkan sebagai sarana pertimbangan dengan melibatkan lintas sektor untuk menentukan area mana, kapan dilakukan eksplorasi, hingga menjaga keberlanjutan dari kekayaan SDA Indonesia.

Langkah-langkah pengelolaan perlu dilakukan untuk memastikan keberlanjutan dan kemakmuran rakyat. Sebab, data dari Kementerian Kehutanan (2024) menyatakan luas hutan tersisa 95,5 juta hektare, atau 51,1% dari total daratan.

Sementara itu, catatan Walhi dan Auriga (2022) menyatakan, sejak era pemerintahan Presiden Soeharto hingga Joko Widodo, tercatat sekitar 147.936.564 hektare lahan pernah diberikan Pemerintah Indonesia kepada korporasi yang merupakan 92% total alokasi dan hanya 8% kepada rakyat.

Maka dari itu, neraca SDA ini sangat dibutuhkan dalam menjalankan amanat konstitusi untuk memastikan penguasaan negara tidak sebatas dikelola oleh korporasi tetapi diperuntukkan demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Percepatan Tata Kelola SDA Berkelanjutan

Pemerintah seharusnya dapat melakukan langkah strategis dan lebih masif untuk menangani bencana saat ini. Alangkah jauh lebih baik jika lebih memasifkan bantuan kepada korban bencana lebih tanggap lagi ketimbang memikirkan status bencana daerah atau nasional saat ini.

Sebab, sudah lima Bupati di Aceh yaitu Kabupaten Kabupaten Aceh Barat, Aceh Selatan, Aceh Singkil dan Kota Lhokseumawe menyatakan ketidaksanggupannya dalam penanganan darurat bencana ini dan membutuhkan bantuan pemerintah baik provinsi dan pusat. Bukan tidak mungkin, Bupati lain di Sumatera Barat dan Utara akan melakukan hal yang sama mengingat topologi dan kemampuan wilayahnya.

Landasan hukum minimal seperti Instruksi Presiden mendesak dikeluarkan untuk percepatan bantuan seperti logisitik, alat berat, perbaikan infrastruktur daerah hingga memperbaiki ekologi agar dapat memastikan bencana tidak terulang kembali.

Selain itu, sudah saatnya pemerintah menerapkan perspektif modernisasi ekologi dan ekologi politik. Menurut Arif Satria, tata kelola baru ini diperlukan karena perlunya mencari titik temu dan memadukan rasionalitas ekologi, rasionalitas ekonomi, rasionalitas moral, dan rasionalitas politik. Kedua hal ini bisa digunakan untuk memperbaiki tata kelola sumber daya alam dalam tujuan pembangunan berkelanjutan.

Dengan kekuatan dan ketergantungan terhadap sumber daya alam yang masih tinggi, Indonesia seharusnya bersahabat bukan hanya pada manfaat tetapi risiko yang ada.

Sebab, Indonesia berada di wilayah ring of fire, lebih dari 70% merupakan lautan, hingga berada di area ekuator yang memberikan risiko bencana alam seperti yang terjadi di wilayah ekuator area Sumatera. Maka dari itu, perlu dilakukan evaluasi besar-besar untuk perbaikan tata kelola SDA yang mengedepankan keberlanjutan dan pembangunan dengan memerhatikan aspek lingkungan.

Pada akhirnya, bencana ini haruslah menjadi evaluasi bagi pemerintah pusat demi memastikan keberlanjutan dari tata kelola SDA yang selama ini bersifat sentralistik. Bencana kala ini haruslah menjadi evaluasi besar-besar agar dapat memberikan solusi baik preventif dan kuratif sehingga menjadikan negara ini dari gagap menjadi tanggap bencana.

Rico Novianto Hafidz. Mahasiswa Doktoral FHUI.

(rdp/imk)