Jakarta –
Banjir bandang yang melanda Sumatra pada akhir November hingga Desember 2025 ini dinilai sebagai salah satu bencana hidrometeorologi terbesar dalam sejarah beberapa dekade terakhir.
Data resmi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 14 Desember 2025 mencatat 1.016 orang meninggal dunia dan 212 orang warga dinyatakan hilang akibat peristiwa ini. Jumlah pengungsi yang tersebar di tiga provinsi ini mencapai ratusan ribu jiwa.
Sementara ribuan fasilitas umum, seperti jalan, jembatan, sekolah, dan rumah sakit rusak berat. Belum lagi rumah dan lahan pertanian warga. Kerusakan fisik mencapai puluhan triliun rupiah. Pemerintah memperkirakan biaya rekonstruksi dan pemulihan mencapai sekitar Rp 51,82 triliun. Angka ini akan terus naik sejalan dengan proses inventarisir kerugian.
Bagi warga tiga provinsi yang selamat dari banjir bandang, bencana ini bukan hanya sekadar peristiwa alam belaka, yang datang mendadak dan pergi perlahan meninggalkan kepiluan kehilangan keluarga dan harta benda. Bencana ini juga adalah pengalaman politik. Pengalaman warga melihat dan mendapatkan perlakuan negara pada situasi darurat.
Kegagalan atau keterlambatan negara dalam merespons krisis tidak berhenti pada kerusakan fisik, tetapi akan menggiring ke ranah psikologis dan politik warga. Pengalaman ini akan membentuk memori kolektif publik, yang kemudian memori itu berpotensi menjadi keputusan politik di masa yang akan datang.
Efikasi politik, yaitu keyakinan bahwa negara dapat diandalkan dan suara warga bermakna lebih dari sekadar angka-angka pemilih pada pemilu dan pilkada, akan menjadi taruhan besar.
Jika pengalaman pascabencana lebih banyak diwarnai ketidakpastian ketika melihat respons negara lamban, maka yang tergerus bukan hanya kepercayaan pada pemerintah saat ini, tetapi juga kualitas partisipasi demokratis di masa depan.
Bencana dan Efikasi Politik
Dalam studi perilaku politik, efikasi politik dibedakan menjadi dua dimensi utama, efikasi politik internal dan efikasi politik eksternal. Efikasi politik internal adalah keyakinan individu bahwa mereka mempunyai kapasitas, pengetahuan, pemahaman, dan nilai untuk berpartisipasi dalam politik.
Efikasi politik internal yang tinggi akan cenderung mendorong seseorang untuk terlibat aktif dalam setiap proses politik. Hal ini dikarenakan keyakinan bahwa partisipasi mereka akan berdampak pada berjalannya roda pemerintahan dan kebijakan publik yang akan dirumuskan. Sedangkan efikasi politik eksternal adalah kepercayaan bahwa institusi politik dan pemegang kekuasaan mau dan mampu merespons aspirasi warga.
Dalam konteks bencana Sumatra, yang paling rentan terkikis adalah efikasi politik eksternal. Ketika warga melihat respons yang lamban, komunikasi publik pejabat yang tidak empatik, tindakan yang terjebak prosedural administratif, dan hal-hal kontraproduktif lainnya, yang goyah tidak hanya kepercayaan kepada pemerintah saja, namun juga kepada sistem itu sendiri.
Publik terdampak bencana akan mulai meragukan apakah negara benar-benar memedulikan mereka, tak hanya sebatas statistik angka korban, tetapi juga sebagai subjek politik yang memiliki hak atas perlindungan dan pemulihan. Pada titik ini, penanganan bencana menjadi momen evaluasi kolektif terhadap kinerja negara.
Namun, melemahnya efikasi politik eksternal tidak selalu berujung pada apatisme politik total. Dalam banyak kasus, fenomena ini justru berinteraksi secara paradoks dengan efikasi politik internal.
Warga terdampak bencana dapat mengalami apa yang disebut sebagai critical political awakening, kesadaran bahwa mereka perlu lebih terlibat, lebih kritis, dan lebih selektif dalam menilai aktor politik.
Pengalaman diabaikan dalam masa darurat tersebut akan mendorong warga untuk belajar, bertanya, dan menilai ulang janji-janji politik pada waktu kampanye pemilu dan pilkada dulu, terutama yang berkaitan dengan tata kelola lingkungan, mitigasi risiko bencana, dan keadilan pembangunan. Dengan kata lain, efikasi politik internal dapat tetap bertahan, bahkan menguat, meskipun kepercayaan terhadap institusi melemah.
Sebaliknya, jika tindak lanjut pemerintah pada proses tanggap bencana berikutnya belum mampu “mengambil” hati rakyat, misalnya terjadi ketidakadilan dalam penyaluran bantuan, relokasi yang tidak partisipatif, dan kebijakan pascabencana yang mengabaikan suara para korban, maka kedua dimensi efikasi politik dapat runtuh sekaligus.
Publik terdampak tidak hanya merasa negara tidak responsif, tetapi mereka juga akan berpikir keterlibatan mereka tidak ada gunanya. Jika telah sampai pada fase ini, maka demokrasi menghadapi resiko paling serius. Tidak hanya penurunan partisipasi elektoral, namun juga pada meningkatnya sikap sinis dan apatis terhadap proses politik.
Karena itu, membaca bencana Sumatra melalui kaca mata efikasi politik memberi kita pemahaman yang lebih dalam tentang dampak jangka panjang krisis terhadap kualitas demokrasi. Bencana bukan hanya peristiwa alam yang menuntut respons darurat, tetapi juga peristiwa politik yang membentuk relasi emosional dan rasional antara warga dan negara.
Cara pemerintah hadir dalam fase paling rapuh kehidupan warga akan menentukan apakah demokrasi ke depan diisi oleh pemilih yang apatis, atau oleh pemilih yang semakin sadar, kritis, dan menuntut tanggung jawab lebih besar dari para pemimpinnya.
Bencana dan Voting Behaviour
Efikasi politik tidak hanya berhenti sebagai pembahasan psikologis semata, tetapi akan mendorong pada perilaku memilih yang nyata. Dalam literatur perilaku memilih disebutkan bahwa tingkat partisipasi pemilih pada pemilu (voter turnout) sangat dipengaruhi oleh sejauh mana pemilih merasa suaranya berharga dan memiliki daya untuk menghasilkan sebuah perubahan dan perbaikan.
Ketika efikasi politik eksternal mengalami degradasi akibat pengalaman pascabencana yang mengecewakan, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, terdapat dua kemungkinan respons elektoral warga terdampak bencana. Pertama, apatisme politik. Warga yang merasa kebutuhan darurat mereka tidak terpenuhi dengan baik, aspirasi mereka tidak didengarkan, dan mereka tidak dilibatkan dalam perumusan kebijakan pemulihan pascabencana, bisa jadi mereka menarik diri dari proses elektoral sebagai bentuk kekecewaan.
Jika telah berada pada titik ini, maka penyelenggara pemilu harus bekerja ekstra keras untuk “merangkul” pemilih menyalurkan hak pilihnya ke TPS di pemilu berikutnya. Akademisi serta kelompok masyarakat sipil juga harus meningkatkan aktivitas dan pengaruhnya untuk mengisi kekosongan partisipasi publik dalam setiap proses politik.
Tapi fenomena ini juga memungkinkan respons kedua, yaitu warga bertransformasi dari pemilih pasif yang mudah dimobilisasi menjadi pemilih yang kritis dan selektif. Pilihan politik mereka akan menjadi lebih variatif.
Warga akan lebih melihat siapa yang hadir di tengah mereka pada kondisi paling sulit, aktor politik mana yang menawarkan solusi pemulihan yang paling kredibel, atau mungkin partai politik mana yang memiliki komitmen untuk pencegahan bencana dan pengelolaan lingkungan. Dengan kata lain, situasi ini menjadi pendorong lahirnya pemimpin dan wakil rakyat terbaik dari proses elektoral yang berkualitas, di mana pemilih menggunakan hak pilihnya dengan pilihan rasional dan kritis.
Kedua respons ini bukan sekadar kemungkinan abstrak, melainkan refleksi nyata bagaimana trauma kolektif penanganan bencana bisa bertransformasi menjadi faktor penentu demokrasi elektoral.
Efek paling signifikan dari dinamika ini kemungkinan akan muncul mekanisme retrospective voting pada pemilu dan pilkada berikutnya. Menurut Morris P. Fiorina, pada pemilihan retrospektif, pemilih tidak menilai kandidat berdasarkan ideologi partai politik atau janji kampanye, tetapi berdasarkan penilaian atas kinerja masa lalu.
Pemilih akan memberikan suara, atau sebaliknya, tidak memilih partai politik dan kandidat tertentu sebagai hadiah atau hukuman dari apa yang telah mereka perbuat pada masa jabatan sebelumnya.
Cara pemerintah pusat dan daerah menangani bencana Sumatra, mulai dari kecepatan respons, empati komunikasi, hingga konsistensi pemulihan jangka panjang, akan menjadi referensi evaluatif ketika kandidat yang terkait dengan kekuasaan saat ini kembali meminta mandat politik pada pemilu dan pilkada.
Pada titik ini, bencana berfungsi sebagai catatan rapor politik yang disimpan dalam ingatan kolektif pemilih dan dibuka kembali saat tahapan pemilu dan pilkada tiba.
Relasi antara bencana, efikasi politik, dan perilaku memilih ini menegaskan satu hal penting, yaitu dampak elektoral bencana tidak bersifat instan, tetapi bekerja secara laten dan kumulatif. Ia membentuk orientasi politik warga dalam jangka panjang, menentukan apakah mereka datang ke TPS dengan sikap apatis, skeptis, atau justru dengan kesadaran kritis yang lebih tinggi.
Bagi perjalanan demokrasi Indonesia menuju Pemilu 2029 dan pilkada setelahnya, bencana Sumatra bukan sekadar tragedi kemanusiaan, melainkan salah satu faktor yang akan ikut menentukan kualitas partisipasi politik dan arah pilihan pemilih di masa depan.
Semoga ini menjadi pengingat bahwa legitimasi politik tidak hanya dibangun melalui citra kampanye dan program kerja, tetapi juga melalui kehadiran negara dalam situasi paling genting dan rentan rakyatnya.
Ade Alifya. ASN pada Sekretariat KPU Provinsi Sumatera Barat.
(rdp/imk)





