Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Beban Mental dan Fisik Pekerja Komuter Penyangga Jakarta, "Take It or Leave It" Megapolitan 22 Desember 2025

Beban Mental dan Fisik Pekerja Komuter Penyangga Jakarta, “Take It or Leave It”
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Jakarta kerap dipotret sebagai kota peluang. Gedung-gedung perkantoran menjulang, pusat bisnis berdenyut sejak pagi, dan roda ekonomi berputar cepat.
Namun, di balik statistik pertumbuhan dan hiruk-pikuk pusat kota, ada rutinitas panjang yang dijalani jutaan pekerja setiap hari perjalanan berjam-jam dari kota penyangga menuju Jakarta, lalu kembali pulang saat malam.
Psikolog klinis sekaligus Direktur Personal Growth, Ratih Ibrahim menyebut perjalanan panjang dan rutinitas berulang seperti ini tidak bisa dilepaskan dari dampak psikologis.
Namun, dampak tersebut tidak selalu tampil dalam bentuk drama besar atau gangguan yang kasat mata.
“Faktanya realita hidup itu enggak selalu sejalan dengan ide kita tentang apa yang ideal, yang kita suka, maunya kita. Ya mau diapakan. Pilihannya adalah
you take it, or leave it
,” ujar Ratih Ibrahim saat dihubungi
Kompas.com,
Kamis (18/12/2025).
Menurut Ratih, seseorang sebenarnya selalu memiliki pilihan. Jika jarak menjadi kendala utama, maka pilihan lainnya adalah mencari pekerjaan yang lebih dekat dari tempat tinggal.
Namun, realitas ekonomi membuat pilihan itu tidak selalu tersedia.
“Terutama ketika dengan penuh kesadaran dan pertimbangan matang dalam membuat keputusan akan pilihan pekerjaan dan konsekuensinya,” kata Ratih.
Ratih menekankan, ketika keputusan diambil secara sadar, kondisi tersebut tidak selalu menjadi sumber penderitaan psikologis.
“Artinya, tidak bakal jadi drama hidup, atau romantisasi penderitaan karena memang harus berjuang untuk hidup kan. Dipilih, diterima, dijalankan dengan sebaik-baiknya,” ucap dia.
Dalam konteks ini, Ratih menyebut konsep
growth mindset
sebagai mekanisme bertahan yang kerap muncul pada pekerja
komuter
.
“Artinya, masalah yang ada justru jadi tantangan atau stimulus untuk dicari solusinya, dan solusi disesuaikan dengan konteks hidupnya,” ujar dia.
Bentuk adaptasi itu sering kali sederhana dan praktis.
“Mengembangkan daya adaptif. Semisal sesederhana membawa bekal untuk sangu termasuk air minum yang cukup. Bawa sepatu ganti, semisal di kantor tidak boleh mengenakan sepatu kets, dan lain-lain,” kata Ratih.
Cara berpikir semacam ini, menurut Ratih, membuat banyak pekerja mampu menormalisasi kelelahan fisik dan mental sebagai bagian dari konsekuensi hidup urban.
Normalisasi kelelahan itu hidup dalam keseharian Amelia Putri (24), pekerja marketing yang bekerja di Sudirman, Jakarta Pusat.
Sejak awal 2023, Amelia menjalani rutinitas pulang-pergi dari Bogor ke Jakarta tanpa ngekos.
“Biasanya berangkat subuh, sekitar jam lima pagi, naik KRL dari Stasiun Bogor lalu sambung ojek online ke kantor,” kata Amelia saat ditemui
Kompas.com,
Jumat (19/12/2025).
Keputusan tinggal di Bogor bukan tanpa perhitungan. Amelia menyebut biaya sebagai faktor utama.
Harga kos di sekitar Sudirman dan Setiabudi dinilai terlalu tinggi untuk pekerja muda sepertinya.
“Untuk kos yang layak bisa di atas Rp 2,5 juta sampai Rp 3 juta per bulan, belum termasuk makan dan kebutuhan lain. Kalau di Bogor, saya masih tinggal dengan orangtua, jadi pengeluaran bisa ditekan,” ujar dia.
Waktu tempuh perjalanan Amelia rata-rata mencapai dua jam sekali jalan. Dalam kondisi tertentu, durasinya bisa lebih panjang akibat kepadatan KRL atau gangguan perjalanan.
Ia kerap tiba di rumah sekitar pukul sembilan malam. Tantangan terberat bagi Amelia, bukan hanya kelelahan fisik.
“Capek fisik dan mental. Di KRL harus berdiri, berdesakan, kadang susah napas. Tapi mau bagaimana lagi, ini pilihan yang paling masuk akal secara finansial,” kata dia.
Dampak ke kesehatan pun tak terelakkan. Waktu tidur berkurang, tubuh sering pegal, dan stres mudah muncul. Namun Amelia mengaku kondisi itu lama-kelamaan dinormalisasi.
“Saya mikirnya Jakarta itu tempat cari uang, Bogor itu rumah. Jadi capeknya dibawa saja,” ujar Amelia.
Pola serupa dijalani Syifa Ramadhani (25), SEO Specialist yang bekerja di Setiabudi, Jakarta Selatan.
Setiap hari, ia menempuh perjalanan dari Depok menggunakan KRL dan MRT.
“Setiap hari saya naik KRL dari Depok ke Sudirman, lalu lanjut MRT ke Setiabudi. Berangkat pagi-pagi sekali supaya tidak terlalu padat, tapi tetap saja sering penuh,” kata Syifa.
Bagi Syifa, keputusan tidak ngekos di Jakarta adalah pilihan rasional. Biaya hidup di Depok jauh lebih rendah dan memungkinkan ia tetap dekat dengan keluarga.
“Gaji saya lebih baik dialokasikan untuk tabungan daripada habis untuk kos,” ujar dia.
Namun, perjalanan panjang itu meninggalkan kelelahan tersendiri.
“Kalau pulang malam, rasanya sudah tidak punya energi untuk apa-apa. Awalnya stres, tapi lama-lama terbiasa,” kata Syifa.
Meski terbiasa, kejenuhan tetap hadir.
“Rasanya hidup cuma kerja dan perjalanan. Jakarta seperti mesin uang, bukan tempat untuk hidup,” ujar dia.
Cerita lain datang dari Fajar (27), pekerja administrasi yang bekerja di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, dan berdomisili di Kota Tangerang.
Setiap hari, Fajar mengandalkan kombinasi bus
feeder
dan KRL.
Ia berangkat lebih pagi dibandingkan rekan-rekannya di kantor. Pukul 04.30 WIB, Fajar sudah meninggalkan rumah demi mengejar kereta awal.
Jika terlambat, kepadatan penumpang membuat perjalanan menjadi jauh lebih melelahkan.
Seperti Amelia dan Syifa, keputusan tinggal di Tangerang berkaitan dengan biaya hunian. Fajar memilih tinggal bersama orangtuanya dan menabung untuk rencana jangka panjang, meski harus menukar waktu dan tenaga setiap hari.
“Kalau dihitung, capeknya memang besar. Tapi dibandingkan gaji habis buat kos, saya pilih capek di jalan,” ujar Fajar.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi DKI Jakarta, Nurul Hasanudin, menjelaskan bahwa Jakarta terus menjadi magnet ekonomi nasional, tetapi tidak selalu mampu menyediakan ruang hidup yang terjangkau bagi para pekerjanya.
Berdasarkan Analisis Mobilitas Tenaga Kerja hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2024 yang dirilis Agustus 2025, DKI Jakarta menjadi salah satu provinsi dengan persentase pekerja “movers” di atas rata-rata nasional.
“Angka ini menggambarkan bahwa Jakarta bertumpu pada tenaga kerja dari luar batas administratifnya,” ujar Nurul saat dihubungi.
Fenomena paling nyata terlihat pada arus komuter dari Bodetabek ke Jakarta. BPS mencatat, pada 2024 proporsi
pekerja komuter
secara nasional mencapai 5,2 persen, lebih besar dibandingkan pekerja sirkuler.
Aktivitas ini terkonsentrasi di kawasan metropolitan dengan akses transportasi relatif baik, menjadikan Jabodetabek episentrum mobilitas ulang-alik tenaga kerja.
Distribusi pekerja komuter menunjukkan ketimpangan spasial. Sekitar 90 persen pekerja komuter berada di kawasan barat Indonesia, dan hampir tiga perempatnya terkonsentrasi di Pulau Jawa.
Jawa Barat menjadi provinsi dengan jumlah komuter terbesar, disusul Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DKI Jakarta.
“Pola ini memperlihatkan bahwa daerah penyangga berfungsi sebagai ‘ruang tinggal’, sementara Jakarta menjadi ‘ruang kerja’,” kata Nurul.
BPS juga menyoroti persoalan struktural hunian. Kenaikan harga lahan dan perumahan mendorong pekerja mencari tempat tinggal yang lebih terjangkau meski harus menempuh jarak lebih jauh.
Kompromi itu termanifestasi dalam rutinitas yang melelahkan. Peningkatan transportasi justru mendorong mobilitas temporer dibandingkan migrasi permanen.
“Berdesakan di KRL dan perjalanan panjang menjadi pola hidup yang dinormalisasi,” ujarnya.
BPS mencatat, kendaraan pribadi masih dominan digunakan oleh komuter (79 persen), sementara pengguna transportasi umum baru 19,5 persen.
Kota Depok mencatat persentase komuter tertinggi (24,5 persen), mayoritas untuk bekerja (81,9 persen).
Jakarta Selatan menjadi tujuan komuter terbanyak, yakni 882.332 orang, sementara Bogor menjadi pengirim terbesar dengan 584.041 komuter.
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Rakhmat Hidayat, menegaskan bahwa fenomena komuter bukan hanya terjadi di Jakarta.
Kota-kota besar dunia seperti Paris, Amsterdam, Berlin, hingga Chicago mengalami pola serupa.
“Ini menunjukkan bahwa secara mobilitas mereka terkoneksi antara kota inti dengan kawasan penyangga,” ujarnya.
Namun, konteks Indonesia menghadirkan beban berbeda. Ketimpangan pembangunan dan infrastruktur membuat pengalaman komuter di Jakarta jauh lebih berat.
“Di Jakarta relatif bisa meningkatkan stres, depresi yang tajam karena perlu waktu yang sangat lama. Infrastruktur transportasi publik juga belum memadai,” kata Rakhmat.
Dampak sosialnya terasa dalam kehidupan keluarga. Waktu habis di jalan, ruang interaksi menyempit, dan hubungan sosial menjadi terbatas.
Dalam jangka panjang, Rakhmat menilai kondisi ini membentuk identitas baru pekerja komuter sebagai kelas urban yang hidup di antara jalan, rel, dan tenggat waktu.
Pengamat transportasi Deddy Herlambang menilai, dukungan kebijakan masih timpang.
Saat ini, Pemprov DKI relatif aktif, sementara pemda Bodetabek masih minim dukungan, terutama dalam penyediaan feeder.
“Transportasi komuter yang mahal adalah first mile dan last mile,” ujar dia.
Deddy mencatat, ketersediaan angkutan massal masih jauh dari kebutuhan. Dari 100 juta pergerakan harian, pengguna angkutan massal baru sekitar 10 persen.
Ia menekankan perlunya sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah. Tanpa itu, kemacetan dan beban komuter akan terus berulang.
Di balik statistik dan gedung-gedung pencakar langit Jakarta, ada jutaan jam hidup yang terkuras di jalan.
Pekerja komuter menanggung beban fisik dan mental yang jarang terlihat, tetapi menjadi fondasi ekonomi kota.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.