Bahayanya Terjerat Bujuk Rayu Bank Keliling, Terbelenggu dalam Rantai Kemiskinan
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Keberadaan bank keliling di kota-kota besar, terutama Jakarta, terus eksis hingga saat ini.
Bank keliling
menawarkan jasa pinjam uang dari rumah ke rumah dengan waktu yang instan dan syarat tak rumit.
Nasabah yang ingin meminjam uang cukup bermodalkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) saja.
Mudahnya proses pencairan membuat eksistensi bank keliling di kota besar tak tergerus zaman, meski kini bermunculan jasa pinjaman online (pinjol).
Namun, karena target pasar bank keliling adalah masyarakat kelas menengah bawah yang tinggal di pemukiman padat dan kurang melek teknologi, maka keberadaannya tetap dibutuhkan.
Masyarakat kelas menengah bawah enggan pinjol karena prosesnya dinilai lebih sulit dari bank keliling.
“Kalau pinjol mah enggak pernah, ribet kayanya. Kalau ini kan KTP ama tanda tangan aja,” jelas salah satu warga Koja, Jakarta Utara, bernama Darto (47) saat diwawancarai Kompas.com di lokasi, Senin (8/12/2025).
Darto mengaku terpaksa meminjam bank keliling karena seringkali terdesak kebutuhan ekonomi, seperti biaya makan dan sekolah anaknya.
Pasalnya, Darto harus menghidupi istri dan tiga orang anak yang masih belia, sementara pendapatannya sebagai tukang servis jam seringkali tak cukup.
Hal itu pula yang membuat Darto menganggap bank keliling sebagai ‘dewa penolong’ untuk dirinya yang sering kali terjepit masalah ekonomi.
Di sisi lain, ketika utangnya hendak lunas, Darto selalu dibujuk untuk mengambil pinjaman lagi oleh petugas bank keliling.
“Kadang saya udah lunas, udah enggak mau utang, tapi dibujuk suruh ambil lagi karena udah langganan,” jelas Darto.
Sama seperti Darto, warga Manggarai, Jakarta Selatan, bernama Ria (58) mengaku sering kali termakan bujuk rayu bank keliling.
“Dia sih bujuk rayu mulu, karena dia kadang maksa dia bilang udah bayarnya enggak setiap hari enggak apa-apa. Padahal kita kalau enggak dagang ngapain minjam,” ujar Ria.
Merasa sudah mengenal baik petugas bank keliling, akhirnya Ria pun memutuskan untuk meminjam lagi meski hanya sekitar Rp 500.000.
Di sisi lain, ia berani mengambil pinjaman lagi karena ketika tak bisa mencicil dalam satu hari, petugas bank keliling mengerti dan tak memarahinya.
Sejumlah petugas bank keliling mengaku, mencari nasabah sebanyak-banyaknya merupakan tugas utama mereka.
Pasalnya, semakin banyak nasabah, maka gaji yang mereka terima per bulan akan semakin besar.
“Dulu zaman saya itu delapan persen, tergantung lihat drop atau nagihnya. Kalau saya bisa nerima minimal Rp 4 juta dan ada targetnya,” ujar salah satu petugas bank keliling bernama Carlos (38).
Carlos mengaku, kini ia menjalani bisnis bank keliling dengan modalnya sendiri alias tidak lagi bekerja dengan orang.
Saat ini, ia memiliki nasabah sekitar 90 orang yang tersebar di beberapa wilayah Jakarta Pusat dan Timur, seperti Utan Kayu, Kramat, Kenari, Djuanda, hingga Pasar Baru.
Biasanya, Carlos akan memberikan pinjaman kepada para ibu rumah tangga dan pedagang yang memang membutuhkan modal.
Ia mengaku, keuntungannya sebagai bos bank keliling bisa mencapai Rp 25 juta hingga Rp 30 juta dalam satu bulan.
Tak heran, bila ia mati-matian membujuk masyarakat untuk meminjam uang kepadanya dengan bunga sekitar 20 hingga 30 persen per bulannya.
Sama seperti Carlos, petugas bank keliling lain Roni (bukan nama sebenarnya, 24), juga mengaku, besar gaji yang didapat sesuai dengan nasabah yang dimiliki.
“Tergantung berapa banyak yang minjam dikali lima persen. Semakin banyak nasabah semakin besar gajinya,” jelas Roni.
Hal itu lah yang membuat Roni semakin semangat mencari nasabah sebanyak-banyaknya agar bisa mendapatkan gaji yang besar.
Sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Rakhmat Hidayat mengatakan, maraknya praktik bank keliling tidak hanya terjadi di Jakarta, melainkan juga di Jawa Barat.
“Fenomena ini sebenarnya sudah lama terjadi di Jawa Barat, tahun 1990-an pernah ada yang namanya KOSIPA Koperasi Simpan dan Pinjam, sebelumnya era BPR (Bank Perkreditan Rakyat) dan BPD (Bank Pembangunan Daerah) muncul, ada yang namanya KOSIPA,” jelas Rakhmat.
KOSIPA sendiri dikelola oleh sekelompok orang yang menawarkan jasa pinjaman uang secara instan dan mudah kepada warga yang membutuhkan.
Namun, bunga dari pinjaman KOSIPA ini cukup besar dan mencekik warga.
Meski begitu, eksistensi koperasi ini bertahan cukup lama di Jawa Barat.
“Kira-kira 10-15 tahun terakhir di Jawa Barat ada yang namanya Bank EMOK, istilahnya bank keliling atau istilah baru minjam gampang tapi mencekik,” tutur Rakhmat.
Kondisi ekonomi yang semakin sulit membuat bank keliling tidak hanya marak di Jawa Barat, melainkan juga di Ibu Kota Jakarta.
Banyaknya warga Jakarta yang mengalami krisis ekonomi karena kehilangan pekerjaan, usahanya bangkrut, dan lainnya, juga jadi penyebab keberadaan bank keliling semakin dibutuhkan.
Pasalnya, warga Jakarta yang terdesak ekonomi harus mencari uang dalam waktu cepat agar bisa bertahan hidup di ibu kota.
Sebab, meminjam uang di bank keliling proses dan syaratnya cukup mudah, masyarakat juga tak perlu memberikan jaminan.
“Karena kalau ke pegadaian mereka harus memiliki barang tertentu seperti emas, elektronik, dan seterusnya. Bank keliling hadir sebagai cara yang instan, cepat ketika orang membutuhkan keuangan, misalnya untuk tahun ajaran baru anak-anak sekolah, Lebaran, nah itu orang-orang membutuhkan bank keliling,” tutur Rakhmat.
Rakhmat mengatakan, kebutuhan ekonomi mendesak menjadi penyebab mudahnya masyarakat terbujuk dengan rayuan bank keliling.
Di sisi lain, sistem beroperasi secara jemput bola juga menjadi penyebab masyarakat tergiur meminjam uang di bank keliling.
“Mereka kelebihannya tadi jemput bola, datang ke kampung-kampung menawarkan sambil mereka ngobrol, pendekatan, itu kelebihan mereka di situ,” kata dia.
Berbeda dengan bank konvensional, di mana proses birokrasinya yang rumit sehingga masyarakat sulit untuk mendapatkan pinjaman dalam waktu cepat.
Padahal, kebanyakan masyarakat menengah ke bawah meminjam uang karena adanya kebutuhan mendesak.
Jika mengandalkan pinjaman dari bank konvensional, maka memerlukan waktu yang lama.
Dalam kondisi terdesak itu lah mau tidak mau masyarakat kembali termakan bujuk rayu dari bank keliling meski bunga yang harus dibayar tinggi.
Meski kehadirannya seolah menjadi solusi untuk warga yang terdesak ekonomi, tanpa sadar kehadiran bank keliling menciptakan lingkaran kemiskinan.
“Bahayanya adalah ini akan menjadi tekanan lingkaran kemiskinan karena bunganya itu kan sangat tinggi, jika tidak sesuai jatuh temponya itu akan nambah lagi, tagihannya semakin besar,” jelas dia.
Bunga yang membengkak tentu saja akan menekan psikologis dan sosial masyarakat yang tak bisa membayar utang mereka ke bank keliling.
Belum lagi potensi masyarakat yang gagal membayar cicilan bank keliling akan dikucilkan di lingkungan tempat tinggalnya karena akan terus ditagih ke rumah.
Alhasil, banyak warga yang terpaksa gali lubang, tutup lubang, untuk melunasi utang bank kelilingnya yang tanpa sadar membuat mereka semakin terbelenggu di rantai kemiskinan.
“Kemudian, rantai kemiskinan itu akan susah diputusnya karena dia akan gali lubang tutup lubang dan seterusnya. Dan dalam konteks yang lebih jauh bisa mengakibatkan disintegrasi antara keluarganya, tetangganya, karena ada konflik,” ucap Rakhmat.
Oleh sebab itu, sudah seharusnya, pemerintah memandang polemik bank keliling tidak hanya sebagai praktik ekonomi pinjam uang saja.
Rakhmat bilang, di dalam praktik bank keliling terdapat interaksi sosial, konflik, ketegangan sosial, dan gesekan-gesekan di masyarakat yang harusnya menjadi perhatian pemerintah.
Sosiolog itu juga mengingatkan, bahwa masyarakat yang tak bisa melawan bujuk rayu bank keliling tidak bisa disalahkan sepenuhnya karena mereka adalah korban.
Masyarakat adalah korban dari kebijakan ekonomi pemerintah yang membuat mereka mengalami kemiskinan, tak berdaya, dan lemah, sehingga tak memiliki pilihan selain meminjam uang dari bank keliling untuk bertahan hidup.
Oleh sebab itu, Rakhmat meminta agar pemerintah segera turun tangan mengatasi persoalan bank keliling.
“Pemerintah enggak boleh tinggal diam, karena ini menyangkut faktor ekonomi masyarakat, sebagai bagian negara harus hadir tidak boleh dibiarkan,” kata Rakhmat.
Upaya yang bisa dilakukan pemerintah adalah dengan turun ke lapangan untuk melakukan edukasi atau peningkatan literasi finansial dari kampung ke kampung.
“Baik dari Bank Indonesia, Kementerian Ekonomi, mereka bikin forum acara di kampung di RT dan RW, RPTRA di Jakarta untuk melakukan literasi, finansial, apa itu bank keliling, risikonya apa,” jelas dia.
Seharusnya, kata Rakhmat, Bank Indonesia bisa lebih aktif mengambil peran dalam melakukan pencegahan agar masyarakat tidak lagi bergantung dengan sistem layanan perbankan informal yang bunganya begitu mencekik.
Bank Indonesia bisa menyelenggarakan berbagai kegiatan menarik untuk masyarakat seperti lomba futsal, forum PKK, Posyandu, festival musik, yang di dalamnya diselipkan literasi finansial terkait bahaya meminjam uang di bank keliling.
Pengamat Ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad juga menyarankan hal serupa agar pemerintah rutin memberikan edukasi literasi finansial untuk mencegah warga bergantung dengan jasa bank keliling.
Selain meningkatkan literasi, pemerintah juga disarankan mencari lembaga lain yang bisa dijadikan alternatif jasa pinjaman uang pengganti bank keliling.
“Paling penting adalah penyadaran harus ada perbaikan akses dari lembaga formal atau bank-bank besar untuk masuk ke wilayah lebih kecil atau mikro, katakanlah unit layanan yang sifatnya pada level RT dan RW mungkin bisa mengakses market mereka,” kata dia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Bahayanya Terjerat Bujuk Rayu Bank Keliling, Terbelenggu dalam Rantai Kemiskinan Megapolitan 9 Desember 2025
/data/photo/2025/08/23/68a9454396861.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/10/21/68f7450756f63.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/08/6936fed0a3420.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/08/6936b323c40a8.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/08/6936fbadb799d.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/09/09/68bfe325a5796.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)