Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Kala Lapak Kian Lengang, Pedagang Asemka Bertaruh Nasib pada Tren Viral Megapolitan 31 Desember 2025

Kala Lapak Kian Lengang, Pedagang Asemka Bertaruh Nasib pada Tren Viral
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Pasar Asemka dikenal sebagai pusat belanja grosir aksesori hingga suvenir. Kini para pedagang mengeluhkan sepi pembeli.
Tak ada lagi lautan manusia atau teriakan nyaring pedagang yang saling bersahutan berebut pelanggan.
Menjelang pergantian tahun ke 2026, suasana pusat perbelanjaan legendaris di Jakarta Barat ini justru diselimuti keheningan yang hanya sesekali dipecahkan oleh suara ponsel para pedagang.
Berdasarkan pantauan
Kompas.com
, Selasa (30/12/2025), para pedagang yang biasanya sibuk melayani pembeli kini lebih banyak menghabiskan waktu dengan bersandar di dinding kios.
Mata mereka terpaku pada layar gawai, menanti bunyi pesanan masuk dari aplikasi daring.
Setiap kali ada langkah kaki mendekat, wajah-wajah lesu itu sontak mendongak penuh harap, mengubah ekspresi menjadi ramah demi menawarkan barang.
Namun, seringkali harapan itu pudar karena pengunjung hanya sekadar lewat.
Di beberapa kios, tumpukan kardus barang dagangan tampak tak tersentuh.
Sementara di sudut lain, pedagang sibuk membungkus paket bukan untuk diserahkan ke tangan pembeli di hadapannya, melainkan untuk diserahkan kepada kurir ekspedisi.
Pergeseran drastis ini dirasakan betul oleh Aida (33), pedagang tas generasi kedua yang meneruskan usaha orang tuanya.
Ia menjadi saksi bagaimana masa kejayaan pasar fisik perlahan meredup dalam dua tahun terakhir.
“Ngerasain banget sepi banget. Terutama kayaknya ya dua tahun inilah, dua tahun ini Asemka kayak ya bedalah gitu dari yang sebelum-sebelumnya,” ujar Aida saat ditemui
Kompas.com
di lokasi, Selasa.
Aida menggambarkan betapa sulitnya menjaring pembeli yang datang langsung ke toko.
Jumlah transaksi harian di toko fisiknya kini merosot tajam hingga bisa dihitung dengan jari.
“Kalau dalam sehari yang beli ke toko langsung tuh ya paling 10 kali ya paling banyak gitu. Bahkan kadang enggak nyampe 10 lah, keitung jari. Sisanya ya dari online,” ucapnya.
Demi bertahan dalam persaingan, Aida tak punya pilihan selain beradaptasi dengan teknologi.
Ia kini merangkap profesi sebagai host siaran langsung (live streaming) di berbagai marketplace seperti Shopee dan TikTok, bahkan hingga larut malam.
“Tapi ya untungnya sih ada online. Jadi ya mau enggak mau, saya belajar online. Udah dua tahun ini juga pokoknya pas mulai sepi-sepi itu akhirnya ya saya belajar lagi,” kata dia.
“Jadi kadang kalau malam ada yang nge-live, jualan aja, biasanya emang ramainya malam. Jadi mau enggak mau ngandelinnya ngandelin online aja udah full,” sambungnya.
Dulu, ia bisa menggaji beberapa karyawan dan mendapat untung setara UMR Jakarta.
Namun, kini situasinya jauh berbeda.
“Kalau rame, dulu dulu mah setara sama UMR lah bisa. Apalagi saya ngegaji juga kan dulu mah, punya orang ada beberapa. Sekarang cuma sanggup satu yang bantuin,” ucapnya.
“Kalau lagi sepi kayak gini ya susah mau dapet setengahnya juga. Kadang juga enggak ada yang beli sama sekali. Jadi ngelayanin online doang,” keluhnya.
Strategi berbeda diterapkan oleh Sahidi (48), pedagang mainan grosir yang berjualan sejak 2018.
Ia memilih bertahan dengan strategi mengandalkan penjualan barang yang sedang viral di media sosial.
Menurutnya, menjual mainan standar seperti mobil-mobilan atau robot untuk kado ulang tahun sudah tidak bisa menutup biaya sewa lapak.
“Biasanya mah tergantung trennya, viralnya apa. Kalau enggak viral, susah,” kata Sahidi.
Ia mencontohkan fenomena boneka Labubu yang sempat meledak menjadi tren beberapa waktu lalu.
Sahidi dan pedagang lain pun berlomba menyetok versi murah boneka tersebut.
“Kemarin tuh sempat rame yang boneka-boneka Labubu tuh, kita kan jual versi murah itu kan, nah itu lumayan tuh. Tapi Labubunya abis, sebulan lah, ilang lagi (pelanggannya),” jelasnya.
Kini, setelah tren boneka mereda, Sahidi beralih ke gasing modern yang sedang digandrungi anak laki-laki.
“Anak sekarang lagi pada doyan main gasing, tapi gasingnya beda enggak kayak kita dulu, lebih cakep dia. Ada yang ada arenanya. Lagi banyak sih, gasing,” ujarnya.
Meski demikian, Sahidi tetap tidak berani menyetok barang terlalu banyak, termasuk trompet dan petasan tahun baru, karena persaingan yang ketat.
“Wah, kalau ditanya rame apa enggak, boro-boro. Sepi, parah ini mah. Beda jauh sama zaman sebelum Corona,” kata dia.
Lesunya daya beli masyarakat juga memukul
pedagang musiman
seperti Dini (45), yang menjual kembang api di area luar pasar.
Jelang malam pergantian tahun, Dini mengaku stok barangnya masih menumpuk.
“Sepi, sepi banget. Sekarang, terutama tahun ini ya, berasa sepi banget lah ini akhir tahun. Masih banyak banget stoknya, belum pada habis, padahal besok udah tahun baru,” ujar Dini cemas.
Para pedagang menduga, masyarakat kini enggan mengeluarkan uang jika tidak benar-benar perlu.
“Orang juga sekarang pada enggak punya duit kali, apa-apa susah. Enggak pada jajan,” kata Sahidi.
Senada, mengantisipasi kantong pembeli yang kian tipis, Dini menerapkan trik khusus, yaitu menghindari menjual kembang api mahal dan besar meski kualitasnya bagus.
“Kalau saya sih triknya kalau emang lagi sepi gini, nyetoknya nyetok yang biasa-biasa aja. Jadi enggak beli banyak lah petasan yang bagus, yang gede-gede,” kata Dini.
“Banyakinnya nyetoknya jualnya yang harga-harga Rp 35.000, Rp 50.000, mentok-mentok segitu. Karena kan orang banyak nyarinya yang segituan. Jadi saya jual yang gampang dibeli aja,” tuturnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.