Lorong Nostalgia Jalan Surabaya: Radio Tabung, Mesin Tik, dan Kenangan Lama
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com —
Deretan radio tabung berukuran besar dengan kenop berwarna gading, pemutar kaset pita yang mulai aus, hingga proyektor film lawas yang kini jarang ditemui, masih setia berjajar di etalase toko-toko di Jalan Surabaya, Menteng, Jakarta Pusat.
Barang-barang yang dulu menjadi bagian dari keseharian itu kini menjelma penanda waktu, menghadirkan
nostalgia
bagi siapa pun yang singgah di pusat
barang antik
tertua di Ibu Kota ini.
Bagi sebagian pengunjung,
Jalan Surabaya
bukan sekadar tempat belanja. Kawasan ini lebih menyerupai lorong ingatan, tempat orang berhenti sejenak dari hiruk-pikuk Jakarta.
Sebagian datang untuk menengok kembali masa lalu, baik yang pernah dialami maupun yang hanya dikenal lewat cerita.
Rizky (22), mahasiswa, menjadi salah satu pengunjung yang datang karena rasa ingin tahu. Ia mengaku tertarik melihat radio tabung dan pemutar kaset yang dulu akrab di rumah kakek-neneknya.
“Kalau lihat barang-barang di sini tuh rasanya kayak balik ke masa kecil. Dulu di rumah nenek masih ada radio gede, muternya harus diputar pelan-pelan,” kata Rizky kepada
Kompas.com.
Meski demikian, Rizky mengaku belum berani membeli.
“Lebih ke nostalgia saja. Buat mahasiswa, harganya masih mikir-mikir. Tapi buat lihat-lihat, ini menarik banget,” ujar dia.
Pengalaman serupa dirasakan Nabila (21), mahasiswa desain, yang datang bersama temannya. Ia mengaku tertarik pada bentuk dan detail barang-barang lawas.
“Estetikanya dapet. Banyak bentuk yang sekarang jarang dipakai, tapi justru itu yang bikin unik,” katanya.
Namun, keterbatasan informasi membuatnya ragu.
“Aku jujur nggak ngerti mana yang antik beneran. Kalau ada penjelasan sejarahnya, mungkin bakal lebih tertarik beli,” tutur Nabila.
Bagi Fahri (24), pekerja swasta, kunjungan ke Jalan Surabaya justru menjadi pengalaman pertama, meski hampir setiap hari melintas kawasan tersebut.
“Suasananya tenang, beda sama jalan-jalan lain di Jakarta. Tapi juga kerasa sepi,” ujar dia.
Fahri mengaku tertarik pada mesin tik dan kamera analog yang dipajang di depan kios.
“Barangnya bikin inget cerita orang tua. Cuma saya belum paham harga pasarnya, takut kemahalan,” kata dia.
Sementara itu, Petrov (41), turis asal Rusia, mengaku sengaja menyempatkan diri datang ke Jalan Surabaya setelah mendapatkan rekomendasi dari teman dan membaca ulasan perjalanan di internet.
Menurut dia, pasar barang antik selalu menjadi tempat yang menarik untuk memahami karakter sebuah kota.
“Ya ya, saya datang ke sini. Setiap kota besar biasanya punya tempat seperti ini, jadi suka saja,” ujar Petrov saat ditemui Kompas.com bersama istrinya.
Petrov mengatakan, barang-barang lawas di Jalan Surabaya membangkitkan kenangan masa kecilnya. Ia menunjuk sebuah radio tabung dan kamera analog yang dipajang di depan kios.
“Melihatnya membuat saya merasa kembali ke tahun 1980-an,” kata dia.
Menurut Petrov, ketertarikannya pada barang antik bukan semata untuk dikoleksi, melainkan karena nilai ceritanya.
“Tentu, barang ini punya jiwa. Bukan hanya benda, setiap goresan, setiap bekas pakai, itu cerita,” ucap dia.
Ia menilai Jalan Surabaya memiliki keunikan karena barang-barang antik dijual di ruang terbuka kota, bukan di dalam gedung tertutup atau museum.
“Di banyak negara, barang antik hanya ada di museum atau toko eksklusif. Di sini, orang bisa berjalan santai, melihat, menyentuh, dan berbincang langsung dengan penjual,” ujar dia.
Meski demikian, Petrov mengakui belum tentu membeli banyak barang.
“Saya lebih suka melihat dan berbincang. Harga memang bukan yang paling murah, tapi pengalaman yang saya dapatkan itu berharga,” kata dia.
Kompas.com menelusuri kawasan
Pasar Loak
Jalan Surabaya pada Senin (29/12/2025). Jalan sepanjang sekitar 450 meter ini membentang dari satu ujung ke ujung lain hingga persimpangan lampu merah.
Sekitar 202 pintu toko berdiri rapat, didominasi ruko beratap merah bata dengan pintu besi gulung yang sebagian dihiasi grafiti.
Di balik pintu-pintu itu, ruang sempit dipenuhi barang antik dari berbagai era. Patung kayu etnik, porselen bermotif klasik, hingga lampu gantung kristal tertata memenuhi sudut-sudut kios.
Beberapa toko tampak penuh sesak, nyaris tanpa ruang kosong, sementara kios lain terlihat lebih lapang dengan pajangan yang disusun menyerupai galeri kecil.
Salah satu sudut paling mencolok adalah deretan teknologi masa lalu. Radio tabung berbagai merek, pemutar kaset pita, mesin ketik manual, hingga proyektor film Fujicascope berjajar berdampingan.
Kaset pita berisi lagu-lagu lama tersusun rapi, seolah menunggu tangan yang masih ingat cara memainkannya.
Tak hanya barang elektronik, Jalan Surabaya juga dikenal sebagai pusat kerajinan tangan. Topeng ukiran kayu, alat musik tradisional, kain tenun bermotif rumit, hingga tas-tas etnik digantung di depan kios.
Kesan pasar loak yang semrawut nyaris tak terlihat. Penataan ruko membuat kawasan ini tampak lebih rapi dibanding pasar loak lain di Jakarta.
Namun, di balik kerapian itu, suasana sepi terasa nyata. Beberapa kios tutup, sebagian pedagang duduk termenung menunggu pembeli.
Sesekali turis mancanegara terlihat berhenti, berbincang, dan menawar harga, tetapi arus pengunjung tak seramai masa lalu.
Agus (47), penjaga toko di salah satu kios, mengakui kondisi pasar sudah lama lesu.
“Sekitar lima tahunan ini memang sepi,” kata Agus saat berbincang dengan Kompas.com di depan kios yang dijaganya, Senin (21/12/2025).
Menurut Agus, tidak semua kios buka setiap hari.
“Kadang pedagang capek. Enggak tiap hari ada penglaris,” ujar dia.
Ia menilai Jalan Surabaya sebenarnya lebih rapi dan terawat dibanding pasar loak lain.
“Mungkin karena sudah diresmikan juga,” kata dia.
Namun, kerapian itu belum tentu berbanding lurus dengan penjualan. Agus mengatakan, terkadang ia tak dapat penghasilan sama sekali selama sepekan.
Kondisi serupa diakui Asep (64), pedagang barang antik yang mulai berdagang di Jalan Surabaya sejak 2020.
“Pasar ini tertata. Ada paguyuban, ada keamanan. Tapi sekarang memang lagi berat,” kata dia.
Asep mengaku masih bersyukur jika sesekali mendapat pembeli yang benar-benar mencari barang.
“Hari ini ada penglaris.
Alhamdulillah
,” ujar Agus sembari memahat kayu untuk dudukan pajangan barang dagangannya.
Namun, ia mengenang masa ketika keuntungan jauh lebih besar.
“Dulu bisa dapat Rp 6 juta sebulan. Sekarang itu habis buat biaya hidup. Bahkan sering nombok,” tutur dia.
Menurut Asep, banyak pedagang tetap membuka kios meski tak laku.
“Daripada di rumah jenuh. Siapa tahu besok ada rezeki,” kata Asep.
Solidaritas antar-pedagang menjadi salah satu alasan bertahan.
“Di sini sudah kayak keluarga,” ujar dia.
Dari sudut pandang kolektor, Jalan Surabaya memiliki posisi unik. Ridhamal Barkah, kolektor barang antik, menilai kawasan ini unggul dari segi lokasi dan kenyamanan.
“Strategis, jalurnya eksklusif, penataannya rapi,” kata Ridhamal saat dihubungi Kompas.com.
Namun, Ridhamal menilai harga barang di Jalan Surabaya cenderung menyasar pasar tertentu.
“Targetnya lebih ke mancanegara. Untuk kolektor lokal atau pedagang, harganya sering nggak masuk,” ujar dia.
Ia juga menyoroti persoalan kurasi.
“Banyak barang repro, bukan original. Buat kolektor, itu jadi pertimbangan,” kata dia.
Menurut Ridhamal, pasar loak ideal justru memungkinkan perputaran barang dengan harga lebih variatif.
“Kalau pasar loak, pedagang masih bisa muter. Jalan Surabaya itu lebih ke kios antik,” ucap Ridhamal.
Meski dihadapkan pada tantangan ekonomi dan perubahan selera generasi, Jalan Surabaya belum kehilangan daya tariknya. Bagi pengunjung muda, kawasan ini menjadi ruang belajar, wisata alternatif, sekaligus tempat merawat ingatan kolektif kota.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Lorong Nostalgia Jalan Surabaya: Radio Tabung, Mesin Tik, dan Kenangan Lama Megapolitan 30 Desember 2025
/data/photo/2023/12/15/657bfc374e50c.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/11/05/690b454addcb4.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)


:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5375153/original/044112100_1759912524-Presiden_Prabowo_Lantik_Kepala_BP_BUMN__Wamendagri__Wamenakes.jpeg?w=250&resize=250,140&ssl=1)

/data/photo/2025/07/28/68876535f4084.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/30/6953b9e2d1853.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/08/11/6899f0bf709b1.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/07/17/6878d8a36ade8.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/30/6953a503bbc12.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/30/69535b646bc10.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)