GELORA.CO —Nasib malang menimpa Nur Aini, guru sekolah dasar asal Bangil, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur.
Perempuan berusia 38 tahun itu resmi diberhentikan sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) setelah kisahnya mengeluhkan jarak tempuh rumah ke sekolah sejauh 114 kilometer pulang pergi viral di media sosial.
Kasus ini memantik perdebatan publik, mempertemukan simpati kemanusiaan dengan ketegasan aturan disiplin birokrasi.
Nur Aini sebelumnya bertugas mengajar di SDN II Mororejo, Kecamatan Tosari, wilayah pegunungan di kaki Gunung Bromo.
Setiap hari, ia harus menempuh perjalanan sekitar 57 kilometer sekali jalan dari rumahnya di Bangil menuju sekolah.
Medan yang berat, waktu tempuh yang panjang, serta kondisi geografis kawasan pegunungan menjadi tantangan yang tak ringan bagi guru honorer yang kemudian diangkat sebagai ASN itu.
Keluh kesah tersebut disampaikan Nur Aini secara terbuka dalam sebuah video percakapan dengan praktisi hukum Cak Sholeh.
Dalam video yang beredar luas, ia mengungkapkan keinginannya untuk dimutasi agar bisa mengajar lebih dekat dengan tempat tinggal.
“Kulo ingin pindah ke Bangil, Pak, supaya dekat,” ujar Nur Aini dengan nada lirih.
Unggahan itu dengan cepat menuai simpati warganet yang menilai beban kerja Nur Aini terlalu berat dan tidak sebanding dengan fasilitas yang tersedia.
Namun, Pemerintah Kabupaten Pasuruan menegaskan bahwa viralnya curahan hati tersebut tidak menghapus kewajiban Nur Aini sebagai ASN untuk mematuhi aturan disiplin.
Kepala Bidang Penilaian Kinerja Aparatur dan Penghargaan BKPSDM Kabupaten Pasuruan, Devi Nilambarsari, menjelaskan bahwa sanksi pemberhentian dijatuhkan berdasarkan hasil audit kehadiran, bukan semata-mata karena keluhan yang disampaikan ke publik.
Menurut Devi, Nur Aini tercatat memiliki riwayat ketidakhadiran yang masuk kategori pelanggaran berat.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, ASN dapat dikenai sanksi berat jika tidak masuk kerja selama 10 hari berturut-turut tanpa alasan yang sah atau 28 hari secara kumulatif dalam satu tahun.
“Sedangkan NA diketahui tidak masuk kerja tanpa alasan lebih dari batas itu,” kata Devi.
Ia menambahkan, keputusan pemberhentian tetap telah melalui mekanisme pemeriksaan dan mendapatkan rekomendasi dari Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).
Dengan demikian, Pemkab Pasuruan menilai langkah tersebut sudah sesuai prosedur dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Di sisi lain, Nur Aini juga menyampaikan klaim adanya ketidakadilan di lingkungan kerjanya. Ia menuding absensi kehadirannya direkayasa oleh pihak sekolah, sehingga tercatat sering alfa.
Tuduhan tersebut sempat dilaporkan dan berujung pada pemeriksaan oleh Inspektorat.
“Karena absen saya itu dibolong-bolongi, direkayasa sama kepala sekolah, sehingga absen saya alfa. Iya, Pak, dipanggil Inspektorat,” tutur Nur Aini dalam video yang sama.
Pemerintah daerah menyatakan telah memberikan ruang klarifikasi kepada Nur Aini untuk menjelaskan persoalan tersebut. Namun, proses klarifikasi dinilai tidak tuntas.
Pada pemanggilan kedua, Nur Aini disebut meninggalkan ruangan pemeriksaan dengan alasan ke toilet dan tidak kembali hingga proses selesai. Karena ketidakhadiran itu, surat keputusan pemberhentian tetap akhirnya diterbitkan dan disampaikan ke alamat rumah Nur Aini di Bangil.
Kasus Nur Aini kini menjadi cermin persoalan struktural dunia pendidikan di daerah terpencil.
Di satu sisi, ada realitas guru yang harus berjuang menghadapi keterbatasan akses dan jarak tempuh ekstrem.
Di sisi lain, negara melalui pemerintah daerah berdiri pada prinsip penegakan disiplin aparatur.
/data/photo/2025/12/29/6952439097601.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)


.webp?w=400&resize=400,225&ssl=1)


