Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Potret Kehidupan Warga Kampung Rawa Tanpa Cahaya Matahari Megapolitan 29 Desember 2025

Potret Kehidupan Warga Kampung Rawa Tanpa Cahaya Matahari
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Jakarta kerap digambarkan sebagai kota dengan ritme cepat, ruang luas, dan peluang tanpa batas.
Di banyak sudutnya, pembangunan terus meninggi, menandai laju pertumbuhan ekonomi dan urbanisasi yang nyaris tak pernah berhenti.
Gedung bertingkat, jalan layang, serta kawasan hunian modern menjadi wajah yang paling sering diperlihatkan kepada publik.
Namun, di sela-sela pembangunan itu, ada ruang sempit dan hidup tanpa cahaya matahari dan sirkulasi udara.
Lorong-lorong sempit itu tidak berada di pinggiran kota, melainkan di jantung Jakarta.
Tepatnya di
Kampung Rawa
, Johar Baru, Jakarta Pusat, gang-gang sempit menjadi bagian dari keseharian warga.
Lebarnya tak sampai satu meter, diapit rumah-rumah petak yang saling berhimpitan.
Bangunan tumbuh ke atas, menutup celah cahaya yang dulu masih bisa masuk.
Siang dan malam di lorong itu tak lagi dibedakan oleh terang matahari, melainkan oleh nyala lampu.
Salah satu rumah petak berukuran 3×4 berada jauh di dalam gang, di antara bangunan lain yang kini telah menjulang hingga tiga lantai.
Rumah tersebut ditempati Minah (54), seorang perempuan yang hampir seluruh hidupnya dihabiskan di lingkungan itu.
Ia bukan pendatang, melainkan warga lama yang menyaksikan perubahan kawasan dari waktu ke waktu.
Gang yang kini gelap dan lembap dulunya masih memberi sedikit cahaya alami.
Seiring rumah-rumah di sekitar ditinggikan, cahaya matahari perlahan menghilang dari rumah Minah.
Dinding tetangga menjadi penghalang di sisi kiri, kanan, dan atas.
Satu-satunya cara menjaga rumah tetap terang adalah dengan lampu listrik yang menyala tanpa henti.
Kondisi ini bukan pilihan, melainkan keharusan. Tanpa lampu, rumah akan langsung berubah gelap, bahkan di siang hari.
Cahaya alami tak lagi mampu menembus celah sempit di antara bangunan.
“Nyala 24 jam, kalau dimatiin gelap kayak goa sebab kan ini kehalang sama tembok,” kata Minah saat ditemui, Jumat (26/12/2025).
“Di atas juga kehalang sama tembok. Ini kan tadinya nggak tinggi, jadi masih ada sinar matahari. Sekarang udah tinggiin semua,” ungkapnya.
Minimnya cahaya juga memengaruhi kondisi udara di dalam rumah. Ruang terasa lembap saat hujan dan panas ketika cuaca terik.
Namun, bagi Minah, kondisi itu sudah menjadi bagian dari keseharian.
“Ya begini aja udaranya. Kalau hujan lembap, kalau misalnya panas ya udaranya agak panas. Agak panas sedikit,” katanya.
Keterbatasan cahaya matahari berdampak langsung pada aktivitas rumah tangga.
Menjemur pakaian menjadi pekerjaan yang membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan kawasan lain.
Jemuran tidak bisa kering dalam satu hari.
Cahaya matahari hanya masuk melalui celah kecil di atas, di antara bangunan yang saling berhimpitan.
Angin pun hanya berembus pelan, tidak cukup membantu proses pengeringan.
“Hari ini jemur, besok kering. Di atas nih (jemurnya) di sela-sela, jadi dia ada lubang cahaya dikit,” kata Minah.
Rumah-rumah bertingkat di sekeliling semakin memperpanjang waktu pengeringan pakaian.
Jemuran kerap harus menunggu hingga sehari semalam untuk benar-benar kering.
“Pokoknya, pagi jemur besok sore kering sehari semalam karena kan udah pada tinggi rumahnya. Lantai tiga semua. Sebelah lantai tiga, ini lantai tiga,” ujar dia.
Jika cucian terlalu banyak atau cuaca tidak mendukung, Minah terpaksa menggunakan jasa
laundry
meski harus mengeluarkan biaya tambahan.
“Kalau lagi banyak
laundry
, kemarin
laundry
tuh. Karena belum kering. Kalau nyucinya
step by step
itu nggak bisa, Mas. Soalnya ya gitu. Cahaya juga kurang,” kata dia.
Tak hanya soal cahaya, keterbatasan ruang paling terasa saat keluarga menghadapi kondisi darurat.
Ketika suami Minah meninggal dunia, rumah petak itu tidak memungkinkan untuk menjadi tempat persemayaman jenazah.
Ruang tidak cukup, bahkan untuk sekadar menempatkan tubuh.
Jenazah akhirnya dibawa ke aula masjid yang biasa digunakan warga sebagai ruang bersama saat menghadapi peristiwa duka.
“Kemarin juga waktu meninggalnya diurusin di aula masjid, nggak di rumah, jadi saya tuh dari rumah sakit, telepon Bu RT, ‘Bu, minta tolong dong. Suami saya taruh di masjid saja. Soalnya kan nggak ada ruang buat mayat’,” ujar dia.
Bagi warga gang sempit, aula masjid menjadi ruang vital yang menggantikan fungsi rumah dalam banyak situasi.
Di sanalah gotong royong warga bekerja, menutup kekurangan ruang yang tidak dimiliki masing-masing rumah.
“Emang semua kalau rumah yang sempit, di masjid. Terus yaudah, semua warga gotong royong semua,” kata dia.
Kepadatan hunian di permukiman tersebut telah menjadi realitas yang berlangsung lama.
Kawasan ini tumbuh sebagai permukiman padat sejak puluhan tahun silam, dengan rumah-rumah yang berdiri berhimpitan dan ruang hidup yang semakin menyempit dari waktu ke waktu.
Keterbatasan lahan membuat jumlah penghuni dalam satu rumah terus bertambah, sementara ruang tinggal tak mengalami perluasan.
Ketua RT setempat, Pusparini, menuturkan bahwa kondisi kepadatan di wilayahnya sudah menjadi keseharian yang tak terpisahkan dari kehidupan warga.
“Ini sih kalau sampai ke belakang sini emang RT 07, kalau blok ini 3-4 KK per rumah itu tiga sampai empat orang isinya,” kata Pusparini, Jumat (26/12/2025).
Situasi hunian yang sempit membuat sejumlah aktivitas sosial sulit dilakukan di dalam rumah, termasuk ketika terjadi peristiwa kematian.
Prosesi pemulasaraan jenazah nyaris tak memungkinkan dilakukan di ruang tinggal warga.
Sebagai jalan keluar, aula masjid menjadi fasilitas bersama yang selama ini diandalkan warga untuk menangani situasi tersebut.
“Kalau ada yang meninggal karena sempit begini ya kita pakai sarana aula masjid, kan masjid di bawahnya ada aula begitu,” kata dia.
Meskipun jauh dari kata ideal, pola penanganan ini telah dijalankan secara turun-temurun.
Warga saling bergotong royong agar setiap peristiwa duka tetap dapat dilalui dengan layak dan tertib.
Aula Masjid Nurul Iman pun berfungsi lebih dari sekadar ruang ibadah.
Ruang tersebut menjadi pusat aktivitas sosial warga yang menyesuaikan dengan kebutuhan lingkungan sekitar.
Saat ada warga yang meninggal dunia, aula digunakan sebagai tempat untuk memandikan hingga mengafani jenazah sebelum proses pemakaman dilakukan.
“Karena kita punya aula Masjid Nurul Iman jadi pergunakan itu misalnya ada yang meninggal mau dibungkus jenazahnya gimana kan butuh ruang besar itu di aula,” kata dia.
Selain memanfaatkan aula, warga juga bergantung pada fasilitas pendukung lain yang tersedia di lingkungan tersebut.
Salah satunya adalah ambulans milik RW yang kerap digunakan untuk membantu warga dalam kondisi darurat.
Ambulans tersebut dimanfaatkan baik untuk mengantar warga yang sakit parah ke rumah sakit maupun untuk membawa jenazah ke tempat pemakaman.
“Alhamdulillah juga kita ambulans di RW dari partai jadi misalnya ada yang sakit warga mau di bawa ke rumah sakit, sakitnya lumayan parah itu dipakai,” ujar dia.
Pengamat sosial Rissalwan Habdy Lubis menilai, praktik saling membantu yang masih bertahan di kawasan permukiman padat tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial dan ritme kehidupan warganya.
Menurut dia, keterbatasan fasilitas publik di kampung-kampung kota kerap “ditutup” oleh solidaritas sosial yang tumbuh secara organik di tingkat warga.
Ia menjelaskan, terdapat kecenderungan sebagian kelompok masyarakat yang sibuk bekerja dan mengejar kebutuhan instan justru mengabaikan aspek fasilitas di lingkungan tempat tinggalnya.
“Nah, ini dia. Jadi ada kecenderungan memang karena mereka sibuk kerja, mengejar sesuatu instan, malah mengabaikan tentang fasilitas dan sebagainya,” kata dia saat dihubungi Jumat.
Rissalwan menilai, pola hidup berdekatan dalam ruang terbatas justru mendorong munculnya kepedulian sosial antarpenghuni.
Kesadaran bahwa ruang hidup mereka saling bertumpuk membuat solidaritas menjadi kebutuhan bersama.
“Jadi prinsipnya memang secara sosiologis, orang-orang yang tinggal di
tower
ini akan lebih
civilized
, lebih peduli satu sama lain,” katanya.
Meskipun demikian, ia menekankan bahwa
solidaritas warga
tidak bisa terus-menerus dijadikan solusi utama atas minimnya fasilitas.
Dalam jangka panjang, dibutuhkan transformasi kawasan permukiman agar warga memiliki ruang publik yang layak.
“Jadi saran saya sih dalam jangka panjang memang kota, kampung-kampung di kota itu harus ditransformasi,” ujar dia.
“Dengan cara itu mereka akan punya fasilitas publik, bisa membangun solidaritas sosial dengan fasilitas yang ada, tingkat stresnya juga akan berkurang, gitu,” imbuh dia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.