Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Di Balik Gedung Pencakar Langit, Kampung Kebon Melati Bertahan dengan Ruang Hijau Megapolitan 29 Desember 2025

Di Balik Gedung Pencakar Langit, Kampung Kebon Melati Bertahan dengan Ruang Hijau
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Dari balik gang sempit di Kelurahan Kebon Melati, Tanah Abang, Jakarta Pusat, deretan gedung pencakar langit kawasan Thamrin menjulang jelas.
Menara kaca itu berdiri kokoh, memantulkan cahaya matahari, menjadi simbol Jakarta modern yang terus tumbuh vertikal.
Namun, hanya beberapa langkah dari pusat bisnis tersebut, Kampung Kebon Melati menyuguhkan wajah yang kontras, rumah rapat, pepohonan rindang, dan ruang hijau yang dirawat secara swadaya oleh warga.
Pada Rabu (24/12/2025), Kompas.com menelusuri kampung lama yang berada tepat di belakang kawasan elite Thamrin ini.
Memasuki kampung dari Jalan KH Mas Mansyur menuju Dukuh Pinggir V, suasana berubah cepat.
Jalan raya padat kendaraan berganti gang aspal sempit yang hanya cukup dilalui satu mobil. Di kiri dan kanan gang, rumah warga berdiri rapat.
Sebagian masih mempertahankan bentuk lama dengan teras kecil, jemuran pakaian di lantai atas, dan pot tanaman yang berjajar di depan rumah.
Meskipun berada di jantung kota, nuansa hijau masih terasa kuat. Pot tanaman hias, tanaman obat, hingga pohon pisang tumbuh subur di pekarangan warga.
Rimbunnya pepohonan membuat udara lebih teduh dibandingkan kawasan sekitarnya.
Di beberapa titik, sinar matahari terhalang dedaunan, menciptakan lorong sejuk di tengah cuaca Jakarta yang terik.
Di salah satu sisi kampung, aliran air dari Waduk Melati terlihat mengalir tenang.
Jalur setapak berpaving di sepanjang waduk dimanfaatkan warga sebagai ruang bersama.
Bangku sederhana, taman kecil bertuliskan “Taman Dugar RW 06”, serta pagar warna-warni menjadi penanda upaya warga merawat ruang publik di lingkungan mereka.
Kampung Kebon Melati berada di lokasi yang sangat strategis. Selain berdampingan langsung dengan Waduk Melati, kampung ini hanya berjarak sekitar satu kilometer dari Bundaran HI, dekat Stasiun Karet, serta tidak jauh dari jalur MRT.
Namun, di balik kedekatannya dengan pusat aktivitas ekonomi Jakarta, kampung ini masih mempertahankan wajah permukiman lama dengan ikatan sosial yang kuat.
Kawasan Kebon Melati terbagi dalam dua RW, yakni RW 05 dan RW 06. RW 06 menjadi yang paling sering disorot publik.
Selain karena lokasinya yang paling “terkepung” gedung tinggi, wilayah ini dikenal berhasil menjaga lingkungan tetap hijau, tertata, dan relatif nyaman di tengah tekanan pembangunan kota.
“Betul, wilayah ini memang sering disebut sebagai kampung yang ‘diapit’,” kata Andi (48), Ketua RT 008 RW 06 saat ditemui langsung, Rabu.
Ia mengaku semua orang yang datang akan terkejut saat pertama kali benar-benar menelusuri wilayah ini.
“Yang pertama kali benar-benar menelusuri area pusat kota seperti ini, pasti sadar ternyata masih ada kampung yang terasa adem. Padahal di sekelilingnya gedung-gedung tinggi,” kata Andi.
Menurut Andi, perubahan besar di sekitar kampung mulai terasa sejak awal 2000-an.
“Kalau ditanya sejak kapan kawasan ini mulai berubah, pembangunan besar-besaran di sekitar sini mulai sekitar tahun 2004,” ujar dia.
Sejak saat itu, gedung-gedung tinggi mulai berdiri, sementara kampung tetap bertahan di ruang yang semakin terhimpit.
“Ada warga yang tidak mau pindah karena harga tanah tidak cocok atau memang sudah nyaman tinggal di sini,” kata Andi.
Keberadaan ruang hijau di RW 06 bukan hasil proyek besar atau program korporasi.
Menurut Andi, semuanya berawal dari program lingkungan yang diikuti RW beberapa tahun lalu, lalu berkembang menjadi kesadaran kolektif warga.
“Targetnya jelas bikin lingkungan nyaman dan hijau. Warga akhirnya ikut menanam, ikut merawat,” ujar Andi.
Kesadaran itu membuat RW 06 dikenal sebagai kampung yang hijau di tengah kawasan “ring satu” Jakarta.
“Yang bikin banyak orang kagum, ini kan pusat kota, tapi masih ada ruang hijau. Bukan hijau asal-asalan, tapi benar-benar dirawat. Itu karena kesadaran warga,” tutur dia.
RW 06 bahkan sempat mengikuti Program Kampung Iklim (ProKlim) dan hampir mewakili Jakarta ke tingkat nasional.
Di wilayah ini juga terdapat waduk dan pompa air. Air limbah diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke waduk sehingga tidak menimbulkan bau menyengat.
“Airnya rutin dicek, sampai ikannya bisa hidup,” ujar Andi.
RW 06 memiliki delapan RT dengan sekitar 259 kepala keluarga. Di RT 008 sendiri, terdapat sekitar 70 kepala keluarga.
Menurut Andi, rumah-rumah di wilayah ini kebanyakan permanen dan tidak bertingkat tinggi, berbeda dengan RW 05 yang masih memiliki kawasan padat dan becek, terutama di dekat rel dan area proyek.
“Soal rumah kosong yang hanya tinggal dinding, itu biasanya karena tanahnya sudah dibeli spekulan atau PT, tapi belum dibangun. Biasanya masuk wilayah RW 5,” kata Andi.
Pengelolaan lingkungan menjadi perhatian utama warga RW 06.
Di sejumlah sudut kampung terlihat tempat penampungan botol plastik yang dikunci sebagai bagian dari pemilahan sampah.
Spanduk larangan membakar dan membuang sampah sembarangan terpasang di dinding kampung, lengkap dengan rujukan Perda DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2013.
RW 06 mengelola sampah secara mandiri. Sampah plastik masuk ke bank sampah, sementara sampah organik rumah tangga diolah menggunakan maggot.
“Setiap hari bisa mengolah sekitar 40 kilogram sampah organik. Maggot ini sudah berjalan sekitar lima tahun,” kata Andi.
Maggot yang dihasilkan dijual ke pemancing atau dimanfaatkan untuk pakan ikan dan ayam. Selain itu, warga juga mengenal kebiasaan “sedekah sampah”.
Di setiap RT tersedia
drop box
, lalu sampah dikumpulkan oleh karang taruna dan hasil penjualannya digunakan untuk kegiatan mereka.
“Semua ini bisa berjalan karena kebersamaan warga. Tidak ada CSR besar, tidak ada bantuan perusahaan. Semua murni dari warga dan pengurus RW,” ujar Andi.
Ketua RW 06, Yudha Praja, menyebut gerakan lingkungan di wilayahnya berawal dari persoalan sederhana: sampah.
“Tahun 2015 kami cuma ingin memperbaiki lingkungan, terutama soal sampah. Karena masalah sampah itu bukan cuma di Jakarta, tapi masalah dunia,” ujar dia.
Yudha membentuk gerakan kecil bernama “Tanpa Sampah”. Mengubah pola pikir warga, menurutnya, membutuhkan waktu dan konsistensi.
“Kalau berhenti, ya kembali lagi ke kebiasaan lama. Ini harus dijadikan
habit
,” kata Yuda.
Ia memilih memberi contoh langsung. Setiap pagi, Yuda menyapu lingkungan.
Ia meminta warga minimal menyapu halaman rumah masing-masing.
“Jam sembilan pagi biasanya sudah rapi semua,” ujar dia.
Dalam proses itu, Yudha juga menghadapi persoalan lahan kosong milik pengembang yang terbengkalai.
Ia meminta agar lahan yang belum digunakan bisa dimanfaatkan warga untuk ruang publik.
“Jangan cuma dibeli lalu dibiarkan jadi tempat sampah,” kata dia.
Sebagian pengembang akhirnya mengizinkan lahan dipakai sementara untuk kepentingan umum.
Dari situlah ruang-ruang kosong berubah menjadi taman, tempat duduk, dan ruang kegiatan warga.
Selain dikenal sebagai kampung hijau, RW 06 juga berkembang sebagai Kampung Sinema.
Awalnya, warga membuat film dokumenter untuk keperluan ProKlim.
Namun, film tersebut dikemas lebih cair dan diikutsertakan dalam festival.
“Tahun 2023 kami bikin film pendek untuk festival dan alhamdulillah dapat juara dua,” kata Yudha.
Film berjudul Teka mengangkat tema sosial budaya Betawi dan meraih berbagai apresiasi.
Sejak itu, RW 06 sering dilirik sebagai lokasi syuting, bahkan oleh pihak luar negeri.
“Wilayah ini mungkin secara fisik tidak sebagus kompleks elite, tapi wilayah ini punya nilai unik,” ujar Yudha.
Di balik berbagai inovasi warga, Yudha menilai dukungan pemerintah masih minim.
“Saya jujur merasa empati pemerintah itu kurang. Mereka kerja berdasarkan target jabatan,” kata dia.
Ia juga mengkritik sistem pengelolaan sampah Jakarta yang dinilai belum serius.
Menurut Yudha, pengelolaan seharusnya dilakukan di tingkat kecamatan agar tidak semua sampah dibebankan ke Bantargebang.
“RW dipaksa mengelola sampah, padahal seharusnya pengelolaan itu di tingkat kecamatan,” ujar Yudha.
Pengamat perkotaan Universitas Indonesia, Muh Aziz Muslim, menilai keberadaan Kampung Kebon Melati tidak lepas dari faktor historis pembangunan Jakarta.
Menurutnya, kampung ini seolah “terjebak” di tengah pembangunan pusat bisnis yang masif sejak era 1990-an.
“Kalau kita melihat pada aspek historisnya, pasti di situ melibatkan banyak relasi kebijakan pemerintah dan pemilik modal. Ada kelompok masyarakat yang memilih bertahan dibandingkan menyerahkan apa yang mereka miliki,” ujar Aziz saat dihubungi.
Aziz menekankan pentingnya perencanaan kota yang inklusif dan partisipatif agar kampung-kampung lama tidak terus terpinggirkan.
“Pemerintah harus memastikan warga yang bertahan tetap bisa menikmati fasilitas publik dan layanan dasar sebagai hak mereka,” kata dia.
Bagi Ria (32), ibu rumah tangga yang telah puluhan tahun tinggal di Kebon Melati, keberadaan ruang hijau menjadi alasan utama bertahan.
“Walaupun ini pusat kota, rasanya beda. Tidak seperti Jakarta yang panas banget. Di sini masih adem karena banyak pohon,” kata Ria saat ditemui di depan rumahnya.
Ia menikmati pagi hari di kampung, ketika udara masih sejuk dan anak-anak bisa bermain di luar.
“Kalau pulang dari luar yang panas dan macet, masuk ke kampung ini rasanya langsung beda. Lebih tenang,” ujar dia.
Ria berharap ruang hijau di Kebon Melati bisa terus dijaga.
“Pusat kota boleh maju, tapi ruang hijau tetap harus ada,” kata Ria.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.