Dari Nongkrong Tak Jelas ke Mengarit, Anak-anak Muda Sirnasari Kini Ketagihan Bertani
Tim Redaksi
BOGOR, KOMPAS.com –
Di Kampung Sirnasari, RT 07 RW 04, sebuah kawasan yang sempat dicap mati pasca-longsor justru menunjukkan perubahan berkat kelompok Tani Dewasa (KTD).
Anggota kelompok ini mayoritas anak-anak muda yang dulunya lebih sering menghabiskan waktu di warung kopi, pinggir jalan, atau duduk tanpa tujuan. Kini, mereka mulai akrab dengan lumpur, cangkul, dan kandang ternak.
Tidak ada yang menyangka, lahan bekas longsor yang dulu dianggap tak berguna justru menjadi ruang baru bagi anak-anak muda untuk menemukan ritme hidup yang berbeda.
Aktivitas ini bukan lewat gawai atau pekerjaan kantoran, melainkan melalui tanah yang diolah secara perlahan, dari pagi hingga malam, dari keraguan menjadi kebiasaan rutin.
Dari situlah, aktivitas bertani perlahan berubah dari sekadar coba-coba menjadi kebiasaan, bahkan menjadi candu baru.
Keterlibatan anak-anak muda di KTD tidak terjadi sejak awal. Pada fase pertama, pengelolaan lahan lebih banyak diinisiasi oleh warga yang lebih tua.
Namun, seiring waktu, tongkat estafet perlahan berpindah. Anak-anak muda mulai turun tangan, bukan sebagai tamu, tetapi sebagai pengelola harian.
Masuknya generasi muda ini bukan karena mereka memiliki latar belakang pertanian. Sebaliknya, hampir semuanya datang tanpa pengetahuan sama sekali, tetapi penuh rasa ingin tahu. Mereka ingin melihat perubahan yang bisa terjadi jika lahan itu dirawat dengan benar.
Ardi (25), salah satu anak muda yang baru beberapa bulan terlibat, menggambarkan pergeseran itu.
“Kalau saya itu baru sekitar 4-5 bulanan lah. Kalau anak-anak muda kan baru, memang bekas ibu-ibu bapak-bapak gitu, makin ke sini jadi diurusnya sama anak-anak muda,” ungkap dia saat ditemui di Lokasi, Rabu (24/12/2025).
Ketertarikan awal anak-anak muda ini tidak lahir dari idealisme soal pangan atau lingkungan, melainkan dari hal yang lebih sederhana: rasa sayang melihat lahan luas terbengkalai.
Lahan bekas longsor itu, jika dibiarkan, bukan hanya akan rimbun, tetapi juga berpotensi membahayakan lingkungan sekitar. Kekhawatiran itulah yang menjadi pintu masuk keterlibatan mereka.
Bagi Ardi, bertani bukan pilihan karier, melainkan cara agar ruang itu tidak kembali menjadi masalah.
“Sayang, maksudnya lahan selebar ini seluas ini enggak dikelola sama yang mau ngelola gitu kayak warga sekitar gitu. Kalau enggak dikelola kan kayak rimbun, gimana nanti banyak hewan-hewan liar, ngebahayain juga,” kata dia.
Sebelum mengenal aktivitas bertani, keseharian sebagian besar anak muda di kampung ini berjalan tanpa pola yang jelas. Nongkrong menjadi rutinitas paling mudah dijalani.
Namun, kehadiran KTD membuka alternatif baru. Bukan larangan, bukan teguran, melainkan ajakan terbuka.
Ketua RW setempat, Dwi Anggraeni, memilih membuka ruang selebar-lebarnya, memberi kesempatan anak muda untuk turun dan mencoba.
Pendekatan ini membuat keterlibatan terasa ringan, tanpa beban moral atau tuntutan hasil.
“Bu RW selalu ngebuka sama anak muda. Ada yang mau ke bawah silahkan ke bawah gitu. Kan itu kampung di atas ya. Bu RW selalu ngebuka siapa pun itu dari warga. Jadi yang penting ada kemauan aja gitu,” ujar dia.
Tidak sedikit anak muda yang datang ke KTD dalam fase hidup yang menggantung. Ada yang baru saja kehilangan pekerjaan, ada pula yang kontraknya selesai.
Dalam kondisi bingung, lahan di bawah kampung justru memberi pegangan baru.
“Kebetulan pas abis kontrak, kerja bingung, diajak lah ke sini. Kalau saya itu dulu SPB dan itu lama, saya empat tahun di retail,” kata Ardi.
Alih-alih buru-buru kembali melamar kerja, Ardi justru memilih bertahan dan mencoba membangun sesuatu bersama.
“Pengennya fokus di sini. Pengen ngelola, kalau ini benar-benar berhasil itu sesuatu kebanggaan terhadap kita juga kan. Kita pengennya begitu. Kita bareng-bareng sih ya mudah-mudahan aja,” katanya.
Hampir semua anak muda yang terlibat mengakui bahwa mereka sama sekali tidak memiliki dasar ilmu bertani. Adaptasi menjadi fase paling berat.
Panas, capek, dan kebingungan menjadi makanan sehari-hari pada awal memulai. Namun, karena semua sama-sama pemula, rasa minder perlahan hilang.
“Sebelumnya enggak ada sama sekali, karena mumpung ada lahan aja kita terjun kita garap,” kata dia.
“Panas ini lah, enggak ngerti juga, bener-bener nggak ngerti. Kita belajar-belajar semua sih ya. Pada pemula semua jadi enggak ngerasa ketinggalan gitu ya,” sambung dia.
Seiring waktu, aktivitas yang awalnya terasa berat justru mulai dirindukan. Rutinitas memberi makan ternak, membersihkan kebun, hingga menjaga tanaman pelan-pelan membentuk ikatan emosional.
Bertani tidak lagi dipandang sebagai kerja kasar, melainkan proses belajar yang memberi kepuasan tersendiri.
“Kegiatan sosial sih. Jadi ngerti ternyata lingkungan pertanian di Bogor itu sangat kecil ya lalu ‘Oh ternyata pertanian kayak gini. Oh ngejaga pohon ternyata gitu’. Jadi mungkin bisa dibilang melek sama alam,” ujarnya.
Denis (32), anak muda lainnya, menyebut hasil bertani secara ekonomi belum sepenuhnya bisa dibawa pulang.
Namun, bagi dirinya dan kawan-kawan, nilai kebersamaan dan proses tetap menjadi prioritas.
“Kalau untuk penghasilan ekonomi dibawa ke rumah belum ada sih. Paling dikit-dikit bareng-bareng doang,”ujarnya.
“Soalnya emang kita dari awal, yaudahlah bareng-bareng dulu aja. Mungkin belum. Ke depan insya Allah. Emang dari niat awalnya pengen bertani aja,” sambungnya.
Bagi Denis, keterlibatan di KTD juga menjadi bentuk pembuktian bahwa anak muda tidak melulu identik dengan nongkrong dan abai lingkungan.
“Maksudnya masa harus orang tua terus. Orang tua hanya pendamping, sekarang tinggal kita-kita lah (bertani), bagian anak muda gitu, Kita buktiin bahwa anak muda aja bisa gitu,” kata dia.
Meski begitu, langkah tersebut tidak selalu disambut positif. Denis mengakui masih ada pandangan sinis dari luar yang meragukan pilihan anak muda terjun ke dunia pertanian.
“Mungkin ada omongan dari luar aja, kayak ‘Ngapain sih bertani? Ngapain di bawah gitu, emang ada uangnya?’ Yang penting kita di bawah, jalan. Nanti kita lihat hasilnya aja,” ujar dia.
Pemanfaatan lahan bekas longsor di
Kampung Sirnasari
tidak lahir dari proyek instan atau program titipan.
Dwi menjelaskan, gagasan tersebut tumbuh dari kebutuhan warga yang melihat adanya lahan di lingkungan mereka.
“Jadi memang kita inisiatif ya, tadinya pula sudah ada kelompok gitu kan. Terus kebetulan kan di sini ada lahan dulu bekas longsor, daripada enggak dipergunakan, lebih baik kita pergunakan lah buat anak-anak lagi,” ujar Dwi.
Seiring waktu, warga mulai memanfaatkannya untuk berbagai kegiatan produktif yang melibatkan pertanian dan peternakan, sekaligus mengenalkan kembali praktik bertani kepada generasi muda yang sebelumnya jauh dari dunia tersebut.
“Jadi dari menanam sayuran, terus dari ikan, dari kambing,” kata dia.
Upaya swadaya warga itu kemudian mendapat dukungan dari pemerintah. Bantuan datang dalam bentuk bibit dan ternak yang membantu keberlanjutan kegiatan di lahan bekas longsor tersebut.
Salah satunya berasal dari Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan (DKPP) yang memberikan sembilan ekor kambing untuk dibudidayakan bersama.
“Alhamdulillah kan kambing dari sembilan yang kita dikasihnya, sekarang sudah berkembang biak,” ujar Dwi.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Dari Nongkrong Tak Jelas ke Mengarit, Anak-anak Muda Sirnasari Kini Ketagihan Bertani Megapolitan 26 Desember 2025
/data/photo/2025/06/18/6851f4877591b.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/22/694964dfe401a.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/10/06/68e360a501962.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/26/694e1c26a5107.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/26/694e112a9e3e6.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/02/11/67aab099302e7.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)