Kekerasan Mata Elang Dinormalisasi, Aktor Besar Justru Tak Tersentuh
Editor
JAKARTA, KOMPAS.com
– Fenomena kekerasan yang kerap melibatkan mata elang (matel) dalam penindakan kendaraan bermotor dinilai bukan sekadar persoalan kriminal jalanan, melainkan masalah struktural dalam sistem penagihan pembiayaan kendaraan di Indonesia.
Kriminolog Haniva Hasna menilai, praktik kekerasan yang terus berulang menunjukkan kegagalan pencegahan dan penegakan hukum yang tidak konsisten.
Dalam banyak kasus, sanksi hukum justru menyasar pelaku lapangan, sementara aktor struktural di balik sistem penagihan relatif tidak tersentuh.
“Ini bukan hanya kegagalan hukum, tapi kegagalan pencegahan. Penegakan hukum tidak konsisten, sanksi menyasar eksekutor kecil, sementara aktor struktural relatif aman,” ujar Haniva saat dihubungi
Kompas.com
, Senin (22/12/2025).
Dalam perspektif kriminologi, kondisi ini disebut
selective enforcement
atau penegakan hukum yang selektif.
Kekerasan dalam praktik penagihan dinormalisasi karena dianggap bagian dari pekerjaan, sementara korban kerap enggan melapor.
Situasi tersebut menciptakan
dark figure of crime
yang besar dan berulang.
Di sisi lain, industri pembiayaan kendaraan menegaskan, sebagian besar konflik di lapangan tidak bermula dari penarikan sepihak terhadap debitur aktif.
Berdasarkan data dan pengalaman pelaku industri, lebih dari 95 persen kendaraan yang ditindak di jalan telah berpindah kepemilikan ke pihak ketiga meski status kreditnya belum lunas.
Salah satu direktur perusahaan
leasing
, Ronald (bukan nama sebenarnya), menjelaskan bahwa kendaraan yang masih berstatus kredit kerap dijual hanya bermodal Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), tanpa Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB).
Praktik tersebut, kata dia, melanggar hukum dan menjadi akar persoalan konflik di lapangan.
“Perlu dipahami, 95 persen lebih eksekusi itu terjadi karena kendaraannya sudah bukan di tangan debitur, tetapi di tangan pihak ketiga,” ujar Ronald saat dihubungi Kompas.com.
Akibat penjualan ilegal tersebut, cicilan terhenti, alamat debitur tidak lagi valid, dan perusahaan pembiayaan kehilangan akses komunikasi dengan peminjam awal.
Ketika kendaraan kemudian dilacak dan ditemukan, pihak yang memegang unit merasa menjadi korban, meski akar persoalan berasal dari transaksi yang melanggar hukum.
“Ketika kemudian dicari dan ditemukan, yang memegang unit merasa sebagai korban. Padahal akar masalahnya ada di penjualan ilegal itu,” kata Ronald.
Namun demikian, Ronald menegaskan bahwa proses penagihan tetap harus mengikuti aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kementerian Hukum dan HAM.
Penagih resmi wajib memiliki surat kuasa, sertifikat fidusia, serta Sertifikasi Profesi Pembiayaan Indonesia (SPPI), dan tidak boleh melakukan intimidasi atau mengganggu ketertiban umum.
Ia membedakan penagih resmi dengan oknum atau
debt collector
gadungan yang memanfaatkan data kendaraan untuk melakukan eksekusi sepihak di jalan.
“Kalau diajak ke kantor polisi lalu dia gagap, itu tanda-tanda tidak benar,” ujarnya.
Sementara itu, polisi menyebut perampasan kendaraan di jalan tidak dibenarkan.
Sengketa pembiayaan, harus diselesaikan melalui mekanisme perdata atau dilaporkan secara pidana jika ditemukan unsur pelanggaran hukum.
Oknum yang melakukan perampasan disebut dapat dijerat Pasal 368 KUHP tentang pemerasan, pasal penganiayaan, atau pasal lain sesuai perbuatannya.
Di tengah persoalan tersebut, keberadaan aplikasi digital pelacak kendaraan yang digunakan sebagian agen lapangan turut menimbulkan persoalan baru.
Pengamat keamanan siber Alfons Tanujaya menilai, penggunaan aplikasi yang memungkinkan pencarian data kendaraan hanya dengan nomor pelat melanggar Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).
“Data kendaraan pelat nomor, nomor rangka, nomor mesin, nama pemilik, lembaga pembiayaan itu semua data pribadi. Dari sisi privasi, itu pelanggaran,” ujar Alfons.
Menurut Alfons, persoalan utama bukan hanya pada pengguna di lapangan, melainkan pada sumber kebocoran data yang memungkinkan informasi sensitif tersebut beredar luas dan diakses publik.
Selama sumber kebocoran tidak disentuh, praktik di lapangan akan terus berulang dengan pola yang sama.
Dalam konteks itu, penanganan kasus matel dianggap tidak bisa berhenti pada pelaku lapangan.
Tanpa pembenahan sistem penagihan, pengawasan data, dan penegakan hukum yang konsisten, kekerasan akan terus dinormalisasi, sementara aktor struktural tetap berada di balik layar.
(Reporter: Lidia Pratama Febrian | Editor: Abdul Haris Maulana)
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kekerasan Mata Elang Dinormalisasi, Aktor Besar Justru Tak Tersentuh Megapolitan 24 Desember 2025
/data/photo/2025/12/22/69495cb1d2439.jpeg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/12/23/694ab51b2dccf.jpeg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/12/23/694a509848806.jpeg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/12/22/694964dfe401a.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/12/24/694beb1a02ea1.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/24/694be8731c605.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/24/694be7ac38f23.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/23/694a7734a4133.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/24/694bdfee39662.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/24/694bd524b7740.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)