Tak Sekadar Tarik Kendaraan, Realita Pahit Mata Elang di Jalan Raya
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com —
Fenomena “
mata elang
” atau
matel
—sebutan bagi agen lapangan penagih kendaraan kredit bermasalah—kembali menjadi sorotan.
Di balik stigma intimidasi dan perampasan di jalan, praktik ini mengungkap lapisan persoalan yang lebih kompleks.
Sistem penagihan berbasis target, risiko keselamatan tinggi, upah terbatas, serta pemanfaatan teknologi digital yang rawan pelanggaran privasi menjadi realita pahit yang dihadapi matel.
Putra (bukan nama sebenarnya), 47 tahun, telah lima tahun bekerja sebagai matel di kawasan Jakarta Barat. Ia menggambarkan pekerjaan yang ia jalani ini tanpa kepastian penghasilan, meski risiko yang dihadapi cukup besar.
“Kerja tiap hari. Hasil kadang ada, kadang kosong satu-dua hari. Aplikasi juga berbayar,” kata Putra saat dihubungi
Kompas.com
, Senin (22/12/2025).
Menurut Putra, dalam satu tim, setiap anggota mendapat bagian dari penarikan kendaraan yang berhasil dieksekusi.
“Satu unit cair Rp 1 juta, dipotong pajak jadi Rp 800.000, lalu dibagi tim. Misal kalau kami berempat dibagi empat hasilnya,” ujar dia.
Namun, penghasilan tersebut harus ditebus dengan risiko yang tidak kecil. Matel kerap menghadapi potensi kekerasan, kecelakaan, hingga tekanan sosial di lapangan.
“Pasti pasti ada risikonya, namanya kerjaan ya pasti ada. Kadang kami bisa dikepung warga atau diviralkan,” kata Putra.
Putra menegaskan, matel resmi dibekali Sertifikasi Profesi Penagihan Indonesia (SPPI), yang hanya bisa diperoleh setelah melalui ujian.
“Saya ikut dua kali baru lulus, ujiannya 60 soal pilihan ganda. Itu membuktikan kalau kerja resmi, ada aturan yang harus dipatuhi,” tutur dia.
Ia menjelaskan, banyak kendaraan yang ditarik sudah berpindah tangan ke pihak ketiga. Karena itu, matel harus berhati-hati memastikan status unit sebelum melakukan eksekusi.
“Kalau utangnya terlalu besar dan enggak bisa ditebus, semua keputusan dari kantor. Kami hanya menjalankan,” kata dia.
Putra juga menyoroti stigma negatif yang melekat pada pekerjaannya. Stigma negatif itu sering dibangun oleh pihak yang bertindak di luar prosedur.
“Itu yang tidak resmi matelnya, yang bikin onar beda dengan kami yang punya SPPI,” kata dia.
Sertifikasi SPPI, menurut dia, bertujuan memastikan proses penagihan berjalan sesuai aturan dan meminimalkan pelanggaran hukum.
Kompas.com
juga mewawancarai Ronald (bukan nama sebenarnya), perwakilan salah satu perusahaan pembiayaan.
Ia mengatakan, perusahaan kini memperketat persetujuan kredit menyusul maraknya praktik jual beli kendaraan dengan status STNK saja di media sosial.
Kondisi tersebut, kata Ronald, mendorong perusahaan pembiayaan mengambil langkah lebih tegas di lapangan.
Terkait penggunaan matel, Ronald menekankan perbedaan antara
debt collector
resmi dan yang tidak berizin.
“Kalau
debt collector
resmi, membawa surat kuasa, somasi, dokumen lengkap, dan menagih dengan sopan, itu tidak bisa dikategorikan intimidasi,” kata dia.
Ia menambahkan, banyak kasus penarikan kendaraan terjadi karena unit sudah berpindah tangan ke pihak ketiga, sehingga akar masalahnya perlu ditelusuri lebih jauh.
Dalam operasionalnya, mata elang memanfaatkan aplikasi berbayar untuk melacak kendaraan kredit bermasalah. Salah satunya adalah
aplikasi Dewa Matel
, yang dikembangkan SabanaPro pada 2025.
Aplikasi ini memungkinkan pencarian cepat berdasarkan nomor polisi, validasi data kendaraan, hingga pemantauan lokasi secara
real-time
. Aksesnya dibatasi untuk agen resmi dengan identitas digital, wilayah operasional, dan masa berlaku akun tertentu.
Dewa Matel diklaim memiliki basis data lebih dari 18.000 kendaraan di seluruh Indonesia, dari DKI Jakarta hingga Papua.
Pengguna harus berlangganan agar akun tetap aktif, dengan tarif mulai Rp60.000 untuk 15 hari hingga Rp270.000 untuk tiga bulan. Pembayaran dilakukan langsung ke rekening pribadi penyedia layanan.
Namun, pemanfaatan aplikasi ini menuai kritik dari pengamat keamanan siber.
“Data kendaraan seperti plat nomor, nomor mesin, nomor rangka, nama pemilik, dan lembaga pembiayaan bisa diketahui hanya dengan aplikasi ini. Kalau disalahgunakan, bisa untuk aktivitas penipuan lain,” jelas Alfons Tanujaya, pengamat siber.
Menurut Alfons, sumber data diduga berasal dari kebocoran internal lembaga pembiayaan atau praktik berbagi data antarpenyedia jasa alih daya.
Ia menilai penggunaan aplikasi semacam ini berpotensi melanggar Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).
“Kalau ada di aplikasi saja sudah melanggar, apalagi bisa diakses orang awam,” tegasnya.
Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Utara Komisaris Onkoseno Gradiarso Sukahar menegaskan, perampasan kendaraan di jalan tidak dibenarkan.
“Jika memang ada unsur pidana, pihak
leasing
bisa buat laporan. Kalau keterlambatan bayar, ranahnya perdata. Perampasan di jalan berpotensi mengganggu Kamtibmas,” kata dia.
Ia menambahkan, oknum matel yang melakukan perampasan dapat dijerat Pasal 368 KUHP tentang pengancaman dan kekerasan, bahkan pasal penganiayaan, bergantung pada tindakan yang dilakukan.
Onkoseno menyarankan masyarakat agar tidak langsung menyerahkan kendaraan dan segera melapor ke polsek terdekat atau menghubungi pihak
leasing
.
Kriminolog Haniva Hasna menilai fenomena mata elang bertahan karena ketimpangan antara norma hukum dan praktik di lapangan.
“Secara normatif dilarang, tapi secara struktural masih dibutuhkan oleh sistem penagihan yang mengejar efisiensi,” ujar Haniva.
Ia menyebut kondisi ini sebagai kegagalan fungsi pencegahan kejahatan (
crime prevention
) dan
selective enforcement
, ketika hukum hadir tetapi tidak menimbulkan efek jera.
Menurut Haniva, aksi penagihan berkelompok memunculkan psikologi massa, di mana tanggung jawab moral terasa terbagi dan intimidasi dianggap wajar di internal kelompok.
Jika perusahaan pembiayaan mengetahui metode intimidatif pihak ketiga namun tetap menggunakan jasanya, hal tersebut dapat masuk kategori
corporate crime
.
Dampak jangka panjangnya, kata Haniva, adalah normalisasi hukum rimba dan menurunnya kepercayaan publik terhadap penegakan hukum.
“Masyarakat belajar, yang kuat akan menang, yang lemah harus mengalah,” kata Haniva.
Ia menegaskan, penegakan hukum hanya efektif jika menyasar aktor yang paling diuntungkan dalam rantai praktik tersebut.
“Kalau hanya pelaku lapangan yang ditangkap, praktiknya tidak akan pernah hilang,” ujarnya.
Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital menindaklanjuti dugaan penyalahgunaan data nasabah dengan langkah
delisting
aplikasi digital.
Sebanyak delapan aplikasi diajukan untuk dihapus dari platform digital. Enam di antaranya sudah tidak aktif, sementara dua lainnya masih dalam proses.
Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital, Alexander Sabar, menyatakan penindakan dilakukan melalui tahapan pemeriksaan, analisis, hingga rekomendasi pemutusan akses atau penghapusan aplikasi sesuai ketentuan.
“Kami terus memperkuat koordinasi dengan instansi pengawas sektor dan platform digital guna melindungi masyarakat dari praktik penyalahgunaan data pribadi dan aktivitas ilegal,” ujar Alexander.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Tak Sekadar Tarik Kendaraan, Realita Pahit Mata Elang di Jalan Raya Megapolitan 24 Desember 2025
/data/photo/2025/12/22/69496450394ac.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/12/22/69495cb1d2439.jpeg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/12/23/694ab51b2dccf.jpeg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/12/22/694964dfe401a.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/12/22/69496387ead8e.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/06/12/684a88d3654c6.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/22/69496450394ac.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/24/694bbb5794bdb.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/09/6937ee25ac458.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/05/20/682c542bb0d90.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/24/694ba1db7b797.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)