Risiko yang Dihadapi Mata Elang di Lapangan, Terjebak Kepungan dan Amukan Warga
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Di balik tatapan tajam dan waspada para mata elang (matel), sebutan bagi agen pelacak kendaraan dengan kredit bermasalah, tersimpan realitas lapangan yang kerap luput dari perhatian publik.
Di jalanan Ibu Kota dan kota-kota penyangga, pekerjaan mereka tidak hanya berhadapan dengan debitur yang menunggak cicilan, tetapi juga emosi warga, stigma sosial, hingga ancaman hukum.
Dalam beberapa tahun terakhir, profesi ini semakin berada di bawah sorotan. Video
penarikan kendaraan
yang dilakukan para
matel
di jalan raya kerap viral dan berujung pada kemarahan publik.
Namun, cerita di balik layar menunjukkan bahwa tidak semua matel bekerja dengan cara yang sama. Sebagian justru memilih mundur ketika situasi memanas demi menghindari risiko yang lebih besar.
Putra (bukan nama sebenarnya) (47), bekerja sebagai matel di wilayah Jakarta Barat. Ia masih mengingat jelas momen ketika dirinya nyaris menjadi sasaran amuk massa.
Sore itu, menjelang Magrib, ia dan rekannya mengikuti satu unit sepeda motor yang terdeteksi bermasalah.
“Begitu berhenti, tiba-tiba warga berdatangan. Nanya macam-macam. Situasinya cepat panas,” kata Putra saat dihubungi
Kompas.com
, Senin (22/12/2025).
Ia memilih tidak memaksakan diri. Motor yang terdeteksi bermasalah ia lepaskan. Baginya, keselamatan jauh lebih penting daripada target.
“Kalau dipaksa dan terjadi apa-apa, kita yang rugi. Bisa luka, bisa ribut, bisa masuk penjara,” ujar Putra.
Dalam lima hingga enam tahun menjadi matel, Putra mengaku sudah terbiasa menghadapi risiko.
Ia pernah nyaris diviralkan oleh pengguna jalan, termasuk pengemudi ojek daring. Menurut dia, stigma negatif terhadap matel terlanjur melekat akibat ulah oknum yang melakukan penarikan paksa di jalan.
“Yang langsung ambil di jalan itu oknum. SOP (standar operasional prosedur) enggak membenarkan,” kata dia.
Menurut Putra, mereka yang bekerja sesuai prosedur justru lebih sering memilih “nongkrong” di titik tertentu, memverifikasi data, dan berkoordinasi dengan kantor.
“Kalau kerja benar, kita aman-aman saja,” ujar Putra.
Putra menegaskan, tidak semua unit yang dicari adalah milik debitur aktif. Banyak kendaraan sudah berpindah tangan, bahkan hingga tangan ketiga atau keempat, setelah dijual secara informal.
“Banyak motor dijual COD lewat Facebook, cuma pakai STNK. Yang pegang unit kasihan, tapi statusnya bermasalah,” kata Putra.
Di lapangan, matel tidak serta-merta mengeksekusi. Mereka melakukan konfirmasi ke kantor, mencocokkan nomor mesin dan rangka lalu menjelaskan status kendaraan.
Jika tunggakan masih kecil, debitur biasanya diberi waktu untuk menyelesaikan dengan unit motor sebagai jaminan.
“Bisa ditebus lagi. Enggak langsung jadi hak
leasing
,” ujar Putra.
Namun, ia mengakui bahwa risiko yang dihadapi saat bertugas tetap besar, mulai dari terjatuh saat membuntuti kendaraan, adu mulut dengan warga, hingga potensi kriminalisasi jika terjadi kesalahpahaman.
“Risikonya jatuh, luka, ribut, itu biasa. Tapi prinsip saya, enggak mau mencuri,” kata dia.
Kriminolog Haniva Hasna menilai, fenomena
mata elang
tidak bisa dilihat semata sebagai persoalan kriminal jalanan.
Ia mengatakan, keberadaan matel merupakan cerminan ketidakseimbangan antara aturan hukum dan kebutuhan sistem penagihan.
“Secara normatif dilarang, tapi secara struktural masih ‘dibutuhkan’ oleh sistem yang mengejar efisiensi,” kata Haniva saat dihubungi
Kompas.com
, Senin.
Menurut dia, permasalahan ini bukan semata kegagalan hukum, melainkan kegagalan fungsi pencegahan.
Penegakan hukum dinilai tidak konsisten dan lebih banyak menyasar eksekutor kecil di lapangan, sementara aktor struktural relatif aman.
Dalam perspektif kriminologi, kondisi ini disebut
selective enforcement
hukum ada, tetapi tidak menimbulkan efek jera.
Aksi matel yang kerap dilakukan berkelompok juga dipengaruhi psikologi massa.
“Ada deindividuasi dan
diffusion of responsibility
. Identitas personal hilang, tanggung jawab moral terbagi,” ujar Haniva.
Akibatnya, intimidasi terasa normal di dalam kelompok meski secara hukum melanggar.
Haniva menilai, praktik ini berpotensi masuk kategori
corporate crime
jika perusahaan pembiayaan mengetahui metode intimidatif pihak ketiga, tetap menggunakan jasanya, dan mendapatkan keuntungan langsung.
“Kekerasan dilakukan oleh orang lain, tapi diuntungkan dan ditoleransi oleh korporasi,” ujar dia.
Dampak jangka panjangnya serius, mulai dari erosi kepercayaan terhadap hukum, normalisasi kekerasan, hingga potensi main hakim sendiri.
“Yang kuat akan menang, yang lemah harus mengalah,” kata Haniva, menggambarkan pesan sosial yang tersampaikan ke masyarakat.
Ia juga menyoroti
dark figure of crime
, yakni banyak korban enggan melapor karena takut, malu, atau menganggap peristiwa itu sebagai konsekuensi wajar dari utang.
Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Utara Kompol Onkoseno Gradiarso Sukahar menegaskan, perampasan kendaraan bermotor di jalan tidak dibenarkan.
“Kalau bermasalah, seharusnya dibawa ke kantor leasing. Perampasan di jalan berpotensi gangguan kamtibmas,” ujar Onkoseno saat dihubungi baru-baru ini.
Jika ada unsur pidana, pihak
leasing
dipersilakan membuat laporan. Untuk keterlambatan pembayaran, jalurnya adalah perdata, bukan tindakan sepihak.
Oknum matel yang melakukan penarikan paksa bisa dijerat Pasal 368 KUHP tentang pemerasan dengan ancaman kekerasan, serta pasal lain sesuai perbuatannya.
Imbauan polisi kepada masyarakat pun jelas, yaitu jangan langsung menyerahkan kendaraan.
“Datangi polsek terdekat atau hubungi
leasing
yang bersangkutan,” kata Onkoseno.
Ronald (bukan nama sebenarnya), perwakilan perusahaan pembiayaan atau
leasing
, menyebut industri pembiayaan kini berada dalam posisi serba hati-hati.
Penurunan daya beli dan maraknya jual beli kendaraan “STNK
only
” menjadi tantangan besar.
“Kendaraan masih kredit, tapi dijual saja. Merasa tidak punya tanggung jawab,” kata dia.
Fenomena ini membuat perusahaan pembiayaan memperketat persetujuan kredit. Jika sebelumnya tujuh dari sepuluh aplikasi disetujui, kini hanya empat atau lima.
Ia menegaskan, perlu dibedakan antara
debt collector
resmi dan gadungan.
Debt collector
resmi memiliki surat kuasa, sertifikat profesi, dan bekerja sesuai SOP.
“Kalau tidak punya surat kuasa dan bertindak tidak sopan, itu jelas bermasalah,” ujar Ronald.
Menurut Ronald, lebih dari 95 persen kasus eksekusi terjadi karena kendaraan sudah tidak di tangan debitur. Hal inilah yang kerap memicu konflik di lapangan.
Di sisi lain, persoalan matel kini bersinggungan dengan ruang digital.
Kompas.com
mengamati sebuah aplikasi bernama “Dewa Matel” yang digunakan agen lapangan untuk melacak kendaraan bermasalah.
Aplikasi ini memuat basis data besar berisi nomor polisi, jenis kendaraan, nama perusahaan pembiayaan, hingga nomor mesin dan rangka. Pencarian dapat dilakukan cepat, bahkan tanpa koneksi internet stabil.
Pengamat keamanan siber Alfons Tanujaya menilai aplikasi semacam ini jelas melanggar Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).
“Data kendaraan dan kontrak bisa diakses hanya dengan memasukkan plat nomor. Itu pelanggaran serius,” kata Alfons saat dihubungi belum lama ini.
Menurut dia, meski
leasing
menghadapi nasabah wanprestasi, penggunaan data tetap harus dibatasi dan didukung dasar hukum yang sah.
“Kalau ada di aplikasi yang bisa diakses orang awam, itu pelanggaran luar biasa,” ujar dia.
Alfons mengingatkan, data digital yang sudah bocor akan bocor selamanya. Sumber kebocoran perlu ditelusuri, apakah dari internal lembaga pembiayaan atau pihak lain.
Data yang bocor juga berpotensi disalahgunakan untuk penipuan dan kejahatan lain, bukan sekadar penagihan.
Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) telah menindaklanjuti dugaan penyalahgunaan data nasabah pembiayaan kendaraan bermotor melalui aplikasi digital.
Hingga Desember 2025, delapan aplikasi telah diajukan untuk penghapusan dari platform digital, enam di antaranya sudah tidak aktif.
Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Kemkomdigi Alexander Sabar mengatakan, langkah ini dilakukan setelah ditemukan indikasi penyebaran data objek fidusia secara tidak sah.
Penindakan dilakukan melalui pemeriksaan dan koordinasi dengan instansi pengawas sektor, di antaranya OJK dan Polri.
Di lapangan, Putra kembali pada prinsip awalnya bekerja tanpa memaksakan diri. Ia menyadari, satu langkah keliru bisa berujung panjang, viral, laporan polisi, atau luka fisik.
“Kalau ketemu orang baik, kita baik. Kalau susah diajak bicara, kita lepasin,” kata dia.
Baginya, profesi ini bukan soal memburu semata, melainkan bertahan di persimpangan risiko hukum, sosial, dan ekonomi.
Di tengah stigma dan sorotan publik, realitas matel di lapangan jauh lebih kompleks daripada potongan video viral di media sosial.
“Jangan hanya dilihat sisi negatif kita, stigma memang negatif. Tapi bedakan matel yang resmi dan tidak resmi,” ujar dia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Risiko yang Dihadapi Mata Elang di Lapangan, Terjebak Kepungan dan Amukan Warga Megapolitan 24 Desember 2025
/data/photo/2025/12/22/69495cb1d2439.jpeg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/12/23/694ab51b2dccf.jpeg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/12/22/694964dfe401a.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/12/22/69496387ead8e.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/12/22/694962accac1a.jpeg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/10/24/68fb04ed9b592.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/07/31/688aa90eb819a.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/22/69495cb1d2439.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/24/694b85a38e684.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/24/694b7a2a42d7f.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/23/694a762dc6e92.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)