Jakarta Punya Kampung Bebas Asap Rokok, Warga Tunjukkan Kepedulian Nyata
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Kawasan bebas asap rokok biasanya dipahami sebagai kebijakan kesehatan, terkait penyakit paru-paru, perokok pasif, atau risiko penyakit kronis.
Namun ketika inisiatif itu lahir dari kampung, dari RT atau RW, maknanya jauh lebih luas.
Aturan ini bukan sekadar larangan merokok, tapi cerminan bagaimana warga merawat ruang hidup bersama.
Di tengah kota yang padat dan individualistik, mengubah perilaku sehari-hari tidak sederhana.
Tidak cukup hanya dengan papan larangan; dibutuhkan kesadaran, kesepakatan, dan sosialisasi yang berjalan bersama.
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Rakhmat Hidayat, menilai
kampung bebas asap rokok
menunjukkan kesadaran masyarakat akar rumput dalam merespons masalah kehidupan perkotaan.
“Ini adalah terminal atau representasi dari inisiatif masyarakat akar rumput dalam memiliki kesadaran untuk peduli dengan kehidupan atau ruang masyarakat kota,” kata Rakhmat, Jumat (19/12/2025).
Pembacaan kampung bebas asap rokok tidak bisa berhenti pada aspek medis.
Ada pola sosial yang lebih dalam, terutama bagaimana warga memandang dan memperlakukan ruang tempat tinggal mereka.
“Jadi ini lebih kepada satu inisiatif masyarakat, kesadaran kolektif dari masyarakat untuk peduli kepada ruang kota,” ujarnya.
Rakhmat menekankan keberhasilan kampung bebas asap rokok sangat terkait dengan level sosial tempat aturan diterapkan.
Struktur paling kecil, seperti RT atau RW, justru paling potensial.
“Kalau dilihat beberapa kasus, kampung bebas asap rokok muncul di level RW dan RT karena unit populasi ini paling kecil dalam struktur masyarakat Indonesia,” katanya.
RT atau RW menjadi ruang di mana interaksi intens, personal, dan berulang berlangsung.
Warga saling mengenal, saling mengamati, dan saling menilai. Di titik ini, norma sosial bekerja lebih efektif.
“Nah kalau RW itu menaungi dan mewadahi, lebih bagus. Artinya kesadaran bersifat kolektif dan komunal, dan memang ini nggak mudah,” tambah Rakhmat.
Tidak semua kampung mudah menerapkan kawasan bebas asap rokok.
Perbedaan latar belakang, kebiasaan, dan karakter warga menjadi tantangan.
“Kalau ada kampung yang bebas asap rokok, itu nggak mudah karena tentu orang punya berbagai macam perilaku,” ujar Rakhmat.
Aturan dan sanksi formal sering kali tidak cukup.
“Kalaupun ada sanksi, juga belum efektif,” katanya.
Keberhasilan di beberapa wilayah bukan kebetulan, melainkan hasil mekanisme sosial, koordinasi, dan mobilisasi.
“Kenapa aturan di level RW bisa efektif? Karena jumlah RT dalam RW berbeda-beda, tergantung besar kecilnya daerah tersebut,” jelasnya.
Meskipun berhasil diterapkan, kawasan bebas asap rokok harus dijaga keberlanjutannya.
“Ini tidak mudah dirawat dalam jangka panjang karena kesadaran masyarakat kadang belum stabil dan konsisten,” kata Rakhmat.
Kesadaran dimulai dari individu, namun harus naik kelas menjadi kesadaran bersama.
“Kesadaran itu bersifat pribadi, tapi dari pribadi itulah yang kemudian bereskalasi menjadi kesadaran kolektif,” ujarnya.
Dalam praktik, sanksi berupa denda sering kalah efektif dibanding kontrol sosial.
“Di lapangan lebih efektif karena ada gosip, sanksi sosial, dan kontrol dari masyarakat,” kata Rakhmat.
Tekanan lingkungan sering lebih ampuh daripada aturan formal untuk mengubah perilaku.
Rakhmat menekankan peran negara penting, misalnya memberi insentif atau bantuan infrastruktur bagi RT dan RW yang mempertahankan program jangka panjang.
“Bukan hanya inisiatif masyarakat akar rumput, tapi perlu intervensi negara,” ujarnya.
Intervensi bisa berupa sarana transportasi, alat penunjang kegiatan komunitas, atau dukungan modal.
“Misalnya reward, memberikan dukungan terkait finansial atau keberlanjutan infrastruktur,” tambah Rakhmat.
Langkah ini membantu inisiatif kampung bebas asap rokok tidak hanya bertahan, tetapi berkembang sebagai contoh bagi wilayah lain.
RW 06, Kelurahan Kayu Manis, Matraman, Jakarta Timur, menjadi contoh sukses.
Ketua RW 06, Ence Santoso, menyebut kesadaran lingkungan sehat menjadi awal terbentuknya kawasan bebas asap rokok.
“Inisiasi awal dari anak mantan RW terdahulu, lalu didukung puskesmas,” kata Ence, Jumat (19/12/2025).
Warga mendapat pendampingan puskesmas melalui sosialisasi, pemeriksaan kesehatan, olahraga, dan terapi berhenti merokok.
“Selain terapi dan olahraga, kami dikasih vitamin supaya merokok terasa nggak enak,” ujar Ence.
Awalnya, sanksi administratif diterapkan, berupa denda Rp 50 ribu setelah peringatan lisan tiga kali.
Namun kini diganti dengan kegiatan edukatif, seperti penghijauan atau membeli pot tanaman.
Setelah enam tahun, dampak terasa nyata. Lingkungan lebih segar, anak-anak bermain nyaman, dan warga, terutama lansia, lebih betah.
“Lebih nyaman. Lingkungan juga nggak bau asap. Sekarang lebih bersih, lebih segar, jadi adem,” kata Wakinem (70), salah seorang warga.
“Manfaatnya itu, lebih fresh,” tambah Ence.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Jakarta Punya Kampung Bebas Asap Rokok, Warga Tunjukkan Kepedulian Nyata Megapolitan 23 Desember 2025
/data/photo/2025/12/23/694a9d9d442a5.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/23/694a89f3b91e5.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/23/694a762dc6e92.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2022/11/19/637837d1bab7d.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/23/694a8ad7d30dc.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)