Cerita Pekerja Bodetabek: Waktu dan Tenaga Habis Demi Cari Uang di Jakarta
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
— Setiap hari, bahkan sejak fajar belum sepenuhnya terbit, arus manusia bergerak menuju Jakarta.
Dari Bogor, Depok, Tangerang, hingga Bekasi, jutaan pekerja meninggalkan rumah lebih pagi dari jam kerja mereka sendiri demi mengejar penghidupan di ibu kota. Waktu, tenaga, dan kesehatan menjadi ongkos tak tertulis yang tidak tercantum di slip gaji.
Namun bagi banyak pekerja,
perjalanan panjang
itu tetap dijalani—bahkan dinormalisasi—demi bertahan hidup di tengah mahalnya
biaya hidup Jakarta
dan terbatasnya pilihan kerja di kota penyangga.
Monique (27) telah menjalani hidup sebagai
pekerja komuter
sejak 2022. Ia bekerja di Jakarta dengan satu alasan yang menurutnya paling realistis: peluang kerja jauh lebih terbuka di pusat kota.
“Kalau bicara peluang, Jakarta masih jadi pusatnya,” kata Monique saat dihubungi.
Setiap hari, perjalanan Monique dimulai sekitar pukul 08.00 WIB. Dari rumahnya di Bekasi, ia memesan ojek daring menuju stasiun.
Setelah itu, perjalanan dilanjutkan dengan KRL, disambung MRT, hingga tiba di kantor. Rute yang sama harus ia tempuh saat pulang: MRT, KRL, lalu ojek daring kembali ke rumah.
Total waktu perjalanan pulang-pergi Jakarta–Bekasi bisa mencapai empat jam.
“Sungguh sangat menguras tenaga dan waktu,” ujar dia.
Monique mengaku harus menyediakan waktu cadangan setiap hari untuk mengantisipasi keterlambatan, gangguan transportasi, atau kepadatan penumpang.
“
Transportasi umum
itu pastinya enggak selalu nyaman. Energi terkuras, fisik capek,” kata Monique.
Namun, alasan Monique bertahan bukan hanya soal pekerjaan. Ada tuntutan keluarga yang membuatnya harus tetap tinggal di rumah. Tinggal indekos di Jakarta bukan pilihan yang mudah, baik secara ekonomi maupun sosial.
Di titik inilah Monique merasa terjebak di antara kewajiban dan realitas. Dari sisi kesehatan, ia mengaku lebih mudah letih dan merasa banyak waktu terbuang di perjalanan.
Meski demikian, Monique mencoba mencari sisi positif dari rutinitas yang melelahkan itu.
“Di perjalanan, saya menemukan banyak pelajaran. Dari sisi sabar, lapang dada, memberi, dan berbagi senyum kepada orang,” tutur dia.
Baginya, Jakarta hanya akan terasa layak ditinggali jika sebagian besar hidup dihabiskan di kota tersebut—mulai dari pekerjaan, pertemanan, hingga akses yang mudah.
“Tapi gaya hidup di Jakarta juga harus dipertimbangkan. Enggak selalu sebanding kalau dibandingkan tinggal di daerah,” kata Monique, yang memilih bertahan sebagai komuter, setidaknya untuk saat ini.
Pilihan serupa diambil Amelia Putri (24), pekerja pemasaran yang bekerja di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat.
Sejak awal 2023, Amelia pulang-pergi dari Bogor setiap hari. Pukul lima pagi, ia sudah berangkat menuju Stasiun Bogor, naik KRL, lalu menyambung ojek daring ke kantor. Alasan Amelia sederhana: biaya.
“Harga kos di sekitar Sudirman atau Setiabudi mahal sekali. Untuk kos yang layak bisa di atas dua setengah sampai tiga juta per bulan, belum termasuk makan dan kebutuhan lain,” ujar dia saat ditemui, Jumat (19/12/2025).
Tinggal bersama orangtua di Bogor membuat pengeluaran Amelia dapat ditekan. Waktu tempuh perjalanannya rata-rata dua jam sekali jalan. Namun, kondisi di lapangan kerap membuat perjalanan menjadi lebih lama.
“Kalau KRL penuh atau ada gangguan, bisa lebih lama. Pulang kerja kadang baru sampai rumah jam sembilan malam,” kata dia.
Tantangan terberat bagi Amelia adalah kelelahan fisik dan mental. Berdesakan di KRL, berdiri lama, hingga kesulitan bernapas di jam sibuk telah menjadi keseharian.
Namun, seperti banyak pekerja komuter lainnya, Amelia menormalisasi kondisi tersebut.
“Jakarta itu tempat cari uang, Bogor itu rumah. Jadi capeknya dibawa saja,” tutur Amelia.
Syifa Ramadhani (25), seorang spesialis SEO yang bekerja di kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan, juga memilih bertahan sebagai komuter dari Depok.
Setiap hari, ia mengombinasikan KRL dan MRT, berangkat lebih pagi untuk menghindari kepadatan. Namun, kenyataan sering kali tidak seideal rencana.
“Tetap saja sering penuh,” kata Syifa.
Waktu tempuh perjalanan Syifa berkisar antara satu setengah hingga dua jam sekali jalan. Jika pulang larut malam, energinya nyaris habis.
“Rasanya hidup cuma kerja dan perjalanan,” ujar dia.
Bagi Syifa, Jakarta lebih terasa sebagai mesin uang ketimbang ruang hidup. Ia pernah mempertimbangkan untuk tinggal indekos di Jakarta, tetapi perhitungan biaya membuatnya mengurungkan niat tersebut.
“Selama transportasi publik masih bisa diandalkan, saya memilih tetap jadi komuter,” kata Syifa, meski menyadari konsekuensi kelelahan dan kejenuhan yang terus menumpuk.
Cerita Monique, Amelia, dan Syifa memperlihatkan satu benang merah, yakni biaya hidup Jakarta yang kian mahal memaksa pekerja mencari hunian di kota penyangga.
Dalam kondisi ini, menjadi komuter bukan semata pilihan rasional, melainkan kompromi yang dipaksakan oleh struktur ekonomi dan persoalan hunian.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta memperkuat gambaran tersebut. Kepala BPS DKI Jakarta, Nurul Hasanudin, menjelaskan Jakarta memiliki persentase pekerja yang tinggal dan bekerja di wilayah berbeda di atas rata-rata nasional.
Berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2024, proporsi pekerja komuter secara nasional mencapai 5,2 persen, dengan konsentrasi terbesar berada di kawasan metropolitan seperti Jabodetabek.
Sekitar 90 persen pekerja komuter berada di wilayah barat Indonesia, dan hampir tiga perempatnya terkonsentrasi di Pulau Jawa.
Jawa Barat tercatat sebagai provinsi dengan jumlah komuter terbesar, disusul Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DKI Jakarta.
“Pola ini memperlihatkan bahwa daerah penyangga berfungsi sebagai ruang tinggal, sementara Jakarta menjadi ruang kerja,” ujar Nurul.
Depok tercatat sebagai daerah dengan persentase komuter tertinggi, mencapai 24,5 persen, dengan 81,9 persen perjalanan dilakukan untuk bekerja.
Namun demikian, pola mobilitas masih didominasi kendaraan pribadi, mencapai 79 persen, sementara pengguna angkutan umum baru 19,5 persen.
BPS menilai, keputusan menjadi komuter sangat dipengaruhi oleh harga lahan dan perumahan di pusat kota. Ketika hunian terjangkau sulit diakses, pekerja menukar jarak dan waktu tempuh harian yang panjang.
“Berdesakan di KRL dan berganti moda transportasi bukan lagi kondisi luar biasa, melainkan pola hidup yang dinormalisasi,” kata Nurul.
Dari sisi kebijakan, pengamat transportasi Deddy Herlambang menilai persoalan komuter Jakarta tidak bisa dilepaskan dari lemahnya dukungan transportasi pengumpan di kawasan Bodetabek.
“Yang serius aktif itu Pemprov DKI, sementara pemda Bodetabek masih minim support, minimal menyediakan feeder di setiap simpul stasiun KRL,” ujar Deddy.
Menurut Deddy, biaya transportasi komuter justru membengkak pada tahap
first mile
dan
last mile
.
“Moda paratransit seperti ojek online, taksi online, atau bajaj dari stasiun ke destinasi itulah yang bikin biaya membengkak,” kata dia.
Ia juga menyoroti keterbatasan kapasitas angkutan umum. Dengan lebih dari 100 juta pergerakan orang setiap hari di DKI Jakarta dan sekitarnya, target 60 persen penggunaan angkutan umum masih jauh dari tercapai. Saat ini, pengguna angkutan massal baru sekitar 10 persen.
“KRL hanya sediakan satu juta kursi per hari, Transjakarta juga satu juta. MRT dan LRT belum signifikan,” ujar Deddy.
Menurut dia, solusi persoalan komuter membutuhkan sinkronisasi kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah. Tanpa itu, beban komuter akan terus berulang dan diwariskan dari satu generasi pekerja ke generasi berikutnya.
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Rakhmat Hidayat, menekankan fenomena komuter tidak hanya terjadi di Jakarta, melainkan juga di kota-kota besar dunia.
Namun, perbedaannya terletak pada kualitas infrastruktur dan pemerataan pembangunan. Di Eropa, jarak jauh ditopang transportasi cepat dan nyaman. Di Jakarta, jarak yang relatif lebih pendek justru terasa melelahkan.
“Perjalanan satu sampai dua jam bisa meningkatkan stres dan depresi karena infrastruktur belum memadai,” kata Rakhmat.
Dampak sosialnya nyata, yaitu waktu habis di jalan, ruang interaksi keluarga menyempit, dan identitas sebagai “pekerja komuter” terbentuk.
Mereka menghabiskan jam produktif di pusat kota, sementara kehidupan personal tertinggal di pinggiran.
Psikolog Klinis Ratih Ibrahim melihat normalisasi kondisi ini sebagai mekanisme bertahan hidup.
“Realita hidup enggak selalu sejalan dengan yang ideal. Pilihannya you take it or leave it,” ujarnya.
Ketika keputusan diambil secara sadar, kondisi tersebut tidak selalu menjadi drama. Ratih menyebut
growth mindset
dan daya adaptif sebagai kunci untuk bertahan.
Pada akhirnya, kisah pekerja Bodetabek yang rela menghabiskan waktu dan tenaga demi bekerja di Jakarta memperlihatkan wajah lain pembangunan metropolitan—sebuah kota yang menjadi pusat ekonomi, tetapi memindahkan beban sosial dan psikologis ke pinggirannya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Cerita Pekerja Bodetabek: Waktu dan Tenaga Habis Demi Cari Uang di Jakarta Megapolitan 23 Desember 2025
/data/photo/2020/12/18/5fdc44cd8efd9.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/12/11/693aab6015da0.jpeg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4249935/original/023949800_1670222838-Audiensi_Emtek_dengan_Pangdam_Jaya-Herman-4.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2014/06/23/1919542malam-muda-mudi1780x390.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/12/22/6948dd02dd198.jpeg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/12/21/6947ff79c01bb.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2020/01/01/5e0c09e343af3.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/23/694a2c190a64b.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/23/694a43c2ad0cd.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/23/694a3d53e8b32.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/03/25/67e253811bbb9.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/23/694a2e4fe4f0a.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)