Cerita Kampung Bebas Asap Rokok di Matraman: Melawan Refleks Saat Ngopi dan Nongkrong
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com —
Perubahan di sebuah kampung padat di Jakarta Timur ini tidak ditandai dengan bangunan baru atau proyek fisik berskala besar.
Tak ada jalan yang dilebarkan, tembok yang dirobohkan, atau fasilitas megah yang diresmikan. Namun, warga merasakan perubahan nyata dalam keseharian mereka, yaitu udara yang lebih bersih, tanpa kepulan asap rokok.
Selama bertahun-tahun, asap rokok menjadi bagian tak terpisahkan dari ritme hidup kampung. Pagi hari diisi obrolan sambil menyeruput kopi dan menyalakan rokok. Sore hari, kebiasaan itu terulang ketika warga berkumpul, berbincang, dan melepas lelah sepulang kerja.
Asap mengepul tanpa pernah benar-benar dipikirkan ke mana arahnya dan siapa saja yang menghirupnya.
Ketika wacana
kawasan bebas asap rokok
mulai diterapkan, sebagian warga pun ragu kebiasaan lama itu bisa berubah. Rokok sudah terlanjur lekat dengan kehidupan sehari-hari.
Namun, aturan yang lahir dari kesepakatan bersama itu perlahan mengubah wajah kampung.
Bagi warga lanjut usia, keberadaan asap rokok bukan sekadar persoalan kenyamanan, melainkan menyangkut kesehatan dan ruang hidup yang semakin terbatas. Di usia yang tidak lagi muda, tubuh menjadi lebih sensitif terhadap udara yang tercemar.
Seorang warga lansia, Wakinem (70), menggambarkan situasi tersebut sebagai sesuatu yang selama ini dianggap wajar, meski diam-diam memberatkan.
“Dulu hampir tiap hari, pagi-pagi orang ngopi sambil nerokok, sore nongkrong juga rokok. Kadang kalau lagi duduk di teras, asap rokok ke mana-mana,” katanya saat ditemui di kawasan RW 06, Kelurahan Kayu Manis, Matraman.
“Saya kan sudah tua, batuk-batuk juga. Mau negur juga sungkan, namanya tetangga,” imbuh dia.
Ketika aturan kawasan bebas asap rokok mulai diperkenalkan, respons warga tidak sepenuhnya seragam. Ada harapan akan lingkungan yang lebih sehat, tetapi juga keraguan apakah perubahan perilaku benar-benar bisa terjadi.
Perasaan campur aduk itu dirasakan Wakinem, yang sebelumnya kerap terpapar asap rokok.
“Senang karena kalau beneran jalan enak orang tua sama anak-anak. Tapi ragu, masa orang-orang mau nurut, wong rokok sudah kebiasaan dari dulu. Banyak yang ngomel juga (awal-awal),” ungkapnya.
Seiring waktu, perubahan mulai terasa, terutama dari hal paling sederhana, yaitu udara. Bagi Wakinem yang sehari-hari banyak beraktivitas di sekitar rumah, kualitas udara menjadi indikator paling nyata dari keberhasilan aturan tersebut.
“Itu udaranya. Sekarang kalau duduk di luar rumah, enggak kecium bau rokok. sudah jarang yang nyalain rokok sembarangan,” katanya.
Hilangnya bau asap menjadi bentuk kenyamanan baru yang sebelumnya tak pernah ia bayangkan.
Selain udara, suasana kampung secara keseluruhan ikut berubah. Lingkungan terasa lebih bersih, tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara atmosfer. Bau asap yang sebelumnya menempel di pakaian, dinding, dan perabot rumah perlahan menghilang.
Kampung yang dulu identik dengan kepulan asap kini terasa lebih segar. Wakinem mengaku lebih betah beraktivitas di luar rumah, terutama pada sore hari saat interaksi sosial biasanya berlangsung.
“Lebih nyaman. Lingkungan juga nggak bau asap. Sekarang lebih bersih, lebih segar, jadi adem,” jelas dia.
Ia juga merasakan interaksi sosial meningkat. Duduk-duduk di luar rumah tak lagi dihindari, melainkan kembali menjadi bagian dari kehidupan kampung.
“Saya sendiri ngerasa lebih enak, nggak gampang batuk. Ibu-ibu di sini juga sering bilang lebih betah duduk di luar,” kata dia.
Wakinem menyadari aturan kawasan bebas asap rokok tidak bisa berjalan otomatis. Kesadaran kolektif perlu terus dirawat dan diingatkan, terutama kepada warga pendatang atau orang luar yang melintas.
Baginya, esensi aturan ini bukan semata larangan, melainkan bentuk saling menjaga dalam kehidupan bersama. Rokok tidak sepenuhnya dilarang, tetapi diatur agar tidak merugikan orang lain.
“Artinya kita saling jaga. Bukan soal melarang merokok, tapi nggak nyusahin orang lain. Kita hidup bareng, ya harus mikirin yang tua, anak kecil, ibu hamil,” ujar dia.
Sementara itu, Irman (bukan nama sebenarnya), warga yang sebelumnya perokok aktif, mengakui aturan ini menjadi tantangan besar. Rokok bukan sekadar benda, melainkan bagian dari rutinitas harian.
“Saya merokok sudah lama, dari masih muda, mungkin sejak umur dua puluhan. Dulu itu sehari bisa habis satu bungkus, kadang lebih kalau lagi sama teman. sudah jadi kebiasaan, habis makan nyari rokok, bangun tidur nyari rokok,” kata Irman.
Pada awal penerapan kawasan bebas asap rokok, ia merasa keberatan. Aturan itu ia anggap membatasi hak pribadinya.
“Terus terang, awalnya keberatan. Rasanya kaya dibatasi, kaya hak kita diambil ‘Masa di kampung sendiri nggak boleh ngerokok?’ Waktu itu sempat ngedumel juga,” katanya.
Menurut Irman, tantangan terbesar bukan soal tempat, melainkan kebiasaan yang melekat pada momen-momen tertentu.
“Yang paling berat itu kebiasaan. Bukan soal tempat, tapi soal refleks, kebiasaan. Kalau lagi duduk, pengin nyalain rokok. Apalagi pas ngopi rasanya ada yang kurang,” jelas dia.
Awalnya, Irman mencoba menyiasati aturan dengan keluar kampung jika ingin merokok. Namun, cara itu justru membuatnya lelah dan secara perlahan mengurangi jumlah rokok yang dihisap.
Pada akhirnya, berhenti merokok total menjadi pilihan yang paling efektif. Dengan berhenti merokok, ia tidak hanya menyesuaikan diri, tetapi juga mulai merasakan perubahan positif pada tubuh dan kondisi ekonomi sehari-hari.
“Akhirnya sekalian berhenti aja,” ucap dia.
“Manfaatnya banyak. Napas enteng, badan juga lebih enak, lebih
fresh
. Uang yang dulu buat rokok sekarang bisa ditabung atau buat kebutuhan rumah,” kata dia.
Kesadaran akan pentingnya lingkungan sehat menjadi titik awal terbentuknya kawasan bebas asap rokok di RW 06, Kelurahan Kayu Manis. Ide tersebut berangkat dari pengalaman pribadi mantan ketua RW yang melihat dampak merokok terhadap keluarganya.
“Inisiasi awal itu dari anaknya mantan RW terdahulu lalu didukung oleh puskesmas,” Kata ketua RW 06, Ence Santoso saat ditemui di kediamannya, Jumat (19/12/2025).
Mewujudkan kawasan bebas asap rokok, menurut Ence, memerlukan proses panjang. Puskesmas setempat berperan aktif mendampingi warga melalui sosialisasi, pemeriksaan kesehatan rutin, serta ruang konsultasi agar warga memahami dampak merokok.
“Selain terapi, olahraga, itu pun kemarin dikasih vitamin supaya kita merokok dan itu (rasanya) enggak enak. Dikasih obat supaya kita merasa merokok itu enggak enak,” kata dia.
Pada tahap awal, pengelolaan kawasan bebas asap rokok menerapkan sanksi administratif untuk menegakkan disiplin. Setiap pelanggar mendapat peringatan lisan hingga tiga kali sebelum dikenai denda.
“Memang dulu pertama kali kami adakan kawasan bebas asap rokok, itu setiap orang yang kena pelanggaran, kami kenakan sanksi,” kata Ence.
Namun, pengurus RW kemudian mengevaluasi efektivitas sanksi tersebut. Denda uang dinilai tidak selalu menumbuhkan kesadaran dan berpotensi memicu penolakan.
Sebagai gantinya, diterapkan sanksi yang lebih edukatif dan bermanfaat bagi lingkungan.
“Sanksi administrasi sebetulnya Rp 50.000. Setelah itu terhapus, diganti dengan penghijauan, membeli pot tanaman,” katanya.
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Rakhmat Hidayat, menilai keberhasilan kawasan bebas asap rokok sangat bergantung pada koordinasi dan kesadaran warga.
Menurut dia, komunikasi yang baik dari RW ke RT dan warga menjadi kunci pelaksanaan.
“Karena ada koordinasi antara RW dengan RT, lalu mobilisasi dari ketua RT ke warga, itu beberapa yang membuat kemudian ini berhasil,” kata Rakhmat, Jumat (19/12/2025).
Di sisi lain, mempertahankan kawasan bebas asap rokok bukan perkara mudah. Kesadaran warga bersifat personal dan perlu waktu untuk berkembang menjadi kesadaran kolektif.
“Kesadaran itu bersifat pribadi, awalnya memang dibangun oleh pribadi. Tapi dari pribadi itulah yang kemudian bereskalasi menjadi kesadaran kolektif,” ujarnya.
Rakhmat menekankan, keberhasilan hanya tercapai jika kesadaran individu berkembang menjadi komitmen bersama di tingkat RT.
“Kalau satu orang dalam RT punya kesadaran untuk tidak merokok sembarangan, itu akan berhasil kalau orang-orang se-RT juga punya kesadaran kolektif,” pungkasnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Cerita Kampung Bebas Asap Rokok di Matraman: Melawan Refleks Saat Ngopi dan Nongkrong Megapolitan 22 Desember 2025
/data/photo/2025/12/22/694920e8441b5.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/22/69490c970a84a.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/11/03/6908c04434e88.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/22/6948f0fb6b178.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/22/69491139c7fe2.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/22/6949187e64db0.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)