Jakarta –
Periode Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2025-2026 menjadi momentum krusial bagi sistem transportasi nasional, termasuk perkeretaapian. Tingginya arus mobilitas masyarakat membawa harapan besar terhadap kualitas layanan dan keselamatan perjalanan kereta api. Sebab, bila terjadi gangguan sedikit saja, dapat berdampak luas pada rangkaian perjalanan dan kepercayaan masyarakat. Dan tantangan ini ada di depan mata kita.
Kereta api menjadi moda transportasi massal pilihan utama masyarakat. Berdasarkan survei Badan Kebijakan Transportasi Kementerian Perhubungan, sekitar 3,94 juta orang diprediksi menggunakan kereta api jarak jauh pada periode Natal 2025 dan Tahun Baru 2026. Dalam menghadapi arus besar tersebut, dibutuhkan komitmen dan kesiapan tinggi PT Kereta Api Indonesia (KAI) sebagai operator layanan, dalam menjamin kelancaran, keselamatan, dan kualitas pengalaman perjalanan jutaan warga.
Memahami kesiapan KAI tidak cukup pada aspek penambahan jumlah rangkaian perjalanan dan kualitas sarana prasarana. Namun, kesiapan yang sesungguhnya adalah kemampuan KAI dalam menjaga kepercayaan publik. Pekerjaan utama KAI bukan semata menggerakkan lokomotif dari stasiun asal ke stasiun tujuan, namun memiliki esensi yang lebih mendalam yakni mengantar kepercayaan. Kepercayaan masyarakat bahwa perjalanan mereka aman, nyaman, tepat waktu, dan menyenangkan. Ini perlu menjadi pemahaman dasar dan prinsip yang harus diteguhkan bersama.
Untuk menjaga kepercayaan ini, dibutuhkan solidaritas dan kesadaran kolektif (collective consciousness) melalui semangat untuk terus meningkatkan pelayanan, komitmen pada keselamatan dan kenyamanan, serta motivasi kerja yang tinggi. Hal ini menjadi kerangka nilai dalam upaya meningkatkan kualitas layanan transportasi publik yang semakin melayani, terutama pada momentum arus perlajanan Nataru.
Semakin Melayani
Semangat semakin melayani tidak boleh berhenti pada jargon. Ini harus menjadi identitas bersama sebagai core value dalam peningkatan kualitas layanan dan kepuasan pengguna layanan. Dalam kerangka kerja SERVQUAL (Service Quality) yang dikembangkan Parasuraman, Zeithaml, dan Berry pada 1980-an, kualitas layanan berdiri pada lima dimensi yaitu keandalan, jaminan, wujud fisik, empati, dan daya tanggap.
Dalam praktiknya, KAI dapat meningkatkan berbagai layanan dengan menjamin kebersihan, kenyamanan, ketepatan waktu, kesiapan fasilitas, kerapian petugas, perhatian pada pada kelompok rentan (lansia, anak, difabel), kemampuan mendengar keluhan, serta kecepatan memberi solusi saat terjadi gangguan. Optimalisasi semua dimensi ini secara bersama-sama dapat membentuk pengalaman berharga dan kepuasan pelanggan. Oleh sebab itu, perlu upaya bersama seluruh komponen dalam menghadirkan layanan yang profesional, sigap, dan memuaskan.
Kita bisa belajar dari praktik di Jepang, yang terkenal dengan budaya layanan kereta yang sangat disiplin dan berorientasi pelanggan. Misalnya, kereta Shinkansen menjaga akurasi ketepatan waktu hingga level detik, melalui perencanaan jadwal presisi, perawatan ketat, dan koordinasi staf yang rapi dan secara konsisten dilakukan setiap waktu. Hal yang sama dilakukan oleh TESSEI, tim kebersihan Shinkansen yang menyiapkan satu rangkaian dalam waktu tujuh menit. Mereka menerapkan hospitality on wheels, yang membuat penumpang merasa dihargai sejak pertama melangkah masuk. Maka dari itu, semakin melayani harus menjadi basis nilai dalam penguatan transformasi layanan kereta api yang secara sistemik dienkulturasi oleh seluruh petugas sehingga menjadi identitas bersama.
Namun pelayanan yang baik tidak akan berarti bila aspek keselamatan dan kenyamanan tidak menjadi roh utama. Dalam industri kereta api global, keselamatan adalah prasyarat dari bisnis perkeretaapian yang sukses. Tanpa safety, tidak ada layanan kelas dunia. Karena itu negara-negara maju mendorong safety culture, dalam menjaga SOP, melaporkan setiap risiko, dan belajar dari setiap insiden. Sebagai contoh, European Union Agency for Railways membangun model budaya keselamatan melalui konsep just culture, yaitu lingkungan kerja yang mendorong keterbukaan melapor kesalahan (near-miss) agar organisasi bisa memperbaiki sistem sebelum terjadi insiden. Berbagai praktik baik ini harus diadopsi menjadi kerangka kerja dalam membangun ekosistem layanan kereta api.
Kesiapsiagaan
Dalam konteks keselamatan perjalanan kereta api, penting dicatat bahwa indikator keselamatan menunjukkan arah yang positif dalam kurun waktu beberapa tahun belakang. Berdasarkan data Kementerian Perhubungan, realisasi rasio kejadian kecelakaan transportasi perkeretaapian jarak tempuh per 1 juta km tahun 2022-2024 menunjukkan kinerja keselamatan yang positif, yakni sebesar 121,62% pada tahun 2022, 133,33% pada tahun 2023, dan 100% pada tahun 2024. Data ini menjelaskan indikasi adanya pengendalian keselamatan yang semakin efektif dan konsisten.
Karena itu, menjaga konsistensi keselamatan pada periode Nataru tidak cukup hanya menjadi urusan KAI sebagai operator, namun membutuhkan kewaspadaan kolektif dari seluruh pihak yang terlibat dalam ekosistem perjalanan.
Kesiapan KAI menghadapi Nataru perlu dipahami sebagai tanggung jawab bersama. Pemerintah daerah, aparat, pengguna jalan, dan masyarakat luas khususnya di sekitar perlintasan rawan perlu meningkatkan kewaspadaan. Mengingat aktivitas perjalanan kereta api akan lebih tinggi, maka kesiapsiagaan menjadi hal yang penting untuk menjadi atensi.
Pemerintah daerah dan aparat terkait harus memastikan rambu, penerangan, pengamanan, dan pengawasan di titik-titik rawan berjalan optimal. Pengguna jalan harus menerapkan disiplin penuh dalam berlalu lintas. Pada periode Nataru, satu kelalaian kecil di perlintasan bisa berakibat fatal, dan dampaknya tidak hanya pada korban, tetapi juga pada kelancaran perjalanan ribuan penumpang lainnya.
Di sisi lain, periode Nataru 2025-2026 ini beririsan dengan musim hujan, yang membawa potensi risiko bencana. Curah hujan tinggi meningkatkan ancaman banjir, longsor di titik rawan, dan gangguan prasarana akibat cuaca ekstrem. Untuk itu, kesiapan Nataru membutuhkan kesiapsiagaan terhadap risiko bencana.
Masyarakat dan pengguna jalan pun diharapkan turut meningkatkan kesiapsiagaan terhadap potensi bencana, tidak memaksakan perjalanan di daerah berisiko, serta mengikuti arahan petugas dan informasi resmi. Dengan aktivitas kereta yang meningkat, kewaspadaan terhadap bencana menjadi bagian integral dari keselamatan perjalanan.
Momentum Nataru seharusnya menjadi panggung pembuktian bahwa sistem perkeretaapian kita telah bertumbuh lebih baik. Dengan beban perjalanan yang meningkat, ruang toleransi terhadap kelalaian harus ditekan hingga titik zero tolerance. Pelanggaran di perlintasan, keterlambatan penanganan gangguan, atau satu titik rawan longsor yang luput diantisipasi dapat memicu efek domino pada rangkaian perjalanan.
Maka kerja pada momentum Nataru harus dijalankan dengan pola pikir pencegahan, yakni cepat membaca risiko, cepat merespons, dan konsisten meningkatkan layanan dan kepuasan pelanggan. Dengan demikian, perjalanan kereta api pada momentum Nataru menuntut kolaborasi nyata, sebab keselamatan dan kelancaran perjalanan tidak pernah lahir dari satu pihak saja.
Endang Tirtana. Komisaris Independen PT. Kereta Api Indonesia.
(fca/fca)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5428966/original/071197900_1764569618-KAI-1_Desember_2025d.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)

/data/photo/2025/12/21/6947c893eb7b3.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)

/data/photo/2025/12/20/694688123c58a.jpeg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/12/20/6946cadc27baa.jpeg?w=250&resize=250,140&ssl=1)





