Di Tengah Krisis Sampah Tangsel, RW 09 Bakti Jaya Pilih Olah Sampah dari Rumah
Tim Redaksi
TANGERANG SELATAN, KOMPAS.com –
Di tengah persoalan tumpukan sampah yang masih ditemui di sejumlah wilayah Kota Tangerang Selatan, RW 09 Kelurahan Bakti Jaya, Kecamatan Setu, justru menunjukkan pola pengelolaan sampah yang berbeda.
Warga di wilayah ini telah menjalankan sistem pengelolaan
sampah
mandiri sejak awal 2025 dan kini tidak lagi menyumbang sampah ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Cipeucang.
Ketua RW 09 Bakti Jaya, Maulana Putra (39), mengatakan pengelolaan sampah mandiri tersebut bukanlah respons spontan atas
krisis sampah
yang belakangan terjadi, melainkan program yang telah dirancang sejak dirinya dilantik sebagai ketua RW.
“Sejak Januari 2025, memang ada beberapa program yang kami jalankan. Salah satunya adalah program bank sampah dan juga kelompok wanita tani. Nah, kebetulan kedua program ini saling berkaitan,” ujar Maulana saat ditemui
Kompas.com
di Taman KWT Griya Tanam 09 Bakti Jaya, Setu, Tangerang Selatan, Rabu (17/12/2025).
Melalui program bank sampah, warga diminta melakukan pemilahan sampah sejak dari rumah masing-masing.
Sampah anorganik seperti plastik dan minyak jelantah dikumpulkan secara berkala, sementara sampah organik dimanfaatkan untuk kebutuhan pertanian warga.
Maulana menjelaskan, sisa makanan rumah tangga diolah menjadi pupuk yang kemudian digunakan sebagai media tanam. Proses pengolahan tersebut membutuhkan waktu sekitar satu bulan.
“Karenakan warga juga dilakukan edukasi ya untuk memilah sampah. Jadi untuk sisa makanan hingga menjadi pupuk itu butuh waktu sekitar satu bulan,” kata dia.
Selain sisa makanan, daun-daun kering dari rumah warga juga dimanfaatkan sebagai bahan kompos.
Daun tersebut dikumpulkan dan diletakkan langsung pada pot daur ulang yang dibuat dari galon bekas.
“Jadi warga yang punya pohon di rumahnya itu bisa kirim daun keringnya ke kita buat dijadikan kompos,” jelas dia.
Untuk sampah plastik, selain ditabung melalui bank sampah, sebagian material juga dimanfaatkan kembali sebagai perlengkapan kebun, seperti pot tanaman dari galon bekas.
“Dari dua program ini, kita itu bisa mengurangi residu sampah yang dulunya mungkin 100 persen menjadi sekitar 70-80 persen,” jelas Maulana.
“Artinya 20-30 persen ini sebagian organik kita jadikan kompos, kemudian yang anorganik seperti plastik kita manfaatkan untuk kelompok tanah,” tambah dia.
Dalam praktiknya, pengolahan sampah organik seperti sisa dapur dan daun-daunan dipusatkan di RT 04 yang memiliki lahan pengomposan.
Sementara hasil pertanian dikelola di Taman Griya Tanam 09 yang berlokasi tak jauh dari RT tersebut.
Di lahan seluas sekitar 250 meter persegi itu, warga mengelola kurang lebih 250 jenis tanaman pangan.
Maulana menyebut, area tersebut sebelumnya dikenal warga sebagai “mininya Cipeucang” karena kerap dijadikan lokasi pembuangan sampah liar.
Kini, dengan modal sekitar Rp 20 juta yang berasal dari swadaya warga, lahan tersebut berubah menjadi taman produktif.
“Dulu itu titik-titik yang penuh sampah. Sekarang jadi lahan pertanian, dan warga bisa panen kangkung, terong, bayam, dan sayuran lain secara rutin,” jelas Maulana.
Seiring berjalanannya program, RW 09 Bakti Jaya juga telah berhenti mengirim sampah ke TPA Cipeucang.
Ketika krisis pengelolaan sampah melanda Kota Tangerang Selatan akibat terganggunya operasional TPA, wilayah ini mengaku tidak terlalu terdampak.
Sejak akhir Oktober 2025, pengurus RW menggandeng pihak swasta untuk menangani sampah residu yang tidak bisa dikelola secara mandiri.
“Efektifnya satu bulan, artinya wilayah sini sudah nggak menyumbang sampah ke TPA Cipeucang,” kata Maulana.
Kerja sama tersebut, menurut Maulana, tidak menambah beban iuran warga. Biaya pengelolaan diambil dari kas RW atau iuran warga (KSRW) yang telah berjalan sebelumnya.
“Total iuran sekitar Rp 55.000 per bulan, tapi untuk sampah itu sekitar Rp 20.000 sampai Rp 25.000. Tidak ada penambahan iuran,” jelas dia.
Selain mengurangi volume sampah, keberadaan bank sampah juga memberikan dampak ekonomi bagi warga.
Dari hasil pemilahan sampah plastik, warga memiliki tabungan yang dapat dicairkan sesuai kebutuhan.
“Hampir 70 sampai 80 persen warga sudah punya tabungan bank sampah. Mungkin ada yang nominalnya Rp 10.000 sampai kalau engga salah ada yang lebih dari Rp 1 juta,” kata Maulana.
Meski demikian, Maulana mengakui pengelolaan sampah yang dilakukan masih memiliki keterbatasan karena seluruh proses pemilahan dilakukan secara manual tanpa dukungan teknologi pengolahan.
Namun, ia berharap langkah yang telah dilakukan warganya dapat menjadi inspirasi bagi wilayah lain di Kota Tangerang Selatan, terutama dalam pengelolaan sampah dari hulu.
“Harapan kami ada mekanisme yang lebih terintegrasi. Warga seperti kami punya keterbatasan, tapi kalau sistemnya mendukung, pengelolaan sampah bisa dilakukan lebih optimal,” ucap dia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Di Tengah Krisis Sampah Tangsel, RW 09 Bakti Jaya Pilih Olah Sampah dari Rumah Megapolitan 17 Desember 2025
/data/photo/2025/12/17/6942a74b84a61.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/17/6942a4cd58598.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/17/69427e30ede85.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/17/694289980def6.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/11/693aa639a2b37.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/11/693a8c36da437.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)