Antrean Panjang di Bantargebang dan Nyawa Sopir Truk Sampah yang Dipertaruhkan
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Peristiwa meninggalnya sopir truk sampah bernama Yudi (51) akibat harus mengantre belasan jam di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, seharusnya menjadi pelajaran bagi banyak pihak, terutama pemerintah.
Salah satu sopir truk
sampah
bernama Hendra (bukan nama sebenarnya, 37) mengatakan, antrean hingga belasan jam sudah terjadi sejak sekitar tiga bulan terakhir.
Ia menilai, ada sejumlah faktor yang menyebabkan truk-
truk sampah
harus mengantre sangat lama di
Bantargebang
.
Pertama, faktor alam, yakni hujan yang kerap menghambat proses pembuangan sampah. Saat hujan turun, para sopir truk harus menunggu hingga hujan benar-benar reda sebagai bagian dari prosedur keselamatan kerja.
Pasalnya, ketika hujan, gunungan sampah di Bantargebang berpotensi longsor dan dapat membahayakan keselamatan sopir yang berada di bawahnya.
Kedua, sistem pelayanan di Bantargebang yang dinilai sering molor sehingga antrean terus mengular.
“Para pekerja di UPST itu jam istirahatnya kadang melebihi batas, misalkan jam 08.00 WIB ganti
aplause
07.30 WIB justru udah berhenti. Mulai lagi 08.30 WIB, itu kan ada molor sejam,” ungkap Hendra kepada
Kompas.com
, Jumat (12/12/2025).
Ia juga menuturkan, ketika para sopir truk hendak mengisi bahan bakar minyak (BBM) pada pukul 11.00 WIB, petugas di Bantargebang kerap sudah berhenti beroperasi sejak pukul 10.30 WIB untuk istirahat makan siang.
Nanti, kata Andi, para pegawai akan kembali melayani para sopir truk di pukul 12.00 WIB hingga 12.30 WIB.
Ketiga, antrean panjang juga disebabkan oleh sering rusaknya alat berat, salah satunya ekskavator yang berperan penting dalam proses bongkar muat sampah dari truk.
Persoalan akses jalan di Bantargebang juga tak kalah menghambat aktivitas bongkar muat sampah yang dilakukan para sopir. Namun, kondisi jalan di Bantargebang kini dinilai lebih membaik.
“Untuk akses jalan memang lebih baik dari sebelumnya, tapi tetap saja masih ada akses-akses yang parah dan diabaikan, didiamkan, sebelum ada tragedi belum dibenarin,” tutur Hendra.
Akses jalan di area atas disebut menjadi titik yang paling sering rusak dan berlubang meski sudah berkali-kali ditambal. Selain itu, jalur menuju arah Adang atau jalur keluar juga menjadi keluhan para sopir.
“Arah Adang atau pulang itu jembatannnya agak tinggi, enggak dicor, bebatuan, di situ pernah terjadi truk tebalik,” ungkap dia.
Pengamatan
Kompas.com
di lokasi, jalan di
TPST Bantargebang
sudah banyak yang retak dan berlubang sehingga tidak nyaman ketika dilintasi. Tak hanya itu, beberapa titik jalan juga terlihat sudah tidak lagi berbeton, melainkan berubah menjadi tanah hitam yang licin.
Bahkan, ada jalan yang digenangi air berwarna hitam. Air lindi dari sampah yang menggenang itu lah yang membuat jalan di Bantargebang sering mengalami kerusakan.
Hendra dan para sopir lainnya berharap perbaikan jalan dilakukan secara menyeluruh di area Bantargebang agar tidak membahayakan orang-orang yang setiap hari mencari nafkah di TPST tersebut.
Meski sudah memakan korban, antrean truk yang mau membuang sampah di Bantargebang masih mengalami antrean panjang.
“Masih antre, kemarin saya masuk jam 15.00 WIB sore, kebuang jam 03.00 WIB pagi, terus jam 08.30 WIB mulai muat lagi karena menunggu alat berat di lokasi, sekarang jam 15.00 WIB udah di Bantargebang lagi, ini juga belum sempat pulang,” ucap Hendra.
Kondisi tersebut membuat Hendra terpaksa bekerja tanpa sempat tidur dan mandi. Ia harus tetap mengenakan pakaian kotor dan menahan rasa lengket di tubuhnya.
Menunggu belasan jam hanya untuk membuang sampah kerap menjadi siksaan bagi para sopir, terutama saat hujan turun karena mereka harus terkurung di dalam truk.
“Bukan tersiksa lagi, apalagi kalau tidak megang bekal waduh udah dah tersiksa banget kita,” tutur Hendra.
Jika cuaca cerah, para sopir masih bisa turun dari truk dan menunggu antrean di warung tenda yang berada di sekitar zona pembuangan sampah. Di tempat itulah mereka bisa beristirahat sejenak dan mengisi perut agar tetap bertenaga.
Sopir truk lainnya, Santo (bukan nama sebenarnya, 38), juga mengaku kerap terjebak di dalam truk saat hujan turun dan antrean berlangsung belasan jam.
Namun, ketika cuaca cerah, ia bisa singgah di warung untuk sekadar merebahkan tubuhnya yang telah berjam-jam berada di atas truk. Bahkan, saat tak kuasa menahan kantuk, Santo terpaksa tidur di warung tenda meski tubuhnya terpapar sinar matahari langsung.
Menunggu selama belasan jam membuat Santo merasa sangat lelah secara fisik.
“Ya, betul saat ini fisik lemah, pulang dari sini kan bukannya istirahat, kita langsung kerja lagi kadang-kadang,” ucap Santo.
Meski harus kerja lembur, Santo bersyukur karena tak pernah jatuh sakit lantaran ia berusaha menjaga kesehatannya dengan rutin mengisi perut.
Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia Prof. Dr. dr. H. Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH, MMB, FINASIM, FACP mengingatkan, kerja selama 24 jam tanpa istirahat yang cukup bisa mendatangkan dampak buruk untuk kesehatan para sopir truk.
Sebab, idealnya setiap orang harus tidur selama enam hingga delapan jam per hari untuk menjaga kesehatan tubuhnya.
“Kalau kita lihat bahwa para supir truk ini bekerja dengan jam sangat panjang, kurang tidur, nah ini tentu akan memengaruhi keadaan tubuhnya, kesehatannya secara seluruhan,” ujar Ari kepada
Kompas.com
, Jumat.
Selain itu, paparan polutan dan gas metana dari tumpukan sampah berpotensi memicu
micro
sleep
yang sangat berbahaya bagi sopir saat berkendara.
Terpenjara di dalam truk selama belasan jam juga berisiko menyebabkan dehidrasi, terutama jika sopir tidak membawa cukup minum. Dehidrasi dapat menurunkan performa tubuh, termasuk daya pikir.
Kurang tidur dalam jangka panjang juga dapat menurunkan imunitas tubuh sehingga sopir rentan terkena infeksi dan stres. Kondisi ini akan semakin berbahaya bagi sopir yang memiliki riwayat hipertensi karena dapat memicu gula darah tinggi hingga stroke.
Sementara itu, paparan gas metana dalam jangka panjang juga berpotensi merusak paru-paru para sopir dan pekerja di Bantargebang.
Anggota Komisi D DPRD Provinsi DKI Jakarta dari Fraksi PSI, Bun Joi Phiau, mengatakan persoalan Bantargebang memang sudah lama menjadi perhatian DPRD.
Namun, akar permasalahan utamanya terletak pada jumlah sampah Jakarta yang terus meningkat.
“Menurut data Pemprov DKI pada tahun 2019 lalu, lebih dari 1.300 perjalanan truk dilakukan untuk mengangkut lebih dari tujuh ribu ton sampah setiap harinya ke Bantargebang,” ujar Bun.
Saking menumpuknya, kata Bun, ketinggian sampah di Bantargebang sudah setara dengan gedung 16 lantai.
DPRD Jakarta menyadari bahwa tumpukan sampah yang begitu tinggi memunculkan berbagai macam risiko, salah satunya adalah longsor yang dapat membahayakan keselamatan warga di sekitarnya.
“Perihal ini, kami meminta Pemprov DKI untuk memonitor ketahanan tanggul-tanggul yang dibangun di sekitar Bantargebang. Semua bagiannya harus dicek secara berkala,” sambung Bun.
Jika ditemukan tanggul yang rusak atau retak, ia meminta agar segera dilakukan perbaikan.
Selain itu, Bun juga menekankan pentingnya peningkatan keselamatan kerja di Bantargebang agar tidak kembali memakan korban jiwa.
Ia meminta agar sarana pendukung bagi para sopir, yakni tempat menunggu yang layak hingga
mess
untuk beristirahat benar-benar disiapkan.
“Selain itu, jam kerjanya mungkin juga perlu disesuaikan lagi dengan beban kerja yang dilaksanakan,” tegas Bun.
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta angkat suara terkait dengan meninggalnya
sopir truk sampah
bernama Yudi.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Asep Kuswanto menjelaskan, sebelum insiden tersebut terjadi, operasional TPST Bantargebang berada dalam tekanan berat akibat cuaca ekstrem yang hampir setiap hari melanda kawasan itu.
Curah hujan tinggi memengaruhi kelancaran pembuangan sampah serta ritme kerja para sopir dan petugas lapangan.
Dalam kondisi cuaca cerah, waktu tunggu sopir truk untuk membuang sampah di TPST Bantargebang biasanya hanya sekitar tiga jam.
Namun, saat cuaca buruk, antrean bisa meningkat tajam hingga enam sampai delapan jam.
“Setiap kali hujan deras, pembuangan harus kami hentikan sementara demi keselamatan pekerja. Kondisi
landfill
yang semakin meninggi menyimpan risiko yang tidak bisa kami abaikan,” jelas dia.
Asep mengaku, DLH sudah melakukan berbagai upaya untuk mencegah agar peristiwa serupa tidak lagi terjadi.
Upaya yang dilakukan DLH adalah membuka dua titik buang tambahan sehingga lima titik buang dapat beroperasi pararel.
Lalu, pengaturan ulang jam keberangkatan truk dari setiap wilayah juga diberlakukan guna memperbaiki pola pengangkutan dan mengurangi penumpukan antrean pada jam-jam tertentu.
Sebagai bagian dari pembenahan jangka panjang, DLH akan menerapkan pembagian jadwal pengiriman truk sampah dari tiap wilayah menuju TPST Bantargebang.
“Dengan penjadwalan yang lebih teratur, arus kendaraan bisa dikendalikan dan waktu antre menjadi lebih efisien,” ujar Asep.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
/data/photo/2025/12/15/6940320232215.jpeg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/12/14/693ed82f920f5.jpeg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/12/17/694233ff4285a.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/17/694228faac892.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/17/69421dcc2e181.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/17/6941f78447f6d.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/17/69420e61316f2.png?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/16/694102873ca94.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)