Cerita Suherni Gantungkan Hidup dari Sampah Plastik Bantargebang
Tim Redaksi
BEKASI, KOMPAS.com –
Pagi belum terlalu terik ketika Surheni (36) mulai memilah sampah plastik di balik dinding pembatas gerbang masuk TPST Bantargebang sisi kanan, Jumat (12/12/2025).
Duduk di atas balok kayu setinggi betis, ia menarik satu per satu plastik hitam yang tercampur lumpur, sisa hujan, dan bau menyengat.
Tangannya bergerak cepat, nyaris otomatis, seolah tubuhnya sudah hafal ritme kerja ini.
Di sekelilingnya, karung-karung plastik menumpuk. Ada yang masih basah, ada yang lengket, ada pula yang tampak tak pernah benar-benar kering.
Inilah “ruang kerja”
Surheni
selama dua tahun terakhir, ruang yang bagi sebagian orang identik dengan risiko, tetapi baginya adalah tempat mencari nafkah.
“Kalau sudah lama di sini, nggak kerasa kotor. Enggak terlalu bau kalau udah biasa,” kata Surheni saat ditemui
Kompas.com
, Jumat (12/12/2025).
Surheni berasal dari Banten. Ia merantau ke sekitar Bantargebang bersama suami dan anak-anak demi bertahan hidup.
Setiap hari, ia bekerja sebagai pemilah
sampah
plastik dengan upah harian sekitar Rp 85.000. Jumlah itu, menurut Surheni, jelas tak cukup.
“Itu harian. Ya nggak cukup, cuma dicukup-cukupin aja. Namanya orang susah, kalau butuh ya harus beli beras, beli kebutuhan pokok,” ujarnya.
Upah tersebut bukan gaji bulanan, bukan pula penghasilan tetap. Jika Surheni tidak masuk kerja, maka tak ada uang yang ia bawa pulang.
Sistem harian itu membuatnya nyaris tak pernah libur.
“Tiap hari. Nggak ada hari libur. Cuma kalau saya pengen libur, ya libur. Kan bayarnya harian,” katanya.
Jam kerjanya menyerupai pekerja kantoran, pukul 08.00 hingga 12.00, istirahat, lalu lanjut pukul 13.00 hingga 17.00.
Namun, tidak ada jaminan kesehatan, tidak ada cuti, dan tidak ada perlindungan kerja formal.
Suami Surheni juga bekerja. Namun, penghasilannya tak jauh berbeda, sama-sama pas-pasan.
“Suami kerja juga, tapi gajinya sama-sama nggak memadai,” kata Surheni.
Awalnya, Surheni hanya membantu suaminya. Namun, seiring kebutuhan anak-anak yang kian banyak, ia memutuskan bekerja penuh.
“Dulu saya cuma bantu-bantu suami, tapi kan anak juga butuh macam-macam,” ujarnya.
Sebelum bekerja di Bantargebang, Surheni adalah ibu rumah tangga.
Ia sempat membuka warung kecil, tetapi usaha itu tak bertahan lama. Kontrakan yang berpindah-pindah membuatnya lelah.
“Akhirnya pindah kontrakan dekat sini. Terus bos bilang kerja di sini aja. Ya udah saya kerja di sini,” tuturnya.
Bantargebang bukan sekadar tempat kerja, melainkan titik tumpu ekonomi keluarga Surheni.
Bekerja di tengah sampah bukan hal yang mudah, terutama di awal. Namun, Surheni mengaku tak mengalami guncangan berarti.
“Pertama ya biasa aja. Lama-lama udah biasa,” katanya.
Beberapa bulan sudah cukup baginya untuk beradaptasi. Bau menyengat, lalat, dan panas tak lagi terasa asing.
Yang lebih berat justru adalah rasa sakit dan jarak dengan keluarga.
“Duka yang paling kerasa ya kalau lagi sakit. Terus jauh dari keluarga,” ujarnya.
Ia mengaku pernah sakit akibat lingkungan kerja, biasanya sakit kepala atau badan terasa lemas satu hingga dua hari.
Anak-anaknya juga pernah sakit, meski ia menganggapnya sebagai hal biasa.
“Alhamdulillah nggak yang parah,” katanya.
Di lapak pemilahan, pembagian kerja berlangsung secara alamiah.
Surheni lebih banyak mengerjakan pemilahan dan pemotongan plastik di area bawah.
Pekerjaan di zona atas dekat gunungan sampah umumnya dilakukan laki-laki.
“Kalau yang misah biasanya cowok. Saya ngerjain yang bisa dikerjain,” ujar Surheni.
Ia pernah mencoba naik ke zona buang saat awal bekerja.
Namun, panas ekstrem dan hasil yang minim membuatnya memilih bertahan di bawah.
“Panas banget. Waktu belum biasa paling dapat 10 ribu, 500, 100,” kenangnya.
Kini, ia tak lagi naik ke atas. Baginya, bertahan di area bawah sudah cukup melelahkan.
Di antara tumpukan sampah, sesekali ada “rezeki” tak terduga. Surheni pernah menemukan uang receh di dompet bekas, sekitar Rp 700.
Kadang ia menemukan pakaian yang masih layak pakai.
“Kadang baju-baju juga dipisah. Di karung atau plastik. Kadang masih ada wangi-wanginya,” ujarnya.
Pakaian itu sering dimanfaatkan kembali.
“Mungkin bagi orang lain nggak dipakai, tapi buat kami masih manfaat. Buat main bola anak juga bisa,” katanya.
Bagi Surheni, sampah bukan hanya sisa, melainkan sumber kehidupan.
Tak jauh dari lokasi Surheni bekerja, Andi (34) menjalankan usaha pengepulan limbah plastik yang telah diwariskan keluarganya sejak 1996.
Ia menjelaskan kondisi
TPST Bantargebang
dari sudut pandang orang yang hidup berdampingan dengan sampah.
“Gunungannya kira-kira tiga kali pohon kelapa. Bisa 70-an meter,” kata Andi.
Ia menyebut, Bantargebang memiliki beberapa zona buang. Dahulu ada sekitar tujuh atau delapan zona, tetapi kini sebagian digabung dan dijadikan jalan.
Beberapa zona bahkan telah ditutup karena faktor keselamatan.
“Yang longsor itu namanya Blok Adang. Sampahnya turun kayak longsor tanah aja dari gunung,” ujarnya.
Ada pula zona mati yang sudah tak aktif sekitar 10 tahun karena dekat sungai dan pemukiman warga. Area tersebut ditandai terpal hitam.
Menariknya, di zona-zona lama, tumbuhan liar tumbuh subur.
“Itu banyak tumbuhan memang alami begitu. Sampahnya itu lebih subur daripada tanah,” kata Andi.
Ia menjelaskan, lindi atau limbah cair justru dapat mematikan tanaman, tetapi sampah padat yang sudah lama menumpuk menyerupai kompos.
Fenomena ini kerap menipu mata hijau di permukaan, tetapi menyimpan risiko di dalam.
Sebagai pelapak, Andi mengumpulkan berbagai jenis plastik PP, HD, PE, hingga plastik sablon. Setiap jenis memiliki harga berbeda.
“Kalau PE Rp 3.000 sampai Rp 6.000. Sablon paling mahal di Rp 4.000. PP Rp 2.000, HD Rp 1.300. Itu kondisi kering,” jelasnya.
Dalam sebulan, ia bisa mengumpulkan 3–4 ton plastik. Namun, keuntungan tidak selalu stabil.
“Kadang rugi. Apalagi kalau hujan,” katanya.
Saat hujan, plastik yang dibeli dari pemulung menjadi lebih berat karena air.
Namun, saat dijual ke distributor, plastik harus dalam kondisi kering sehingga beratnya menyusut.
“Persentase tonasenya turun,” ujar Andi.
Meski demikian, pada bulan-bulan tertentu, Andi bisa memperoleh keuntungan besar.
“Bulan kemarin bisa Rp 30 juta,” katanya.
Uang itu ia gunakan untuk menghidupi istri, tiga anak, dan kedua orangtuanya.
Ia bahkan mampu membeli sawah. Namun, Andi menegaskan, keberhasilan itu tak lepas dari kerja keras para pemulung dan pemilah.
“Asli pahlawan lingkungan ini mereka,” ujarnya.
Pernyataan Andi sejalan dengan pandangan Pengurus Ikatan Pemulung Indonesia (IPI) Komcad Bantargebang.
Menurut mereka, pemulung berperan besar dalam mengurangi beban sampah, tetapi belum mendapat pengakuan layak dari negara.
“Sampai sekarang belum ada support dari pemerintah untuk pelapak-pelapak limbah plastik kecil,” ujar pengurus IPI.
IPI menuntut pengakuan setara buruh, bukan semata gaji, tetapi jaminan sosial dan kesehatan.
“Pemulung itu berisiko. Bersinggungan langsung dengan alat berat,” katanya.
Menurut IPI, kasus kematian pemulung masih terjadi. Meski tidak selalu meninggal di lokasi, banyak yang wafat akibat komplikasi penyakit.
“Kebanyakan karena APD-nya kurang. Nggak pakai sepatu boots, kena paku, tetanus,” ujar pengurus IPI.
Masalah utama adalah akses kesehatan. Banyak pemulung hanya mampu berobat ke puskesmas dan tak melanjutkan perawatan karena biaya.
“Mereka takut bayar mahal,” katanya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Cerita Suherni Gantungkan Hidup dari Sampah Plastik Bantargebang Megapolitan 15 Desember 2025
/data/photo/2025/11/28/692975fac9267.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/05/16/6826d76ba1b8f.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/15/693fc756baacd.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/15/694013f59572e.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/15/694013f59572e.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)