Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Cerita Warga Jakbar Menyerah Gunakan Air Tanah yang Kian Keruh Megapolitan 12 Desember 2025

Cerita Warga Jakbar Menyerah Gunakan Air Tanah yang Kian Keruh
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com – 
Intensitas banjir yang semakin sering merendam wilayah Jakarta turut memengaruhi persediaan air tanah yang selama ini masih menjadi andalan sejumlah warga.
Di tengah kepungan banjir, warga mengaku kesulitan mendapatkan air bersih karena sumur bor yang telah digunakan selama puluhan tahun kini tak lagi bisa diandalkan.
Perubahan kondisi alam yang semakin drastis memaksa sebagian warga menyerah dan beralih ke layanan air perpipaan atau PAM, meski harus merogoh kocek lebih dalam demi memenuhi kebutuhan air bersih.
Ersa (44), warga
Cengkareng
, Jakarta Barat, adalah salah satu yang merasakan dampak nyata perubahan lingkungan terhadap
air tanah
tersebut.
Selama 10 tahun, ia mengaku nyaman menggunakan air tanah karena merasa kualitasnya bagus dan tidak berbayar.
“Dulu mah saya mikirnya ya ngapain bayar gitu kalau bisa gratis kan. Di sini juga emang rata-rata pada punya sumur bor semua. Bening dulu mah airnya bening, dingin gitu. Masih seger lah buat mandi juga,” ujar Ersa kepada
Kompas.com
, Jumat (12/12/2025).
Namun, wilayah rumahnya yang kini menjadi langganan banjir hingga empat kali setahun memengaruhi kualitas air tanah.
Menurut dia, saat banjir datang, air yang keluar dari keran rumahnya kerap berwarna cokelat dan berbau.
“Kalau dulu tuh bedanya, kalau air tanah habis butek pas habis banjir, sehari juga sudah bening lagi. Kalau sekarang paling tiga hari, empat hari gitu baru bening lagi, baru bisa dipakai lagi,” tutur Ersa.
Kekeruhan air yang bertahan berhari-hari membuat Ersa harus memutar otak. Demi kebersihan air yang digunakan keluarganya, ia terpaksa membeli air galon isi ulang untuk kebutuhan harian.
“Akhirnya jadi ya saya pakainya air isi ulang. Saya beli galon tapi yang isinya air isi ulang. Biasanya paling Rp 7.000 kali ya segalon. Nah itu pakai buat mandi, buat nyuci piring segala macam lah itu,” cerita Ersa.
Namun, langkah itu justru membuat persediaan air bersih semakin sulit sekaligus menambah beban ekonomi keluarga.
Alasan inilah yang akhirnya membuat prinsip Ersa untuk bertahan dengan air tanah perlahan luntur, meski awalnya ia merasa berat karena harus menambah pengeluaran di tengah kondisi ekonomi yang semakin sulit.
“Saya mikirnya, ah malas kan bayar gitu. Namanya kita sudah susah, sehari-hari saja sekarang semuanya mahal, ini harus bayar lagi. Tapi gara-gara banjir mulu jadi malas juga (pakai air tanah),” ungkapnya.
Kini, Ersa mengaku harus menyisihkan dana rutin setiap bulan untuk membayar tagihan
air PAM
.
‘Ya emang sih minusnya ya sekarang tiap bulan harus misahin duit lagi kan. Cepek (Rp 100.000), atau Rp 150.000 gitu. Tapi ya sudahlah, namanya air kan kebutuhan kita.” ujarnya.
Jika Ersa beralih karena kualitas air menurun akibat banjir, cerita berbeda datang dari Pras (58), warga Cengkareng lainnya yang telah tinggal di Jakarta selama 25 tahun.
Pras memutuskan beralih ke air PAM pada awal 2025 karena masalah berkurangnya debit air tanah di sumur bor miliknya.
Bagi Pras, tanda bahaya bukan muncul dari warna air, melainkan dari suara mesin pompanya yang meraung keras karena air tanah semakin sedikit, membuat pompa bekerja melebihi batas wajar.
“Air tanah di sini udah mulai kayak kecil keluarnya, terus sudah mulai susahlah pokoknya,” kata Pras.
Kondisi air yang semakin sedikit ini berdampak pada mesin pompa air atau
jet pump
miliknya yang bekerja terlalu keras.
Hal itu pun membuat mesin milik Pras sering mengalami panas yang berujung kerusakan berulang.
“Pompanya kayaknya kerjanya jadi makin keras, jadi gampang rusak dia. Akhirnya kan mahal tuh benerin lagi, benerin lagi,” keluh Pras.
Kelelahan menghadapi masalah teknis membuat Pras memilih untuk beralih ke air PAM dan membayar tagihan bulanan, daripada terus memperbaiki mesin pompa.
“Akhirnya yaudah deh, ganti aja ke air PAM gitu. Jadi udah enggak mikirin si pompa itu lagi, bayar bulanan aja sekarang, masih konsisten gitu,” ujarnya.
Keputusan Ersa dan Pras mencerminkan bahwa peralihan warga Jakarta dari air tanah ke air PAM didorong oleh kondisi alam dan ketersediaan air tanah yang semakin menipis.
Namun, kesadaran akan isu penurunan permukaan tanah atau
land subsidenc
e masih jauh dari pemahaman dasar para warga, bahkan tidak menjadi alasan peralihan.
Pras mengaku kepindahannya murni karena kebutuhan air bersih sehari-hari, bukan karena takut Jakarta tenggelam akibat permukaan tanah yang semakin turun.
“Enggak pernah tahu sih, enggak pernah belajar soal itu (penurunan tanah) juga gitu, dan enggak pernah ada yang ngasih tahu,” kata Pras.
Ia pun enggan disalahkan apabila penggunaan air tanah memang dinilai merusak lingkungan karena penurunan permukaan tanah.
Pasalnya, menurut Pras, ketersediaan air bersih adalah hal paling utama yang menjadi prioritas bagi dirinya dan keluarga.
“Namanya kebutuhan kan, air bersih, mau gimana lagi,” tuturnya.
Setelah memutuskan beralih sepenuhnya ke air perpipaan, baik Ersa maupun Pras kini menaruh harapan besar pada penyedia layanan air, yaitu PAM Jaya.
Bagi warga, air bukan sekadar komoditas, melainkan kebutuhan dasar kehidupan yang tak boleh berhenti meski hanya sebentar.
Pras berharap semakin banyaknya warga yang beralih ke PAM disertai peningkatan kualitas layanan. Ia menekankan pentingnya harga yang terjangkau dan layanan yang stabil.
“Semoga layanannya juga meningkat. Sama air sih jangan sampai mati. Harganya juga jangan naik,” ujar Pras.
“Harganya juga jangan sampai naik, harganya harus tetap karena kan ya mau enggak mau air itu kebutuhan dasar semua warga. Jadi harga harus terjangkau,” sambungnya.
Senada, Ersa juga mengaku cemas karena layanan air PAM masih sering mati akibat pemeliharaan.
Ia berharap pemerintah mengelola layanan air sebagaimana listrik karena sama-sama kebutuhan penting bagi warga.
“Jangan mati-matian lah layanannya, kalau bisa yang benar gitu. Kan air juga punya pemerintah tuh. Kayak listrik, kalau listrik mati saja kan kita bingung,” kata Ersa.
“Nah ini sama, harusnya, kalau air mati juga kita bingung. Mau mandi, mau sholat, mau wudhu saja kan enggak bisa kalau enggak ada air bersih,” lanjutnya.
Ersa juga berharap tarif air bisa lebih bersahabat bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang sudah terbebani biaya hidup di Jakarta yang semakin mahal.
“Semoga bisa lebih murah lah airnya. Kan kebutuhan kita makin mahal semua. Jadi enggak membebani banget ke kita-kita, ke warga-warga kecil kayak kita gitu,” tutupnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.