Miniarta, Bus Tua yang Masih Jadi Andalan Warga meski Transportasi Semakin Modern
Tim Redaksi
BOGOR, KOMPAS.com –
Di tengah derasnya arus transportasi modern dan digitalisasi di Jabodetabek, sebagian warga Bogor tetap setia menggunakan bus tua yang sudah puluhan tahun melintas di jalan-jalan kota.
Warnanya kusam, bodi penuh tambalan, dan suara mesinnya yang berisik, tidak menjadi penghalang bagi warga untuk tetap naik
bus Miniarta
.
Bagi mereka, bus tua ini bukan sekadar kendaraan, tetapi sarana transportasi yang praktis, murah, dan langsung sampai ke tujuan tanpa repot memikirkan aplikasi atau kartu digital.
Di gang-gang sempit maupun jalan utama, bus tua ini tetap terlihat menunggu penumpang, mengangkut pedagang yang membawa belanjaan dan warga yang ingin ke pasar, sekolah, atau tempat kerja.
Meski panas di dalam kabin, mesin kadang berisik, dan datangnya tidak selalu tepat waktu, bus ini tetap menjadi pilihan utama sebagian warga karena menawarkan kemudahan yang jarang ditemukan di moda transportasi modern.
Praktis, langsung, dan terjangkau—itulah alasan bus tua ini masih eksis di tengah persaingan transportasi digital.
Bagi Aminah (52), Miniarta adalah solusi praktis yang tak tergantikan.
Kesederhanaan naik-turun bus tua ini membuatnya tetap setia, meski panas atau bunyinya berisik.
“Saya tetap naik Miniarta karena dekat rumah dan langsung ke pasar, maksudnya enggak jauh dari turun ke Pasar. Kalau pakai ojol saya bingung harus pesan di ponsel, nggak bisa,” kata Aminah.
Bagi dia, kemudahan itu tidak hanya soal jarak atau biaya, tetapi juga cara pemesanan yang sederhana.
Tanpa aplikasi, tanpa kartu, hanya cukup bilang ke sopir tempat tujuan.
“Miniarta gampang, tinggal naik dan bilang sopir mau turun di pasar. Praktis,” lanjutnya.
Tantangan minor seperti panas atau bus yang kadang terlambat datang tidak mengurangi kenyamanan penumpang.
“Kadang ya panas, tapi sudah biasa. Yang penting sampai dengan selamat,” ujarnya.
Fenomena bus tua atau ‘bomel’ ini sebenarnya menjadi bagian dari pengalaman nostalgia bagi sebagian penumpang.
Aminah menilai bus tua Miniarta memiliki nilai lebih meski tampilannya sudah tidak modern lagi.
“Busnya tua, kadang bunyinya berisik. Tapi saya nggak masalah, malah apa, nostalgia. Penting aman sampai pasar, Bus Miniarta itu lebih gampang naik-turun,” ungkapnya.
Selain nostalgia, faktor biaya menjadi alasan kuat banyak penumpang tetap memilih Miniarta.
Tarif yang murah membuat bus ini menjadi andalan bagi mereka yang membawa barang dagangan.
“Tarifnya murah, cukup beberapa ribu saja. Kalau naik ojol tiap hari, bisa habis banyak duit, sangat membantu yang bawa barang dagangan banyak,” kata Aminah.
Namun, penumpang juga menyadari bahwa ada ruang untuk perbaikan, khususnya pada kursi dan kebersihan.
Meski begitu, mereka berharap bus tidak terlalu modern agar tarif tetap terjangkau.
“Kalau bisa diperbaiki tapi jangan sampai bus terlalu modern, yang penting Miniarta tetap ada, biar kami bisa berpergian tiap hari tanpa ribet,” ujarnya.
Slamet (60) adalah penumpang lainnya yang merasakan manfaat Miniarta secara langsung.
Ia menekankan kemudahan akses yang ditawarkan bus tua ini dibanding transportasi modern yang membutuhkan aplikasi atau kartu.
“Karena murah dan langsung bisa naik di gang. Kalau ojol kan pakai aplikasi saya nggak ngerti cara pesan ojol,” ujarnya.
Bagi Slamet, Miniarta juga dapat diandalkan. Tidak ada kekhawatiran besar jika terjadi mogok, karena ia sudah terbiasa menyesuaikan diri dengan keadaan.
Selain itu, faktor harga menjadi poin penting bagi Slamet, terutama bagi kebutuhan sehari-hari seperti belanja sayur atau barang dagangan.
“Tarif Miniarta murah, cukup beberapa ribu, hemat buat beli sayur tambahan, nggak perlu sambung-sambung, iya praktis buat saya,” katanya.
Ia juga menegaskan bahwa kebersihan memang penting, tetapi yang utama adalah keberlanjutan layanan Miniarta.
“Yang penting Miniarta tetap jalan, biar kami bisa belanja dan jualan sehari-hari, harganya juga jangan naik,” ujarnya.
Di tengah eksistensi Miniarta yang masih kuat, pertanyaan muncul mengenai relevansi bus tua ini di era transportasi modern.
Djoko Setijowarno, pengamat transportasi, menilai bahwa pengaruh motor dan transportasi online sangatlah besar terhadap bus konvensional seperti Miniarta.
“Sekarang ada angkutan online, ada TransJakarta yang sudah bisa dari Bogor ke Blok M. Kalau tidak mengikuti itu, layanan bus konvensional akan semakin ditinggalkan,” ujarnya.
Djoko menambahkan bahwa modernisasi layanan bus konvensional bisa dilakukan tanpa menghilangkan akses bagi masyarakat yang belum terbiasa dengan sistem digital.
“Itu mudah. Mereka tinggal diberi kartu. Top up juga gampang. Dulu KRL waktu awal-awal juga begitu. Orang tidak terbiasa, tapi lama-lama jadi paham,” jelasnya.
Namun, ia menekankan bahwa jika tidak ada subsidi atau intervensi pemerintah, masa depan bus-bus tua seperti Miniarta akan sulit.
“Bus seperti ini jika tidak ada intervensi subsidi, tidak akan bertahan lama, namun karena rutenya sudah ada TransJakarta yang langsung ke Blok M (dari Bogor) agak sulit,” katanya.
Meskipun menghadapi tantangan dari transportasi modern, kebutuhan akan layanan Miniarta tetap ada, terutama untuk lintas kota.
Djoko menegaskan bahwa jumlah penumpang yang masih banyak menjadi indikator bahwa bus seperti Miniarta masih dibutuhkan.
“Justru lintas kota ini yang harus dilindungi dan dibenahi, masih banyak penumpang, artinya gini kalau masih ada penumpang berarti masih dibutuhkan,” katanya.
Fenomena ini menunjukkan bahwa masyarakat, terutama dari kalangan menengah ke bawah, masih mengandalkan bus tua sebagai alat transportasi yang praktis, murah, dan mudah diakses.
Kehadiran Miniarta tidak hanya soal perjalanan, tetapi juga soal keberlangsungan kegiatan ekonomi warga sehari-hari, seperti belanja dan jualan di pasar.
Bus Miniarta memiliki sejarah panjang sebagai salah satu moda transportasi rakyat di Bogor.
Dahulu, armadanya jauh lebih banyak, dengan rute andalan Bogor–Kampung Rambutan yang melayani ribuan penumpang setiap harinya.
Meskipun jumlah bus kini berkurang, semangat para sopir dan kesetiaan penumpang tetap tinggi.
Eko (bukan nama sebenarnya), salah satu sopir Miniarta, mengenang masa-masa ketika armada ini masih ramai beroperasi, sambil menuturkan bagaimana perjalanannya kini tersisa beberapa unit saja.
“Kalau saya emang dulu yang punya Miniarta, jadi kalau narik mah baru beberapa tahun belakangan,” ujarnya saat ditemui di Terminal Baranangsiang, Kamis (11/12/2025).
Saat ini, sekitar 50 unit Miniarta masih beroperasi, tetap melayani rute utama Bogor–Kampung Rambutan.
Penurunan jumlah armada tidak mengurangi kepercayaan penumpang, yang masih mengandalkan bus ini setiap hari untuk aktivitas mereka.
“Sangat dibutuhkan karena banyak orang sulit di Indonesia. Banyak sekali yang bilang Miniarta jangan dihapuskan. Karena Miniarta ini pemumpangnya berapa pun ongkosnya, kita tetap bawa,” tegas Eko.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Miniarta, Bus Tua yang Masih Jadi Andalan Warga meski Transportasi Semakin Modern Megapolitan 12 Desember 2025
/data/photo/2025/12/12/693b0c3295963.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/11/27/6927450b315ec.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/11/27/6927462e2d2fb.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/11/24/692482fa46ee7.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)


/data/photo/2025/12/12/693bd5f604569.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/10/693923061038b.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/12/693be9cf15e41.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/12/693bcb173667a.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/12/693bdc53335ee.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/12/693bca7b34f71.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)