Mimpi Manusia Silver Jadi PPSU untuk Ubah Nasib Terganjal Ijazah
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Kemunculan manusia silver di Jakarta sudah bukan merupakan fenomena aneh lagi untuk sebagian besar orang.
Manusia silver
merupakan sebutan untuk anak jalanan atau pengemis yang dengan mewarnai tubuhnya dan cat sablon berwarna silver mengkilap untuk menarik perhatian.
Biasanya, mereka akan beroperasi di lampu lalu lintas Jakarta yang banyak dilalui pengendara. Ketika lampu merah menyala, para manusia silver bergegas ke tengah jalan untuk berpura-pura menjadi patung.
Tak sampai satu menit, mereka langsung menyodorkan ember cat berwarna putih untuk meminta uang ke para pengendara.
Hal itu lah yang dilakukan perempuan asal Tanjung Priok bernama Wahyu Ningsih (23) setiap harinya di lampu merah Emporium Mal Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara.
Hanya memiliki ijazah Sekolah Dasar (SD) membuat Ningsih terpaksa menggeluti pekerjaan sebagai manusia silver.
“Dari Januari awal baru tahun ini menjadi manusia silver. Saya udah coba kerjaan lain, tapi ijazah saya kan SD jadi enggak diterima di mana-mana, jadi turun ke jalanan sayanya,” kata Ningsih saat diwawancarai
Kompas.com
di kontrakannya, Kamis (11/12/2025).
Nasib serupa juga dialami oleh suami Ningsih yang susah mendapatkan pekerjaan karena hanya lulusan SD, sampai akhirnya memutuskan menjadi manusia silver.
Ibu satu orang anak itu bilang, suaminya sudah pontang panting mencari pekerjaan yang lebih layak, namun belum dapat juga.
Kondisi itu lah yang membuat keduanya bertahan menjadi manusia silver hingga saat ini, karena harus memenuhi kebutuhan keluarga.
Bekerja sebagai seorang manusia silver membuat Ningsih dan suami bisa memenuhi kebutuhan rumah tangganya.
Sebab, dalam satu hari, keduanya bisa mendapat uang ratusan ribu rupiah dari para pengendara.
“Ya, Rp 100.000 mah dapat sehari per orang, itu kotor belum makan,” tutur dia.
Uang itu ia dapatkan setelah beroperasi dari pukul 11.00 WIB hingga 17.00 WIB setiap harinya.
Ketika sudah mendapatkan uang, Ningsih dan suaminya pulang ke rumah kontrakan sederhana berukuran 3 x 3 meter di Tanjung Priok.
Pendapatannya itu mereka gunakan untuk makan, membeli kebutuhan anak, hingga menabung untuk membayar sewa kontrakan.
Meski pendapatannya pas-pasan, Ningsih mengaku bersyukur karena kebutuhan keluarganya masih bisa tercukupi lewat pekerjaan sebagai manusia silver.
Salah satu tantangan yang harus dihadapi Ningsih dan suaminya ketika menjalani pekerjaan sebagai manusia silver adalah kucing-kucingan dengan para petugas Satpol PP.
Tak jarang, mereka berlari kocar-kacir ketika mobil Satpol PP melintas di depan Emporium Mal Pluit.
“Dukanya kalau dikejar Satpol PP, lagi nyari duit dikejar,” kata Ningsih.
Beruntungnya, Ningsih selalu berhasil lolos dari kejaran para petugas Satpol PP. Sedangkan suaminya pernah ditangkap.
Ketika ditangkap, suami Ningsih dibawa ke panti sosial di kawasan Cipayung, Jakarta Timur, untuk mendapat pelatihan selama satu bulan.
Berbagai pelatihan keterampilan didapati suami Ningsih agar bisa menjadi modal mencari peluang rezeki baru ketika keluar dari panti.
Namun, karena mencari peluang pekerjaan baru tidak semudah dibayangkan, sementara ia harus menghidupi keluarganya, maka suami Ningsih kembali menjadi manusia silver.
“Iya, di sana dapat pelatihan juga, cuma enggak ada lapangan pekerjaan mau enggak mau jadi manusia silver lagi,” jelas dia.
Oleh sebab itu, Ningsih berharap agar pemerintah bisa menyediakan peluang pekerjaan yang lebih banyak untuk para lulusan SD.
Bahkan, ia juga berharap bisa menjadi Petugas Prasarana dan Sarana Umum (PPSU) untuk mengubah nasibnya.
“Mau lah, mau banget malahan jadi PPSU,” kata dia.
Ningsih yakin, menjadi PPSU merupakan pekerjaan yang cocok untuknya karena memiliki pengalaman sebagai
house keeping
di Ancol.
Ia terpaksa berhenti dari pekerjaan itu pada2020 ketika Pandemi Covid-19 masuk di Indonesia.
Sampai detik ini, ia belum mendapatkan peluang pekerjaan lain, meski sudah puluhan kali melamar.
Jika nantinya sudah mendapat pekerjaan, ia berjanji tak akan ragu meninggalkan profesinya sebagai manusia silver.
Sebab, menjalani profesi ini juga bukan kemauan Ningsih.
Ia kerap kali bosan dan malu ketika harus mewarnai tubuhnya dengan cat silver. Namun, karena desakan ekonomi, ia terpaksa melakukan itu.
Manusia silver lain bernama Lita (20) juga mengaku bersedia melamar sebagai PPSU jika ada kesempatan.
“Mau lah jadi PPSU, tapi ijazahnya gimana. Saya sekolah sampai kelas enam (SD), tapi sebelum lulus berhenti. Jadi enggak ada ijazah dan itu jadi kendala,” ujar Lita.
Lita berharap, ada keringanan dari pemerintah agar ia bisa mendapatkan kesempatan bekerja, meski tak memiliki ijazah.
Pasalnya, ia juga tak mau terus-terusan menggantungkan hidupnya di profesi manusia silver. Ia berharap, ada pekerjaan yang lebih baik agar nasib keluarganya bisa berubah.
Sebab, ia tak bisa meninggalkan profesi sebagai manusia silver begitu saja sebelum mendapat pekerjaan lain, karena pendapatan suaminya sebagai juru parkir kerap tak cukup memenuhi kebutuhan keluarga.
Sementara ia memiliki anak yang masih balita dan membutuhkan biaya. Di sisi lain, Lita juga masih harus menanggung ibunya yang sudah lanjut usia.
Manusia silver lain bernama Iin (33) juga berharap bisa menjadi PPSU ke depannya untuk memperbaiki nasib.
“Pengin sih kalau ada kerjaan, kayak PPSU tapi kita enggak punya ijazah cuma sampai SD kelas tiga aja udah putus,” ucap dia.
Iin mengaku, terkadang lelah harus berkeliaran di jalan dengan tubuhnya yang diwarnai hanya demi mendapatkan uang.
Namun, jika tak melakukan hal itu, Iin tak bisa membantu suaminya dalam memenuhi kebutuhan rumah.
Sebab, suaminya hanya bekerja sebagai pedagang yang pendapatannya tak menentu. Sementara ia memiliki lima orang anak yang harus dihidupi.
Bukan hanya seorang diri, dua putra Iin juga kerap ikut menjadi manusia silver ketika libur sekolah.
“Anak saya ikut juga usianya 10 tahun dan 9 tahun, cowok dua-duanya,” jelas dia.
Ia terpaksa mengajak kedua anaknya untuk memenuhi kebutuhan biaya sekolah seperti tambahan jajan atau lainnya.
Selama ini, Iin melakukan profesinya sebagai seorang manusia silver secara diam-diam, tanpa sepengetahuan suaminya.
Pasalnya, Iin pernah tertangkap Satpol PP dan ditahan selama dua minggu. Sejak itu, sang suami sudah tidak mengizinkan dirinya menjadi manusia silver lagi.
Tapi, karena kebutuhan ekonomi, Iin tak bisa hanya mengadanlakan pendapatan suaminya, mengingat anaknya ada lima.
Ia tetap nekat menjalani profesi itu secara diam-diam ketika suaminya sudah berangkat berdagang.
“Waktunya dia berangkat, saya jalan. Waktunya dia pulang jam 19.00 WIB atau 20.00 WIB malam, itu saya udah ada di rumah. Anak-anak udah rapi semua,” ucap Iin.
Biasanya, Iin beraksi sebagai manusia silver mulai pukul 12.00 WIB hingga 17.00 WIB. Hanya bekerja setengah hari membuat pendapatannya tak sebanyak rekan-rekannya.
Dalam satu hari ,biasanya ia hanya mendapatkan uang Rp 50.000. Meski begitu, Iin tetap merasa bersyukur.
Melibatkan anak untuk menjadi manusia silver bukan merupakan hal bijak karena bisa mendatangkan dampak kesehatan yang luar biasa.
Sebab, cat sablon yang digunakan bisa dengan mudah merusak kulit anak yang dikenal sensitif.
“Tentu saja risikonya akan lebih meningkat pada kulit anak. Seperti kita ketahui, kulit anak itu cenderung tipis, luas permukaan kulitnya cenderung besar dibandingkan berat badan anak, sehingga penyerapannya semakin meningkat dibanding pada kondisi dewasa,” ucap Dokter Spesialis Dermatologi Venereologi Estetika RS Pondok Indah – Bintaro Jaya, Irwan Saputra Batubara, Sp. D.V.E.
Kondisi itu bisa mempercepat proses keracunan dari logam-logam tersebut, baik kontak langsung dengan kulit atau intoksitasi ke organ-organ dalam.
Dalam jangka panjang, anak yang kulitnya terus terpapar cat sablon bisa mengalami kegagalan tumbuh kembang, kerusakan otak yang bersifat permanen, kerusakan saraf dan otot-otot penggerak tubuh.
Sebagai seorang dokter, Irwan menyarankan agar pemerintah segera melakukan tindakan terkait beroperasinya
manusia silver di Jakarta
yang semakin merebak.
Pemerintah bisa melakukan berbagai edukasi agar masyarakat paham bahwa mewarnai tubuh dengan cat sablon untuk mendapatkan uang, bukan merupakan hal yang bijak.
“Mungkin kita bisa meningkatkan awareness terhadap masyarakat bahwa tindakan ini bukan tindakan bijak untuk kesehatan pribadi, apalagi kelompok usia anak,” jelas Irwan.
Irwan juga menyarankan, agar pemerintah membuat regulasi khusus untuk melarang penggunaan cat sablon tersebut agar masyarakat dapat terhindar dari kerusakan permanen jangka panjang.
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Rakhmat Hidayat menilai, kemunculan manusia silver disebabkan karena adanya persoalan ekonomi.
“Secara ekonomi menunjukan bahwa fenomena ini berkaitan dengan isu ekonomi seperti kondisi lapangan pekerjaan, kemiskinan, orang butuh pekerjaan, butuh kehidupan, butuh penghasilan,” ucap dia.
Jadi, sudah seharusnya pemerintah ikut mengambil peran dalam mengatasi persoalan manusia silver ini.
Pemerintah, kata Rakhmat, bisa memberikan lapangan pekerjaan, pelatihan keterampilan, dan pembinaan untuk para manusia silver.
Namun, untuk memberikan pelatihan dan pembinaan memang bukan perkara yang mudah, sebab banyak dari mereka nekat menjadi manusia silver untuk mendapatkan uang secara instan.
Oleh sebab itu, pemerintah diminta tak sekedar melakukan penertiban, melainkan juga melaksanakan pendekatan berbasis ekonomi.
“Maka negara harus melakukan pendekatan dengan berbasis ekonomi, kenapa karena akar masalahnya di ekonomi yang harus dijelaskan dan diselesaikan negara, penertiban tak bisa menyelesaikan masalah,” jelas Rakhmat.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Mimpi Manusia Silver Jadi PPSU untuk Ubah Nasib Terganjal Ijazah Megapolitan 12 Desember 2025
/data/photo/2025/12/12/693bca7b34f71.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/12/693bd5f604569.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/10/24/68fb04ed9b592.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/12/693bbf9365b89.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/12/693ba352f150a.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)