Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Potret Manusia Silver, Mengais Rezeki meski Kucing-kucingan dengan Petugas Megapolitan 12 Desember 2025

Potret Manusia Silver, Mengais Rezeki meski Kucing-kucingan dengan Petugas
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Di depan puluhan kontrakan semipermanen persis di samping rel kereta api Kampung Bahari, Tanjung Priok, Jakarta Utara, belasan orang bersiap-siap untuk mewarnai tubuhnya dengan cat berwarna silver, setiap pagi.
Setiap pukul 08.00 WIB, sekitar 14 orang penghuni kontrakan itu melakukan persiapan secara bersama-sama untuk menjalani profesinya sebagai seorang
manusia silver
.
Cat sablon berwarna silver mereka tuang ke dalam gelas dan dicampur dengan minyak sayur agar warnanya mengkilap.
Setelah itu, mereka beramai-ramai mengoleskan cat berwarna silver ke rambut, wajah, leher, kaki, dan tangan masing-masing.
Bagi yang tak terbiasa, bau menyengat cat sablon terasa menusuk hidung. Namun, aroma itu sudah tidak lagi menganggu para manusia silver karena setiap hari sudah menempel di tubuhnya.
“Enggak panas, enggak gatal juga, cuma bau menyengat kayak cat,” tutur salah satu manusia silver bernama Iin (33) saat diwawancarai
Kompas.com
di lokasi, Kamis (11/12/2025).
Ketika wajah dan tubuhnya sudah tertutup dengan cat, para manusia silver itu menyempatkan diri untuk bercermin guna memastikan pewarna telah benar-benar menempel di kulitnya.
Usai persiapan selesai, mereka beramai-ramai menyusuri pinggir rel kereta api untuk menuju ke depan
Jakarta
Internasional Stadium (JIS) yang jaraknya sekitar 500 meter dari kontrakan.
Di pinggir jalan, mereka beramai-ramai memberhentikan setiap kontainer yang lewat untuk meminta tumpangan.
Para manusia silver sengaja meminta tumpangan kontainer agar tidak mengeluarkan ongkos ketika menuju ke lokasi tempatnya mengais rezeki, persis di depan Emporium Pluit Mal, Penjaringan, Jakarta Utara.
Ketika ada kontainer yang berhenti dan mau memberikan tumpangan, mereka bergegas dengan lincah naik ke atas kendaraan berat yang tinggi itu.
“Kadang jam 10.00 WIB berangkat dari sini, sampai sana jam 11.00 WIB kalau lagi macet, kita memang nebeng kontainer di tengah, enggak ada lagi karena gratis,” kata manusia silver lain bernama Wahyu Ningsih (23).
Setibanya di lokasi, para manusia silver itu langsung menyebar di lampu merah Emporium Pluit Mal.
Mereka mendatangi satu per satu pengendara yang sedang berhenti karena lampu merah, dengan menyodorkan ember cat berwarna putih dan berharap ada sedikit rupiah yang diberikan.
Meski hanya sebagian kecil pengendara yang memberikan uang, para manusia silver nampak bahagia dan tak lupa mengucapkan ‘terima kasih’ disertai senyuman manis.
Ningsih mengatakan, para manusia silver hanya beroperasi hingga pukul 17.00 WIB. Setelah itu, mereka akan mencari tumpangan kontainer lagi untuk pulang ke kontrakan di Tanjung Priok.
Ibu satu orang anak itu mengaku, sudah hampir satu tahun lamanya berprofesi sebagai manusia silver karena desakan ekonomi.
Dulu, ia pernah bekerja sebagai seorang house keeping. Namun, karena adanya pandemi Covid-19, Ningsih terkena PHK.
Hanya memiliki ijazah Sekolah Dasar (SD) membuat ia kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan lagi, meski sudah mencari mati-matian.
Begitu pula dengan suami Ningsih, yang juga terpaksa menjadi manusia silver karena sulit mendapatkan pekerjaan hanya dengan bermodalkan ijazah SD.
Di sisi lain, berprofesi sebagai manusia silver, bisa membuatnya mendapatkan uang ratusan ribu rupiah per hari.
“Ya, Rp 100.000 mah dapat sehari per orang, itu kotor belum makan,” jelas dia.
Pendapatan ia dan suami digunakan untuk makan, membeli susu anak, dan membayar kontrakan.
Menjalani profesi sebagai manusia silver tentu tidak mudah.
Di tengah perjuangannya mengais rezeki, para manusia silver harus kucing-kucingan dengan para petugas Satpol PP.
Sebab, hampir seriap harinya para petugas Satpol PP merazia kawasan Pluit dan menangkap para manusia silver.
“Kalau saya belum pernah ditangkap. Suami saya pernah sampai ke panti di Cipayung itu, ditahan selama sebulan,” jelas dia.
Selama ditahan, suaminya mendapat berbagai pelatihan keterampilan dengan harapan tak lagi menjadi manusia silver ke depannya.
Namun, karena susah mencari pekerjaan dan adanya desakan ekonomi, mau tidak mau suami Ningsih menjadi menggeluti pekerjaan manusia silver lagi.
Sedangkan sukanya menjadi manusia silver adalah di saat mendapatkan banyak uang dari para pengendara.
“Kalau lagi senangnya itu dapat duit banyak kadang Rp 200.000-250.000 paling banyak,” kata Ningsih.
Manusia silver lain bernama Lita (20) juga merasakan hal yang sama, ia begitu gembira ketika pendapatannya besar.
“Sukanya kalau lagi dapat gede, kayak Imlek kan suka dapat angpao baru senang kita ramai-ramai,” tutur dia.
Namun, bagi ibu satu orang anak itu, menjadi seorang manusia silver lebih banyak mengalami duka.
Setiap harinya, mereka dihantui rasa takut ketika mengais rezeki di lampu merah karena khawatir para petugas Satpol PP datang.
Sebab ketika ditangkap, uang hasil kerja keras mereka akan disita oleh para petugas Satpol PP.
“Dukanya itu saat lari-larian, dikejar-kejar, ditangkap, uang diambil. Buat dibebasin uang kita diserahin semua, kalau enggak nyerahin, ya, kita enggak bebas paling masuk panti,” jelas Lita.
Kendati demikian, Lita tak pernah berhenti menjadi manusia silver karena kebutuhan ekonomi.
Ia mengaku, jika tak bekerja sebagai manusia silver, ibu dan anaknya tidak bisa makan di rumah.
Sebab, pendapatan suaminya yang hanya juru parkir seringkali tak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Rakhmat Hidayat memberikan pandangannya soal kemunculan fenomena manusia silver.
Rakhmat bilang, tidak ada sumber pasti yang menyatakan kapan pertama kali munculnya manusia silver.
Namun, ada sumber yang menyebut fenomena ini pertama kali muncul di Kota Bandung, Jawa Barat.
“Terlepas dari situ menurut saya keberadaan manusia silver ini menjadi isu yang kompleks dalam masyarakat perkotaan, karena ada beberapa penjelasan,” ucap Rakhmat.
Dikatakan sebagai isu kompleks karena kemunculan para manusia silver ini erat kaitannya dengan masalah ekonomi.
Sulitnya lapangan pekerjaan, kemiskinan, kebutuhan penghasilan, membuat orang memutuskan untuk mencari uang lewat menjadi manusia silver.
“Kedua, secara kreatif ini sebenarnya menarik, karena menggambarkan ada keunikan anak-anak muda yang melakukan adalah punya kreativitas membuat ini menjadi satu subkultur atau spesialis menjadi manusia silver,” sambung Rakhmat.
Rakhmat bilang, keberadaan manusia silver tidak hanya di Indonesia, tapi sudah lebih dulu di luar negeri.
Namun, tampilan manusia silver di negara lain lebih rapi, tertata dan berada di pusat-pusat kota yang ramai.
Sementara di Indonesia, penampilan manusia silver cenderung berantakan.
Mereka berada di lampu merah, bahkan ke kampung-kampung, tidak seperti di luar negeri yang hanya berada di dalam satu tempat saja.
Erat kaitannya dengan masalah ekonomi, fenomena munculnya manusia silver sudah seharusnya menjadi tanggungjawab pemerintah.
“Ini menjadi masalah tanggungjawab negara karena ini kan soal kehidupan ekonomi, lapangan pekerjaan, jadi ketika ini dibiarkan begitu negara harus turun tangan,” tutur Rakhmat.
Sudah seharusnya, negara melakukan pembinaan, penyaluran kerja, pelatihan keterampilan untuk para manusia silver.
Namun, yang menjadi masalah, banyak dari mereka yang sering kali tak sabar dengan sebuah proses dan mau mendapatkan uang secara instan.
Oleh sebab itu, pendekatan dan pembinaan berbasis ekonomi penting dilakukan pemerintah, terutama dilakukan oleh Dinas Sosial.
Tak hanya persoalan ekonomi dan sosial, praktik manusia silver juga bisa mendatangkan bahaya bagi kesehatan.
“Jadi betul pada manusia silver cat yang digunakan adalah cat sablon pakaian atau cat besi yang mengandung silver metalic. Kemudian, untuk memberikan kesan mengkilat atau shanning biasanya ditambahkan baby oil atau minyak goreng,” kata Dokter Spesialis Dermatologi Venereologi Estetika RS Pondok Indah – Bintaro Jaya, Irwan Saputra Batubara, Sp. D.V.E.
Cat sablon yang digunakan para manusia silver mengandung logam berat yang umumnya ditemukan merkuri, timbal, dan kardio.
Di mana ketiga bahan itu jika terkena kulit, terutama dalam durasi lama bisa menyebabkan kerusakan.
Pada jangka pendek akan terjadi iritasi kulit seperti, ruam kemerahan, perubahan warna jadi bercak kemerahan pada kulit atau warnanya tidak seragam, timbul keluhan seperti gatal hingga rasa panas terbakar.
Sementara dalam jangka waktu lebih lama lagi akan terjadi yang disebut ultrasi atau perlukaan pada kulit yang ditandai dengan barier kulit rusak seperti mengelupas, muncul luka dangkal, yang lama kelamaan menjadi luka dalam.
“Dalam jangka waktu lebih lama dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan juga sel yang berdampak pada skin cancer atau kanker kulit,” jelas dia.
“Misalnya, pada kandungan timbal itu dapat menyebabkan anemia atau kekurangan darah, darah tinggi, gangguan ginjal, gangguan saraf yang dapat berakibat hingga fatal,” ujar Irwan.
Sementara kandungan kanium dalam cat sablon yang digunakan manusia silver dapat menyebabkan gejala seperti demam, menggigil, kerusakan otot, dan gangguan pernapasan.
Sedangkan kandungan merkuri dalam cat itu dapat menyebabkan tremor atau getaran yang tidak dapat dikontrol pada tangan atau kaki.
Selain itu, juga bisa menyebabkan insomnia, kehilangan memori, kelainan saraf, nyeri kepala hebat, hingga disfungsi dari otot-otot pergerakan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.