GELORA.CO – Pernyataan optimistis Luhut Binsar Pandjaitan pada 1 Februari 2025.
Bahwa Indonesia dan Uni Emirat Arab tengah menyiapkan pendanaan 50 juta dolar AS.
Setara Rp815 miliar untuk program reforestasi hutan Indonesia, kini berbalik menjadi sorotan pedas publik.
Janji manis soal kerja sama besar yang disebut akan direalisasikan saat kunjungan Royal Highness Mohammed Bin Zayed.
Justru terasa kontras ketika masyarakat di Sumatra menyaksikan kenyataan pahit.
Banjir besar disertai tumpukan kayu gelondongan yang memenuhi sungai, halaman rumah warga, bahkan menghantam permukiman.
Situasi ini memunculkan satu pertanyaan besar yang menggema di ruang publik.
Jika reforestasi benar-benar menjadi prioritas negara dan pendanaan raksasa sudah disiapkan, mengapa kerusakan hutan justru tampak makin masif?
Banjir besar yang melanda berbagai wilayah di Sumatra tidak hanya membawa air bah, tetapi juga bukti telanjang betapa parahnya deforestasi yang terjadi.
Kayu-kayu besar yang terbawa arus hanyalah “jejak kaki” dari kerusakan struktur hutan yang sudah lama diabaikan.
Klaim kerja sama reforestasi menjadi terasa hambar ketika kondisi di lapangan menunjukkan betapa rapuhnya ekosistem hutan yang seharusnya dilindungi.
Publik mulai mempertanyakan efektivitas kebijakan, komitmen pemerintah.
Dan ke mana sebenarnya arah dari program pemulihan hutan yang digadang-gadang itu.
Tidak sedikit yang menilai pernyataan besar soal pendanaan justru tampak seperti pencitraan diplomatik di tengah realita lapangan yang semakin sulit ditutupi.
Tuntutan transparansi kini menguat.
Masyarakat dan pegiat lingkungan meminta pemerintah membuka laporan detail mengenai status dana reforestasi, progres implementasi.
Dan bukti nyata apa saja yang sudah dikerjakan sejak komitmen itu diumumkan.
Tanpa laporan yang dapat diverifikasi, pendanaan 50 juta dolar hanya akan dipandang sebagai angka di atas kertas.
Bukan solusi bagi krisis ekologi yang tengah berlangsung.
Kritik semakin tajam karena kerusakan hutan bukan fenomena baru.
Tahun ke tahun, deforestasi terus meningkat akibat pembukaan lahan, industri ekstraktif, dan lemahnya pengawasan terhadap izin-izin kawasan.
Publik mempertanyakan bagaimana pemerintah berani mengumumkan program besar reforestasi.
Sementara penegakan hukum terhadap pelanggaran kehutanan masih jauh dari kata tegas.
Banjir Sumatra justru menunjukkan bahwa sistem perlindungan hutan tidak berjalan.
Selain itu, fakta bahwa kayu-kayu besar terbawa banjir menjadi sinyal bahwa eksploitasi di hulu berlangsung tanpa kendali.
Situasi ini menempatkan pemerintah dalam posisi sulit.
Tekanan publik semakin besar, sementara bencana terus memperlihatkan betapa buruknya kondisi lingkungan Indonesia.
Tanpa tindakan serius yang bersifat transparan, terukur, dan dapat dipertanggungjawabkan, komitmen reforestasi berpotensi tidak lebih dari sekadar slogan.
Dalam kondisi ketika ribuan warga Sumatra masih berjuang bangkit dari bencana.
Pertanyaan soal efektivitas reforestasi bukan hanya diskusi teknis, tetapi persoalan moral. Masyarakat berhak mendapatkan penjelasan, bukan sekadar janji.
Demi mencegah kerusakan lebih besar, pemerintah harus menjawab bukan dengan retorika diplomatik, melainkan langkah nyata yang terlihat, terukur, dan diawasi publik.***

:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5081848/original/041923500_1736225351-PABRIK.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)









