Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Di Balik Riasan Jenazah: Menutup Luka, Menghadirkan Wajah Terakhir yang Layak Megapolitan 8 Desember 2025

Di Balik Riasan Jenazah: Menutup Luka, Menghadirkan Wajah Terakhir yang Layak
Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com –
Di balik raut tenang seseorang yang terbujur kaku sebelum dimakamkan, ada profesi sunyi yang bekerja dalam diam, yaitu
perias jenazah
.
Mereka bertugas mengembalikan kewajaran rupa, menyamarkan luka, menutup lebam, hingga memulihkan warna kulit yang memudar agar keluarga dapat memberikan perpisahan yang layak. Mereka adalah sosok penting dalam proses persemayaman, tetapi sering kali terlupakan dalam percakapan publik.
“Paling menantang ketika kita harus menutup luka-luka dan lebam, atau saat kulit jenazah mengalami perubahan warna, seperti menghitam dan menguning,” ujar
Gloria Elsa Hutasoit
(42), perias jenazah, saat dihubungi Jumat (5/12/2025).
Profesi ini, kata Gloria, bukan sekadar teknik merias wajah. Ini adalah pekerjaan yang menyentuh ranah
kemanusiaan
dan menuntut ketelitian serta pengendalian emosi.
Gloria bekerja sebagai perias jenazah di wilayah DKI Jakarta. Ia tidak terikat dengan rumah sakit atau rumah duka tertentu sehingga jadwal kerjanya bergantung pada panggilan keluarga.
“Sehari bisa satu sampai tiga jenazah. Kadang juga seharian tidak ada riasan. Karena saya tidak bekerja sama dengan banyak rumah sakit atau rumah duka, panggilan itu tidak menentu,” katanya.
Ia menjalani profesinya secara mandiri. Dalam hitungan menit, ia bisa diminta datang ke rumah duka, ruang jenazah rumah sakit, atau rumah pribadi keluarga untuk mempersiapkan jenazah. Baginya, setiap jenazah memiliki cerita dan tantangannya masing-masing.
“Yang saya rasakan saat bertemu jenazah adalah bahagia karena bisa menolong mempersiapkan mereka, terutama yang dari keluarga tidak mampu,” kata Gloria.
Keterampilan merias yang kini menjadi profesinya berawal dari kegemarannya terhadap merias atau
make up
sejak muda.
“Saya terjun ke dunia perias jenazah dari muda memang suka
make up
. Kebetulan mama saya perawat di rumah sakit dan pelayanan di gereja untuk memandikan jenazah,” tuturnya.
Pengalaman pertamanya merias jenazah justru datang dari kehilangan pribadi.
“Pertama kali saya merias jenazah tante saya yang bekerja sebagai pemulung. Dari situ saya tergerak, bahwa pengantin Tuhan berhak dipersiapkan dengan layak di hari terakhirnya,” ujarnya.
Dari pengalaman itu, ia mulai mengikuti ibunya dalam pelayanan gereja dan memperdalam teknik merias jenazah. Merias jenazah, kata Gloria, jauh berbeda dari kosmetik biasa. Kulit jenazah kering dan kaku, membutuhkan teknik khusus.
“Merias jenazah itu seperti merias di atas kaca. Kulitnya sudah kering dan keras, jadi tekniknya tidak bisa sama dengan makeup biasa,” jelasnya.
Struktur kulit yang menghitam, menguning, atau mengalami kekakuan memerlukan perhatian teknis yang kompleks. Tantangan bertambah berat ketika jenazah memiliki luka terbuka, lebam parah, atau perubahan warna akibat penyakit dan proses biologis.
“Yang paling menantang ketika kita harus menutup luka dan lebam, atau ketika kulit jenazah mengalami perubahan warna,” lanjutnya.
Dalam beberapa kasus, ia perlu melakukan rekonstruksi wajah. Gloria menyebutkan, kondisi paling rumit adalah ketika ia harus melakukan rebuilding atau membentuk ulang organ yang rusak.
“Jenazah yang harus kami
rebuilding
atau membentuk organ yang rusak, atau menutup luka jahitan, itu membutuhkan waktu paling lama,” ujarnya.
Tujuannya bukan membuat jenazah tampak cantik, melainkan memulihkan kenampakan wajar sehingga keluarga dapat mengingat wajah orang tersayang dengan damai.
Profesi ini tidak hanya menuntut ketelitian, tetapi juga ketahanan emosional. Gloria menyebut momen paling berat adalah ketika merias jenazah yang meninggal mendadak.
“Pasti keluarganya jauh lebih terpukul,” ujarnya.
Namun, ia belajar menjaga batas emosi.
“Kami boleh simpati, tapi tidak boleh empati. Kami harus fokus mempersiapkan jenazah, bukan fokus kepada keadaan sekitar yang kehilangan,” katanya.
Melalui akun Instagram @periasjenazah.gloriaelsa, ia berbagi dokumentasi kerja bukan untuk sensasi, tetapi sebagai edukasi agar masyarakat lebih memahami profesi yang kerap dianggap tabu ini.
Kompas.com
juga mendengar pengalaman dari pengguna jasa rias jenazah, Cristiene Maria (38), warga Jakarta Barat. Cristiene kehilangan ibunya secara mendadak akibat serangan jantung. Di tengah kepanikan, keluarga ingin memastikan tampilan terakhir sang ibu tetap rapi dan terawat.
“Pihak rumah sakit menyarankan salah satu jasa perias jenazah, akhirnya kami hubungi,” ujarnya.
Ia memilih perias berpengalaman dengan portofolio jelas.
“Kami ingin wajah Ibu tetap terlihat seperti dirinya, tidak menor atau berlebihan,” tambahnya.
Proses rias berlangsung cepat dan hati-hati.
“Setelah dimandikan dan dikafani, perias datang. Mereka membersihkan wajah, merapikan rambut, make up-nya tipis, hanya untuk menutup pucat dan lebam. Hasilnya natural,” kata dia.
Keluarga memberi foto sebagai referensi. Ketika melihat hasilnya, Cristiene tak bisa menahan haru.
“Wajah Ibu terlihat damai, seperti sedang tidur. Itu sangat membantu kami menerima keadaan,” ucapnya.
Biaya rias sekitar Rp 1,5 juta per layanan. Menurut Cristiene, harga tersebut pantas dengan hasil yang ia dapatkan.
Menurut pandangan Rakhmat Hidayat, sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ), profesi perias jenazah termasuk kategori “
calling
”, atau panggilan hidup.
“Semakin pekerjaan itu langka, jarang digeluti, atau tidak menarik bagi sebagian besar orang, justru semakin terlihat bahwa seseorang melakoninya karena sebuah panggilan,” jelasnya.
Menurut Rakhmat, pekerjaan ini bertolak belakang dengan orientasi masyarakat urban yang mengejar prestise dan kepastian ekonomi.
“Ini pekerjaan yang langka. Tidak semua orang bisa menekuninya. Dalam masyarakat urban yang sangat komersial, profesi seperti ini menjadi penting karena tetap dibutuhkan,” katanya.
Stigma dan anggapan menyeramkan membuat profesi ini kurang dihargai, padahal mereka berperan dalam proses sosial kematian. Ia berujar, kematian adalah bagian dari kehidupan sosial.
“Mereka bekerja dengan hati, bukan hanya
money oriented
. Mereka memberi kemanusiaan bagi orang yang sudah tidak bisa merawat dirinya sendiri,” ujarnya.
Perias jenazah, kata Rakhmat, juga mengalami marginalisasi karena tidak termasuk profesi formal.
“Mereka tidak mendapatkan standar profesi, tidak tercatat, tidak memiliki kepastian upah, dan sering menerima stigma,” jelasnya.
Meski begitu, penggunaan jasa rias jenazah profesional meningkat di masyarakat kelas menengah, terutama untuk pemakaman komersial. Namun perubahan ini belum membentuk budaya kematian yang lebih terbuka.
“Kematian masih dianggap misteri dan menyeramkan. Makam-makam kita belum menjadi ruang publik yang nyaman. Berbeda dengan luar negeri, di mana pemakaman rapi, terbuka, bahkan menjadi ruang wisata religi,” paparnya.
Saat pandemi Covid-19, kebutuhan perias jenazah meningkat drastis dan menegaskan pentingnya profesi ini.
“Mereka bekerja melampaui risiko, batas geografis, dan latar belakang etnis. Ini pekerjaan kemanusiaan,” kata dia.
Bagi Gloria, pekerjaan ini bukan tentang kecantikan, melainkan tentang martabat. Ia berusaha merias jenazah seperti merias seseorang untuk momen paling penting dalam hidupnya meski itu adalah momen terakhir.
“Pengantin Tuhan berhak dipersiapkan dengan layak,” ujarnya.
Setiap hari, ia memasuki ruang duka dengan ketenangan profesional, membantu keluarga menghadapi perpisahan. Di tangan perias jenazah seperti Gloria, wajah terakhir seseorang dirapikan, luka ditutup, dan lebam disamarkan—memberi keluarga waktu untuk mengingat dengan lebih tenang.
Cristiene menutup ceritanya dengan satu kalimat sederhana.
“Saya sangat menghargai profesi perias jenazah. Mereka bekerja dengan hati-hati dan menghormati keluarga. Mereka membantu memberi keindahan terakhir bagi orang yang kita cintai,” ujarnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.