Bisa Rias 3 Jenazah dalam Sehari, Gloria Ungkap Tantangan Menutup Luka dan Rebuilding Wajah
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Bagi sebagian orang, pekerjaan perias jenazah masih dipenuhi stigma dan jarak emosional.
Namun, bagi Gloria Elsa Hutasoit (42), pekerjaan tersebut justru telah menjadi bagian dari hidupnya sejak remaja.
“Saya bekerja sehari bisa satu sampai tiga jenazah, kadang seharian tidak merias sama sekali,” ujarnya saat dihubungi
Kompas.com
pada Jumat (5/12/2025).
Gloria bekerja sebagai
perias jenazah
di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya. Ia menerima panggilan dari rumah sakit, rumah duka, atau langsung dari keluarga mendiang. Tidak ada ritme yang pasti maupun jadwal rutin.
“Saya tidak bekerja sama dengan banyak rumah sakit atau rumah duka, jadi sehari itu tidak pasti. Kadang ramai, kadang sepi,” katanya.
Dalam dunia pekerjaan yang jarang disorot ini, Gloria menautkan pekerjaannya yang ditekuni sejak 2016 bukan hanya pada aspek teknis kecantikan, tetapi juga pada nilai-nilai kemanusiaan.
Ia meyakini setiap jenazah berhak mendapatkan persiapan terakhir yang layak.
Saat ditanya bagaimana awalnya ia berkecimpung dalam dunia
merias jenazah
, Gloria bercerita panjang.
“Dari muda saya suka sekali
makeup
,” tuturnya.
Pengalaman pertama Gloria merias jenazah terjadi saat tantenya yang bekerja sebagai pemulung meninggal dunia pada 2001. Peristiwa itu meninggalkan kesan mendalam baginya.
“Di situ saya tergerak. Saya merasa pengantin Tuhan berhak dipersiapkan dengan layak di hari terakhirnya,” kenangnya.
Sejak saat itu, ia mulai sering ikut ibunya dalam pelayanan pemulasaraan. Dari satu pengalaman ke pengalaman lain, ia mulai memahami sisi teknis sekaligus emosional dari pekerjaan tersebut.
“Saya membantu mama memandikan jenazah, sambil belajar bagaimana memperlakukan jenazah dengan penuh hormat,” kata Gloria.
Banyak orang membayangkan profesi perias jenazah sebagai pekerjaan yang berat, kelam, bahkan menakutkan. Namun, Gloria justru merasakan sebaliknya.
“Yang saya rasakan saat bertemu jenazah adalah bahagia,” ujarnya.
Kebahagiaan itu muncul karena ia merasa dapat membantu keluarga yang sedang menghadapi kehilangan.
Menurut dia, pelayanan rias jenazah bukan hanya soal berhadapan dengan tubuh yang sudah tidak bernyawa.
Lebih dari itu, pekerjaan ini adalah tentang menjaga martabat seseorang, terutama mereka yang berasal dari keluarga sederhana.
“Saya bahagia bisa menolong mempersiapkan jenazah tak mampu,” ucapnya.
Meski sama-sama menggunakan alat kosmetik dan teknik dasar yang mirip dengan merias orang hidup, tantangan merias jenazah jauh lebih besar. Gloria menggambarkannya sebagai “merias di atas kaca”.
“Struktur kulit jenazah cenderung sudah keras dan kering,” tuturnya.
Permukaan kulit yang kehilangan elastisitas membuat produk
makeup
sulit menempel. Warna kulit pun sering berubah.
Menurut Gloria, salah satu tahap paling menantang adalah ketika ia harus menutup luka atau lebam.
Kondisi tertentu seperti jenazah yang telah lama meninggal, perbedaan penyimpanan suhu, atau riwayat medis membuat beberapa bagian kulit berubah warna menjadi menghitam atau menguning.
Ia menyebut bahwa kondisi rumit biasanya memerlukan waktu jauh lebih lama.
“Yang paling membutuhkan waktu itu kalau kita harus
rebuilding
atau membentuk kembali organ yang rusak, atau menutup luka jahitan,” jelasnya.
Rebuilding
pada jenazah mencakup teknik rekonstruksi wajah, di antaranya memperbaiki bentuk hidung, pipi, atau bagian lain yang rusak akibat kecelakaan, operasi, atau trauma.
Dalam beberapa kasus, ia menggunakan kapas, lem khusus, hingga
foundation
padat berlapis.
“Kadang keluarga tidak mau melihat kondisi jenazah apa adanya. Mereka ingin memberi kenangan terakhir yang damai,” kata Gloria.
Selain tantangan teknis, sisi emosional pekerjaan ini juga tidak ringan. Seorang perias jenazah hampir selalu berhadapan dengan keluarga yang tengah berduka, mulai dari yang masih syok hingga yang dipenuhi penyesalan.
Momen yang paling membekas bagi Gloria adalah ketika merias jenazah yang meninggal secara mendadak.
“Keluarga pasti lebih terpukul. Suasananya berbeda sekali,” ujarnya.
Meski demikian, ia menekankan pentingnya menjaga batas emosional.
“Kami sudah terlatih untuk boleh simpati, tapi tidak boleh empati,” katanya.
Empati yang terlalu dalam dinilai bisa mengganggu fokus dan membuat proses rias tidak optimal.
Gloria mengatakan, ia harus bekerja dengan ketenangan dan konsentrasi penuh.
“Kami harus mempersiapkan jenazah, bukan ikut tenggelam dalam duka keluarga,” tuturnya.
Beberapa kali, ia juga membagikan proses dan hasil rias jenazah di akun Instagram pribadinya, @periasjenazah.gloriaelsa, sebagai bentuk edukasi dan dokumentasi.
Untuk melihat profesi ini dari sudut pandang yang lebih luas,
Kompas.com
mewawancarai Rakhmat Hidayat, sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Ia memandang profesi perias jenazah bukan sekadar pekerjaan.
“Ini bukan semata-mata profesi. Dalam pandangan saya, ini adalah sebuah panggilan atau
calling
,” kata Rakhmat saat dihubungi, Jumat.
Menurut dia, semakin langka sebuah profesi, semakin tinggi nilai sosialnya. Dalam masyarakat perkotaan yang cenderung mengejar pekerjaan formal, bergaji tetap, dan berorientasi komersial, perias jenazah hadir sebagai antitesis.
“Pekerjaan ini langka, tidak banyak orang mau menggelutinya, dan justru karena itulah masyarakat membutuhkannya,” ujarnya.
Rakhmat juga menyoroti stigma yang masih melekat pada profesi ini. Banyak orang menganggap kedekatan dengan kematian sebagai sesuatu yang menyeramkan.
Namun bagi mereka yang bekerja di bidang ini, kematian justru menjadi bagian dari keseharian.
“Bagi mereka, kematian itu melekat secara sosial. Ini bukan hanya tentang teologi atau ritual, tetapi soal kemanusiaan mengurus jenazah tanpa memandang latar belakang agama atau status sosial,” kata Rakhmat.
Ia mengingatkan bahwa pada masa pandemi Covid-19, peran para pekerja pemulasaraan dan perias jenazah sangat vital.
Mereka bekerja di tengah risiko tinggi, sering kali tanpa kompensasi yang memadai.
Selain stigma, para pekerja di bidang ini juga menghadapi marginalisasi dalam sistem kerja modern.
Mereka kerap tidak tercatat sebagai profesi formal, tidak memiliki standar upah yang jelas, dan belum sepenuhnya diakui dalam kerangka sosiologi pekerjaan.
“Ini pekerjaan yang bekerja dengan hati, bukan
money oriented
,” tegas Rakhmat.
Rakhmat menilai penggunaan jasa perias jenazah profesional di Indonesia sebenarnya mulai meningkat, tetapi masih terbatas di kalangan menengah ke atas.
Ia menyebut transformasi budaya kematian di Indonesia belum berkembang secara signifikan.
Meski ada makam-makam komersial yang tertata rapi, kebanyakan pemakaman umum masih dianggap menyeramkan dan kurang terawat.
Berbeda dengan beberapa negara Eropa, di mana makam menjadi bagian dari ruang publik, tempat orang berjalan, duduk, bahkan melakukan wisata religi.
“Di Indonesia, kematian masih dianggap misteri besar. Transformasi budaya kematian belum sepenuhnya terjadi,” ujarnya.
Profesi perias jenazah pun baru dihargai sebagian kecil masyarakat, sering kali karena paket layanan pemakaman komersial.
Untuk melihat dari sisi keluarga,
Kompas.com
mewawancarai Cristiene Maria (38), warga Jakarta Barat, yang pernah menggunakan jasa perias jenazah untuk ibunya.
Meski bukan Gloria yang merias, pengalaman Cristiene memberikan gambaran penting tentang nilai profesi ini.
Ibunya meninggal mendadak akibat serangan jantung. Dalam kondisi panik, keluarga memutuskan mencari jasa perias jenazah profesional.
“Kami ingin Ibu terlihat rapi dan terawat untuk penghormatan terakhir,” kata Cristiene kepada
Kompas.com
, Jumat.
Pihak rumah sakit kemudian memberikan rekomendasi jasa rias. Setelah dihubungi, perias datang lengkap dengan perlengkapan.
Proses berjalan rapi dan cepat, mulai dari membersihkan wajah, merapikan rambut, hingga menggunakan
makeup
tipis untuk menutupi pucat dan lebam.
Cristiene dan keluarganya juga memberikan arahan soal tampilan yang diinginkan.
“Kami kasih foto Ibu waktu masih sehat. Kami minta riasannya natural dan tidak menor,” katanya.
Hasil riasan sang perias membuat keluarga lega.
“Wajah Ibu terlihat damai, seperti sedang tidur. Itu sangat membantu kami menerima keadaan,” ucapnya.
Biaya yang dikeluarkan saat itu sekitar Rp 1,5 juta, termasuk
makeup
dan perapian rambut. Menurut Cristiene, profesi ini penuh dedikasi.
“Mereka bekerja dengan hati-hati dan sabar. Rasanya mereka memberi keindahan terakhir bagi orang yang kita cintai,” katanya.
Dari kisah Gloria, analisis sosiolog, hingga pengalaman keluarga pengguna jasa, terlihat bahwa peran perias jenazah jauh lebih besar daripada sekadar pekerjaan teknis.
Gloria sendiri tetap menjalani profesi ini sebagai sebuah panggilan, bukan sekadar mata pencaharian.
Dalam sehari, ia bisa menangani hingga tiga jenazah; di hari lain, tidak ada satupun. Namun ritme yang tak menentu itu tidak mengurangi dedikasinya.
“Yang penting bagi saya adalah setiap jenazah dipersiapkan sebaik mungkin, dengan layak,” katanya.
Di dunia yang terus berubah, pekerjaan seperti yang dilakukan Gloria mungkin jarang disorot. Namun keberadaannya menjadi tiang kecil yang menopang ritus kemanusiaan—memastikan bahwa, di penghujung kehidupan, setiap orang tetap dihargai.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Bisa Rias 3 Jenazah dalam Sehari, Gloria Ungkap Tantangan Menutup Luka dan Rebuilding Wajah Megapolitan 8 Desember 2025
/data/photo/2025/12/08/6936b323c40a8.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/11/28/692903cae4186.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/08/6936474ccaf11.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/08/6936a8a2d86d8.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/08/6936a60b3d4ec.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/08/6936a05c6af30.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)