Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Retakan Beton Muara Baru dan Ilusi Keamanan Semu Megapolitan 7 Desember 2025

Retakan Beton Muara Baru dan Ilusi Keamanan Semu
Peneliti & Assessor pada IISA Assessment Consultancy & Research Centre
DESEMBER
2025 bukan sekadar catatan kalender tentang pasang air laut yang meninggi; ia adalah monumen basah dari kegagalan kita mendengar jeritan bumi dan rintihan manusia. Ketika tanggul di Muara Baru retak dan air laut menerobos masuk ke ruang-ruang privat warga, yang runtuh bukan hanya struktur beton, melainkan rasa percaya.
Ada kepedihan mendalam saat melihat seorang ibu menyelamatkan foto keluarga dari genangan lumpur, sementara di menara gading kekuasaan, para pengambil kebijakan menyodorkan karung pasir sebagai solusi. Ini adalah teater kebijakan yang tragis: upaya kosmetik untuk menutupi luka sistemik yang menganga lebar.
Sebagai peneliti dan pemerhati perilaku interaksi manusia dengan kekuasaan, saya melihat fenomena ini melampaui teknis sipil. Ini adalah krisis jiwa bangsa. Respons pejabat yang dengan ringan menyebut banjir rob sebagai “kejadian biasa” dan mengklaim warga “sudah terbiasa” adalah bentuk
gaslighting
institusional yang melukai hati nurani.
Pernyataan tersebut bukan sekadar mekanisme pertahanan diri, melainkan gejala dari patologi birokrasi yang telah kehilangan urat empatinya. Kita tidak sedang berhadapan dengan air semata, tetapi dengan mentalitas yang menormalisasi penderitaan sesamanya.
Saat air merendam permukiman, yang tenggelam pertama kali bukanlah perabotan rumah tangga, melainkan akuntabilitas dan kemanusiaan para pemimpin kita.
Tumpukan karung pasir yang basah dan kotor di Muara Baru adalah metafora pilu bagi apa yang dalam psikologi organisasi disebut sebagai The Psychology of Temporary Solutions. Pejabat kita seolah kecanduan pada solusi instan karena memberikan ilusi bahwa mereka telah “bekerja”, padahal sejatinya mereka sedang menunda ledakan bom waktu.
Studi menjelaskan bagaimana kenyamanan semu ini meninabobokan pengambil kebijakan, membuat masalah yang membusuk di bawah permukaan dianggap selesai hanya karena tidak lagi terlihat mata.
Lebih menyayat hati lagi, kita sedang menyaksikan operasionalisasi nyata dari teori Normalization of Deviance yang dicetuskan Diane Vaughan. Sebagaimana diulas dalam
When Cutting Corners Becomes the Norm
(2025), bencana kemanusiaan ini tidak terjadi dalam semalam. Ia adalah akumulasi dari ribuan pengabaian kecil—rembesan yang dianggap sepele, retakan halus yang dibiarkan—yang perlahan diterima sebagai “nasib”.
Pejabat publik kita tampaknya menderita
Administrative Evil
, sebuah konsep yang dijelaskan dalam
The Problem of Administrative Evil in a Culture of Technical Rationality
(2015). Mereka melakukan kejahatan kemanusiaan—pembiaran bencana—bukan karena niat jahat seperti penjahat perang, tetapi karena ketaatan buta pada prosedur teknis yang menihilkan penderitaan manusia.
Mereka bersembunyi di balik kertas laporan, sementara warga berjuang bernapas di balik tanggul yang rapuh. Ketika pejabat mengatakan warga “sudah biasa”, mereka sedang melakukan pelepasan moral (
moral disengagement
) yang kejam. Ini adalah cara mereka mematikan rasa bersalah dengan menyalahkan korban atau menormalisasi penderitaan, seperti dianalisis dalam
Moral Disengagement in Processes of Organizational Corruption
(2011).
Akibatnya, warga terperangkap dalam Learned Helplessness; sebuah kepasrahan yang dipelajari. Mereka berhenti berteriak menuntut hak, bukan karena tidak sakit, tetapi karena yakin suara mereka tidak akan pernah didengar oleh tembok-tembok birokrasi yang dingin.
Mengapa tangisan warga Muara Baru gagal menembus telinga penguasa sebelum bencana terjadi? Jawabannya terletak pada arsitektur mental para pengelola kota yang terkotak-kotak tanpa jiwa. Fenomena
silo mentality
membuat instansi pemerintah bekerja seperti robot yang terpisah; Dinas Sumber Daya Air, Tata Ruang, dan pemerintah pusat berjalan sendiri-sendiri, seolah air memiliki batas administrasi.
Riset
Fragmented Water Governance
(2023) menunjukkan bahwa ketiadaan hati untuk berkolaborasi memperkuat pendekatan parsial yang gagal melihat air sebagai sumber kehidupan, melainkan hanya sebagai musuh yang harus dibuang.
Pejabat kita juga terjangkit
Overconfidence Bias
dan
The Ostrich Paradox
. Seperti burung unta yang membenamkan kepala ke pasir saat bahaya datang, pengambil kebijakan memilih menutup mata terhadap data risiko jangka panjang demi kenyamanan politik sesaat. Dalam
The Ostrich Paradox: Why We Underprepare for Disasters
(2017), dijelaskan bahwa manusia memiliki bias miopia; kita lebih takut pada biaya politik reformasi hari ini daripada tangisan anak cucu kita di masa depan.
Retorika “tanggul aman” adalah bentuk penyangkalan realitas (
denial of reality
) yang mengorbankan nyawa. Data satelit Sentinel-1 SAR (2017-2023) telah berteriak lantang: tanah Jakarta ambles hingga 15 cm per tahun di zona kritis (Jakarta Land Subsidence Analysis Based on Sentinel-1 SAR Data, 2024). Namun, kebijakan yang lahir justru reaktif, seolah menunggu korban jatuh.
Ini adalah Status Quo Bias, sebuah preferensi irasional untuk mempertahankan kondisi saat ini meskipun data menunjukkan bahwa kita sedang berjalan menuju jurang (Status Quo Bias in Decision Making, 2025).
Kita membangun infrastruktur masa depan dengan pola pikir masa lalu, berharap beton mati mampu menahan amarah alam yang semakin hidup dan liar.
Kita harus berani melakukan lompatan batin yang
unthinkable
. Paradigma “melawan air” dengan arogansi beton harus diakhiri. Jakarta harus bertransformasi menjadi Sponge City atau Kota Spons, sebuah konsep futuristik di mana kota merendahkan hati untuk menyerap dan hidup berdampingan dengan air.
Sebagaimana diulas dalam
Flood Climate Change Sponge Cities
(2025), kota-kota dunia mulai beralih ke infrastruktur hijau-biru yang memuliakan siklus alam, bukan melawannya. Lebih jauh, demi menjaga martabat warga agar tidak terusir dari tanah kelahirannya, kita perlu mempertimbangkan Amphibious Architecture—bangunan yang bisa mengapung saat banjir datang.
Studi Building Amphibious Settlements in Kampung Baru (2019) membuktikan bahwa adaptasi fisik ini adalah wujud cinta pada kemanusiaan; memungkinkan komunitas nelayan tetap hidup di ruang sosial mereka tanpa harus digusur paksa, menjaga ikatan persaudaraan yang menjadi benteng terakhir kewarasan mereka.
Namun, teknologi secanggih apa pun akan hampa tanpa pemulihan jiwa tata kelola. Kita membutuhkan transparansi radikal melalui Digital Twin (kembaran digital kota), agar simulasi banjir bisa dilihat oleh semua mata, sebagaimana disarankan dalam Digital Twin in Flood Protection (2024). Dengan ini, rakyat jelata pun bisa melihat data yang sama dengan pejabat, meruntuhkan tembok arogansi informasi.
Terakhir, solusi haruslah lahir dari rahim partisipasi yang tulus, bukan sekadar formalitas Musrenbang yang sering kali membungkam suara lirih warga (e-Musrenbang: A Digital Framework Critique, 2021). Kita perlu menerapkan prinsip
Deliberative Democracy
ala Habermas, di mana warga dilibatkan dalam “majelis warga” yang memiliki kuasa nyata.
Hanya dengan melibatkan intersubjektivitas warga—mendengarkan ketakutan, harapan, dan kearifan lokal mereka—kebijakan publik bisa memiliki nyawa.
Jakarta sedang berdiri di persimpangan takdir. Kita bisa terus menumpuk karung pasir sembari menunggu waktu hingga laut menelan sejarah kota ini, atau kita meruntuhkan ego dan bias kita untuk membangun peradaban air yang memanusiakan manusia. Pilihan ada di tangan kita, sebelum air pasang berikutnya datang menghapus jejak kita selamanya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.