Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Trotoar Cikini Dikuasai PKL dan Parkir Liar, Pejalan Kaki Terusir ke Badan Jalan Megapolitan 5 Desember 2025

Trotoar Cikini Dikuasai PKL dan Parkir Liar, Pejalan Kaki Terusir ke Badan Jalan
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Hujan baru saja reda, pejalan kaki mulai kembali menyusuri trotoar di Jalan Raden Saleh Raya, Cikini, Kamis (4/12/2025).
Permukaan
trotoar
masih licin, namun mobil dan motor tak berhenti meraung di sampingnya berdesakan untuk lebih dulu melintas.
Baru beberapa langkah dari RSCM Kencana menuju Masjid Al Ma’mur, trotoar langsung berubah fungsi menjadi lokasi berdagang.
Kursi plastik dan gerobak
PKL
berjajar, sementara motor seenaknya keluar masuk trotoar untuk parkir atau menunggu penumpang.
Pejalan kaki
dipaksa rela menurunkan standar kenyamanan: menunduk, memiringkan badan, atau turun ke badan jalan berdempetan dengan kendaraan yang melintas cepat.
Trotoar sepanjang kurang lebih 150 meter dari RSCM Kencana hingga sebelum Kali Ciliwung dipenuhi lapak makanan ringan, minuman kemasan, hingga hidangan berat.
Berdasarkan pengamatan Kompas.com di lokasi, nyaris tak ada ruang lapang tersisa bagi pejalan kaki.
Wulan (29), karyawan kantor yang tinggal di kos dekat kawasan tersebut mengaku hampir menyerah menggunakan trotoar.
“Hampir setiap hari saya lewat sini. Tapi jujur, saya hampir nggak pernah benar-benar lewat trotoar karena trotoarnya dipakai jualan dan parkir motor,” ujar Wulan saat ditemui Kompas.com, Kamis.
Menurut Wulan, motor sering kali tiba-tiba naik ke trotoar tanpa memperhatikan orang yang berjalan.
“Saya pernah hampir keserempet karena motor mau parkir. Jadi saya terpaksa jalan di pinggir jalan, berdempetan sama mobil lewat. Sangat tidak aman,” katanya.
Wulan berharap pemerintah mengatur PKL, bukan justru membiarkannya mengambil alih ruang yang bukan semestinya.
“Trotoar penuh kayak begini. Kayaknya nggak ada yang ngawasin. Pejalan kaki yang jadi korban,” tutur dia.
Sementara Risa (28), pekerja swasta yang ditemui saat keluar dari minimarket di ruas yang sama, menyampaikan hal serupa.
Menurutnya, kondisi trotoar semacam ini sudah menjadi “penyakit” umum di Jakarta.
“PKL di mana-mana, pejalan kaki yang ngalah. Kita yang jalan harus tunggu mobil lewat biar enggak ketabrak,” ujar Risa.
Alih-alih menjadi ruang yang memfasilitasi mobilitas setara semua warga, trotoar kini berubah menjadi ruang yang diperebutkan. Dan pejalan kaki hampir selalu kalah.
“Kalau begini ya rebutan lah. Siapa yang mengalah. Pasti pejalan kaki,” ucap Risa.
Sofyan (40), pedagang sate yang sudah lima tahun berjualan di trotoar tersebut, mengakui bahwa ia dan pedagang lainnya mengetahui fungsi utama trotoar.
Namun, kebutuhan ekonomi membuatnya tetap bertahan.
“Tahu sih ini buat pejalan kaki. Tapi kalau kami dipindah, harus ada tempat yang layak. Kalau cuma dilarang tanpa solusi, gimana. Saya punya dua anak sekolah,” ujar Sofyan saat ditemui langsung.
Ia bercerita pernah mengalami kejar-kejaran dengan petugas Satpol PP.
“Pernah, beberapa kali. Biasanya pagi atau siang. Kami kabur, dorong gerobak. Mereka juga tahu kami cari makan,” katanya lirih.
Dalam sehari, Sofyan mengantongi pendapatan bersih Rp 150.000–200.000, dan bisa melonjak hingga Rp 400.000 jika ramai terutama akhir pekan di dekat Taman Ismail Marzuki (TIM).
Situasi serupa dialami Ridho (27), pedagang minuman kemasan dan es teh.
“Dulu saya ojek online. Sepi order pas pandemi. Akhirnya jualan di sini karena ramai kantor dan kos-kosan,” ungkapnya.
Namun hidup sebagai PKL di trotoar selalu penuh ketidakpastian.
“Pernah cooler saya diangkut. Dua hari baru bisa saya tebus. Sedih sih. Tapi ya begitu risikonya,” tutur Ridho.
Ridho mengaku siap dipindahkan, asalkan tersedia lokasi resmi yang mudah dijangkau pelanggan.
“Kalau ada tempat resmi yang murah, saya mau kok pindah. Sementara ini ya cuma bisa minta maaf ke pejalan kaki,” ucapnya.
Selain PKL, trotoar di kawasan ini juga dipenuhi motor parkir dan penumpang yang menunggu ojek online.
Bollard hitam sebagai pembatas jalan ternyata tak cukup menghalangi kendaraan bermotor untuk naik ke trotoar.
Pengamatan di lokasi dalam satu waktu, lebih dari 10 motor berhenti di trotoar, membuat jalur penyandang disabilitas netra 100 persen tertutup.
Akibatnya, pedestrian dengan mobilitas rentan paling terdampak. Seorang ibu menggendong anak bahkan tampak harus turun ke jalan.
Di momen itu, klakson dari mobil yang melintas membuatnya tersentak.
Trotoar yang seharusnya menjadi simbol ruang aman justru menghadirkan ancaman dari berbagai arah bahkan hingga kepala, dari kabel listrik yang menjuntai.
Kasatpol PP Jakarta Pusat, Purnama Hasudungan Panggabean, menyebut kawasan ini sering menjadi target penertiban.
“Sudah sering dilakukan. Kucing-kucingan ya. Diangkut juga. Jadi kuat-kuatan sama pedagang,” ujar Purnama saat dihubungi.
Penertiban dilakukan oleh gabungan Satpol PP kecamatan dan kota.
Namun tanpa tempat relokasi yang jelas, PKL akan selalu kembali.
“Mereka harus ada tempat jualan supaya tidak kucing-kucingan. Tapi kami tetap tertibkan yang melanggar Perda,” tegasnya.
Di sisi lain, Kepala Pusdatin Bina Marga DKI Jakarta Siti Dinarwenny menegaskan bahwa tugas mereka adalah menyediakan trotoar, bukan mengawasi aktivitas pelanggaran di atasnya.
“Penertiban menjadi kewenangan Satpol PP,” katanya saat dihubungi.
Sosiolog UNJ, Rakhmat Hidayat, menilai persoalan
trotoar Jakarta
bukan sekadar soal PKL, namun tanda kota yang gagal melindungi hak warganya.
“Trotoar itu hak publik. Ketika pedagang atau ojek memakai trotoar untuk kepentingan mereka, itu melanggar hak pejalan kaki,” ujarnya saat dihubungi.
Fenomena ini disebut lazim terjadi di kota-kota Global South.
“Mereka melihat trotoar sebagai ruang gratis yang mudah diakses. Negara seperti memberi keuntungan pada mereka,” kata Rakhmat.
Ia menyoroti bahwa negara-negara maju memiliki kesadaran jauh lebih kuat bahwa trotoar adalah ruang untuk hidup warga kota untuk berjalan, berinteraksi, dan beraktivitas aman tanpa kendaraan.
Rakhmat juga mengapresiasi warga yang mulai melakukan kontrol sosial.
“Ada warga yang marah, merekam, dan memprotes PKL atau ojek yang menggunakan trotoar. Itu penting dan harus dilakukan sebagai bagian edukasi,” tuturnya.
Namun pada akhirnya, ia menekankan pentingnya ketegasan pemerintah.
“Kalau tidak tegas, masalah ini akan selalu berulang. Trotoar tetap akan jadi ruang yang diperebutkan,” ucapnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.