Perjuangan Siswa Muara Gembong ke Sekolah, Menembus Banjir dan Sungai
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Setiap kali matahari terbit, siswa di Desa Pantai Bahagia, Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, sudah bersiap di dermaga depan rumahnya masing-masing untuk menanti jemputan perahu sekolah.
Baik sekolah negeri maupun swasta memiliki perahu jemputan tersendiri untuk para siswa dan siswinya.
Perahu menjadi andalan siswa di
Muara Gembong
untuk pergi ke sekolah demi mengejar cita-citanya sejak puluhan tahun lalu.
Hal itu disebabkan karena
Desa Pantai Bahagia
diapit oleh laut dan aliran Sungai Citarum sehingga sering terendam banjir.
Tak adanya tanggul membuat air laut di belakang rumah warga lebih sering meluap dan menggenangi pemukiman.
Bahkan, Kampung Beting di Desa Pantai Bahagia dinyatakan sudah tenggelam sejak tahun 2008.
Kondisi Sungai Citarum tanpa tanggul di depan rumah warga juga sering mengakibatkan banjir di wilayah ini.
Namun, banjir dari sungai tidak terlalu sering seperti laut. Air Citarum akan meluap jika hujan lebat dan adanya air kiriman dari daerah lain.
Sering terendamnya banjir membuat beberapa titik jalan di Muara Gembong terputus.
“Sebab, ada beberapa daerah di Muara Gembong yang sudah tidak lagi memiliki jalur darat alias tertutup imbas sering terendam rob,” tutur salah satu guru di MTs Nurul Ihsan, Desa Pantai Bahagia, Dadang Irawan saat diwawancarai Kompas.com di lokasi, Selasa (2/11/2025).
Selain terputus, jalan yang masih tersisa di lokasi tak layak untuk dilalui baik dengan sepeda motor maupun berjalan kaki.
Sebab, jalan yang masih tersisa dipenuhi tanah merah, bebatuan tajam, berpasir, hingga berlumpur.
Kondisi jalan semakin parah dan berbahaya dilalui ketika turun hujan di Desa Pantai Bahagia.
Hal itu lah yang membuat siswa dan siswi di Desa Pantai Bahagia mengandalkan perahu untuk berangkat dan pulang sekolah.
Perahu-
perahu sekolah
di Desa Pantai Bahagia akan melintas di sepanjang Sungai Citarum setiap harinya.
Dadang bilang, sebelum mengandalkan perahu dari sekolah, siswa di Muara Gembong ada yang diantar menggunakan perahu pribadi oleh orangtuanya karena akses rumahnya benar-benar tak ada lagi jalur darat.
Tapi, sebagian besar mereka yang rumahnya masih terdapat jalur darat maka terpaksa harus berjalan kaki sekitar empat kilometer (Km) dengan menyusuri jalan licin dan bebatuan.
Para siswa rata-rata harus berjalan kaki sekitar 30 menit hingga 45 menit untuk pergi ke sekolah sebelum mengandalkan perahu.
Hal itu lah yang membuat Dadang merasa iba dan sering menggunakan perahu pribadinya untuk mengantar pulang anak-anak sekolah agar tidak terlalu lelah.
“Saya punya perahu sendiri jadi saya mengantarkan pas pulangnya saja, kalau pagi bisa jalan,” tutur Dadang.
Namun, karena kapasitas mesin perahunya hanya sekitar 25 PK maka Dadang hanya bisa mengangkut sekitar 20 siswa dalam sekali perjalanan.
Hal itu, ia lakukan rutin kurang lebih selama tiga tahun demi membantu anak-anak agar mau sekolah dan mengejar mimpinya.
Dadang juga tak pernah memungut biaya ke siswa yang menebeng perahunya.
Mulai dari BBM hingga perawatan perahu ia tanggung sendiri, meski gajinya sebagai seorang guru MTs tak seberapa.
Namun, kondisi itu berubah sejak tahun 2018, ketika salah satu perusahaan logistik dan pelayaran yakni PT Samudera Indonesia Tbk datang ke MTs Nurul Ihsan untuk memberikan bantuan perahu sekolah untuk siswa dengan dana Corporate Social Responsibility (CSR).
Sejak itu, MTs Nurul Ihsan memiliki perahu jemputan sekolah pribadi untuk siswanya berjenis speed boat yang bernama Kapal Sinar Waisai.
Kapal senilai Rp 1 Miliar itu bisa mengangkut penumpang anak-anak maksimal 40 orang, sedangkan dewasa hanya 30 orang.
Tak hanya memberikan speed boat, segala perawatan dan gaji petugas kapal yang mengantar anak-anak pergi dan pulang sekolah juga terus ditanggung perusahaan swasta tersebut sampai saat ini.
Setiap harinya, kapal ini akan menjemput dan mengantar pulang siswa dan siswi yang bersekolah di MTs Nurul Ihsan.
Namun, karena siswa yang naik perahu mencapai 60 orang maka perjalanannya selalu dibagi menjadi dua setiap harinya.
“Jadi, mereka mengangkut dua kali. Pertama mereka mengangkut paling ujung dulu di pinggir laut kawasan Muara Bendera diantarkan ke sekolah, nanti trip kedua mereka angkut dari wilayah pertengahan langsung ke sekolah,” jelas Dadang.
Begitu pulang, Kapal Sinar Waisai akan melakukan dua kali perjalanan.
Pertama, anak-anak yang akan diantar yang rumahnya berada di pertengahan dan hanya ditempuh dalam waktu 15 menit.
Sedangkan perjalanan kedua, dilakukan untuk mengantar anak-anak yang rumahnya di ujung Sungai Citarum atau berbatasan dengan laut yang harus membutuhkan waktu sekitar 30 hingga 40 menit dalam satu kali perjalanan.
Anak-anak yang naik speed boat juga diwajibkan untuk menggunakan pelampung ketika pergi dan pulang sekolah demi menjaga keamanannya.
Beruntungnya lagi, anak-anak MTs Nurul Ihsan tak perlu membayar biaya perahu yang mengantar mereka.
“Ini semuanya gratis. Kita ada CSR dari Samudera yang memang mengalokasikan dana untuk sarana transportasi untuk mengangkut anak-anak yang dari Muara Bendera,” tutur Dadang.
Kampung Beting yang disebut sebagai wilayah tenggelam di Desa Pantai Bahagia justru belum bisa terakses perahu jemputan sekolah.
Sebab, lebar Sungai Citarum ketika masuk di desa ini mengecil hanya sekitar 15 meter sehingga perahu tradisional atau speed boat tak bisa masuk untuk menjemput siswa.
“Mungkin kalau ke Beting itu sungainya luas bisa dijemput juga, cuma karena kecil jadi buat ke Beting itu enggak masuk kapalnya,” ucap Dadang.
Alhasil, siswa dari Kampung Beting terpaksa harus berjalan kaki berkilo-kilo meter ketika hendak pergi dan pulang sekolah.
“Sekitar 30 menit jalan kaki. Kalau banjir menerobos banjirnya. Kapal enggak bisa masuk karena kali sempit,” tutur salah satu siswi MTs Nurul Ihsan, Syifa (14).
Syifa mengaku sedih dan lelah karena harus berjalan kaki setiap harinya ketika pergi dan pulang sekolah, sementara rekan-rekannya menggunakan perahu.
Tak hanya Syifa, siswi lain Zaskia (15) juga harus berjalan kaki setiap harinya ke sekolah karena tinggal di Kampung Beting.
Perjalanan ke sekolah akan semakin lama ditempuh ketika hujan tiba.
Sebab, jalanan di Desa Pantai Bahagia rusak parah dan bebatuan tajam.
“Kalau hujan, ada jalan kaki mah sekitar 40 menit,” tutur Zaskia.
Oleh karena itu, ia berharap agar jalan di kampungnya bisa segera diperbaiki pemerintah supaya tak lagi rusak.
“Pengin jalannya bisa dibagusin lagi biar sekolahnya enak enggak becek-becekan,” kata dia.
Pengamat Pendidikan Ina Liem menilai pemerintah telah gagal menangani pendidikan di Muara Gembong.
“Masalah di Muara Gembong bukan muncul tiba-tiba. Ini akumulasi kegagalan negara selama puluhan tahun,” tutur Ina.
Kondisi pendidikan yang begitu memprihatinkan itu disebabkan karena kurangnya transparansi, audit keuangan daerah yang lemah, dan ego sektoral yang membuat kementerian dan dinas bekerja sendiri-sendiri.
“Data sekolah ada di Kemendikdasmen, data penduduk dan siswa miskin di Dukcapil, infrastruktur di PUPR. Tanpa koordinasi, anak-anak tetap harus naik perahu kecil berbayar tanpa pelampung,” sambung Ina.
Ironisnya, sekolah swasta di Desa Pantai Bahagia seperti MTs Nurul Ihsan lebih gesit mencari CSR dan mendapatkan perahu yang aman dan gratis untuk siswanya.
Sedangkan sekolah negeri justru mengandalkan perahu tradisional yang justru berbayar sekitar Rp 5.000.
“Ini menunjukkan kontras antara inisiatif swasta yang gesit dan pejabat daerah yang pasif, padahal mereka punya anggaran, kewenangan, dan kewajiban,” ujar Ina.
Ina menyarankan pemerintah bisa mengintegrasikan data lintas sektor di Muara Gembong.
“Solusinya bukan tambal sulam, tapi integrasi data lintas sektor (Kemendikdasmen–Dukcapil–PUPR), transparansi anggaran, dan audit daerah yang betul-betul dijalankan,” ujar Ina.
Ia juga mengingatkan, CSR dari perusahaan bisa dimanfaatkan untuk membantu memajukan pendidikan di Muara Gembong.
Tapi, peran CSR tidak boleh menggantikan fungsi negara dalam menyediakan layanan pendidikan yang layak untuk anak-anak.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Perjuangan Siswa Muara Gembong ke Sekolah, Menembus Banjir dan Sungai Megapolitan 5 Desember 2025
/data/photo/2025/12/06/69340c90d8e99.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/05/6932c987197cb.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/06/24/685a6fb8bf3cb.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/06/6933d218396ce.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/06/6933b0d037df8.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2023/08/28/64ec7c8b95ce2.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)