Menapaki Trotoar di Tanah Abang: Tidak Ramah Pejalan Kaki dan Disabilitas
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Berjalan kaki dengan aman dan nyaman seharusnya menjadi hak setiap orang, termasuk mereka yang hidup dengan keterbatasan.
Di atas kertas, beragam program telah dicanangkan untuk memastikan jalan raya,
trotoar
, hingga fasilitas penyeberangan bisa digunakan oleh semua kalangan.
Para pemangku kebijakan kerap menyebut bahwa ruang kota kini semakin inklusif.
Kenyataannya, aksesibilitas yang dijanjikan itu belum hadir sepenuhnya.
Di beberapa titik, tombol lampu penyeberangan dipasang terlalu tinggi, membuat pengguna kursi roda kesulitan menekan tombol tanpa bantuan orang lain.
Informasi-informasi penting di ruang publik pun kadang disampaikan dengan kalimat berbelit dan teknis, menyulitkan penyandang disabilitas intelektual memahami instruksi yang seharusnya sederhana.
Bagi penyandang disabilitas netra, tantangannya bahkan bisa berubah menjadi persoalan hidup dan mati.
Trotoar yang semestinya menjadi jalur aman, justru sering disesaki motor parkir atau lapak pedagang.
Memaksa mereka turun ke badan jalan dan berhadapan langsung dengan risiko lalu lintas.
Di Tanah Abang misalnya, klaim ruang kota inklusif itu terasa lebih seperti slogan ketimbang kenyataan.
Siang di Tanah Abang selalu punya denyutnya sendiri, cepat, padat, dan tak pernah benar-benar berhenti.
Di antara gedung-gedung yang menatap kosong dari kejauhan, ada kehidupan yang tumbuh dan berdesakan di tepian jalan.
Namun, bagi pejalan kaki, denyut ini sering berubah menjadi perjuangan untuk sekadar melangkah dengan aman.
Trotoar yang seharusnya menjadi ruang aman itu kini lebih mirip arena bertahan hidup. Lajur kuning untuk disabilitas tertutup gantungan baju batik.
Karpet dagangan digelar hingga melewati batas jalur pejalan. Motor parkir menempel di bahu jalan membuat ruang gerak menyempit.
Ubin trotoar yang lebar, sejatinya cukup untuk dua hingga empat orang berjalan berdampingan.
Namun, lebar itu hanya ilusi. Para pejalan kaki menyelinap di antara sela-sela ruang yang tersisa.
Kondisi semakin memprihatinkan saat masuk ke area yang memiliki jalur pemandu bagi penyandang disabilitas.
Garis kuning yang seharusnya menjadi penuntun bagi tunanetra justru tertutup barang dagangan.
Kotak karton, tumpukan baju, hingga tiang gantungan menutupi jalur yang semestinya steril.
Seorang pedagang baju, Maryati (bukan nama sebenarnya), menyadari jalur tersebut penting bagi disabilitas, tetapi memilih mengabaikannya.
“Saya taruh barang di situ soalnya posisinya pas di depan. Kalau digeser malah nutup akses pembeli,” ucap dia.
Maryati kerap mendengar keluhan pejalan kaki yang merasa terhalang, tetapi tekanan ekonomi membuatnya bertahan di posisi yang sama.
“Susah, Mas. Di sini persaingan ketat. Kalau lapak digeser dikit aja, pelanggan bisa lewat ke pedagang lain,” kata dia.
Sebagai pejalan kaki, warga bernama Yuna (34) memperhatikan kondisi tersebut. Selain membuat pejalan kaki biasa harus bersiasat mencari jalan, ia menyadari bahwa situasi itu jauh lebih mengancam bagi tunanetra.
“Kalau orang normal aja susah nyari celah, apalagi yang nggak bisa lihat. Jalurnya ketutup semua. Saya suka mikir, itu mereka mau jalan lewat mana?” ujar dia.
Lapak pedagang kaki lima (PKL) membentang menyerupai perpanjangan toko di dalam gedung.
Meja, tumpukan karton, gantungan baju, serta payung warna-warni mengurung ruang yang seharusnya menjadi milik publik.
Di beberapa sudut, garis kuning jalur pemandu untuk penyandang disabilitas hilang dari pandangan.
Tertutup kardus, lapak, dan kaki-kaki meja, jalur itu seolah tak pernah dianggap bagian penting dari ruang kota.
Tidak ada yang tampak menyadari keberadaannya, apalagi menjaganya tetap terbuka.
Yuna merasakan langsung repotnya berjalan di antara keramaian yang sesak.
“Makin siang, makin penuh pedagang sama pembeli. Kita yang jalan kaki harus nyelip-nyelip,” katanya.
Di trotoar itu, hak eksklusif pejalan kaki seperti tidak pernah benar-benar ada.
Ruang direbut oleh siapa saja yang kuat dan cepat: pedagang, pembeli, pengendara, hingga juru parkir liar yang sibuk memberi aba-aba.
Pasrah, itulah kata yang dipilih Yuna untuk menggambarkan situasi sehari-hari.
Sebuah perasaan yang muncul bukan hanya karena berdesakan, tetapi karena menyadari bahwa kondisi ini jauh lebih berat bagi penyandang disabilitas yang bergantung pada ruang publik yang tertib untuk bergerak aman.
“Ya pasrah aja, Mas. Namanya juga pasar. Ada motor naik trotoar, ada pedagang gelar dagangan. Kadang sebel, tapi mau ngeluh sama siapa?” ujar dia.
Kemacetan membuat sebagian pengendara motor memilih jalan pintas, naik ke trotoar.
Bagi pejalan kaki, ini adalah momen paling menegangkan saat ruang yang seharusnya menjadi tempat aman justru berubah menjadi jalur alternatif yang dipadati knalpot dan deru mesin.
Yuna pernah mengalami kejadian yang membuat dirinya hampir trauma.
“Hampir keserempet motor yang naik trotoar dari belakang. Saya kaget sampai mundur. Ya mau marah juga percuma,” kata dia.
Kejadian serupa terjadi berulang begitu sering hingga menjadi bagian dari rutinitas trotoar Tanah Abang.
Dalam waktu kurang dari lima menit, sedikitnya tiga motor melintas di ruang yang seharusnya steril dari kendaraan. Semua dengan alasan yang mirip “di bawah macet banget.”
Namun, bagi pejalan kaki, itu cukup untuk menimbulkan kekacauan. Setiap motor yang melintas memaksa orang untuk merapat, menepi, atau berhenti mendadak.
Di antara kekacauan itu, Yuna mengaku dirinya semakin berhati-hati. Ia tidak bisa menebak dari mana motor akan datang.
“Emang harus ekstra waspada, takut tiba-tiba ada motor nyelip atau nyenggol,” ujarnya.
Trotoar yang seharusnya menjadi benteng terakhir bagi pejalan kaki kini berubah menjadi ruang yang tak lagi dapat diprediksi.
Di beberapa titik, trotoar bukan hanya ditempati pedagang, tetapi juga dialihfungsikan sebagai lokasi parkir motor.
Juru parkir liar mengatur kendaraan dengan cekatan, mengisi setiap jengkal ruang yang ada.
Salah satu juru parkir liar, sebut saja Udin (bukan nama sebenarnya), mengakui bahwa ia memang mengarahkan motor ke trotoar.
“Mau gimana lagi? Udah dari dulu begini, lagian itu masih muat jalan kaki,” katanya.
Ketika ditanya apakah ia merasa bersalah karena mengambil ruang pejalan kaki, ia mengangkat bahu.
“Saya udah puluhan tahun di sini, masih muat itu, namanya juga Tanah Abang” kata dia.
Udin mengaku dirinya sering kali ditertibkan oleh petugas, namun, kata dia, hal itu tak membuatnya jera.
“Sering, tapi yaudah besok markir lagi ga masalah,” jelas dia.
Di tengah lalu lintas yang padat,
zebra cross
sejatinya menjadi satu-satunya alat pembantu pejalan kaki untuk menyeberang.
Garis putih itu seharusnya menjadi jaminan dasar bahwa pengemudi akan memperlambat laju kendaraan dan memberi ruang bagi mereka yang berjalan.
Namun, di Tanah Abang,
zebra cross
berubah peran—dari alat perlindungan menjadi sekadar ornamen yang dicat di jalan.
Fungsinya lebih mirip simbol yang diabaikan daripada penanda hukum yang dihormati.
“
Zebra cross
di sini tuh banyak yang cuma jadi gambar doang, Mas. Mobil sama motor jarang mau berhenti. Saya biasanya nunggu bareng orang lain biar aman,” ujar Yuna.
Warga lainnya, Fenti (29), mengatakan hal serupa. Menyeberang di kawasan Tanah Abang, kata dia, adalah sebuah keahlian.
“Kadang udah injek
zebra cross
pun motor tetep gas. Jadi kita yang harus ngalah,” kata dia.
Fenti juga mengaku sering ragu setiap kali berdiri di tepi
zebra cross.
Ia sering menengok kanan-kiri, memastikan betul tidak ada motor yang tiba-tiba menyelonong.
“Kadang udah berdiri lama pun tetap nggak ada yang mau berhenti. Jadi harus nekat dikit. Kalau nggak, ya nggak bakal nyebrang-nyebrang,” ujarnya.
Pada jam sibuk, kendaraan menderu cepat, seolah tidak ada rambu yang memberi prioritas kepada pejalan kaki.
Klakson bersahutan, deru mesin saling mendesak, dan keengganan pengemudi untuk mengalah menjadi pola perilaku yang terus berulang.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Menapaki Trotoar di Tanah Abang: Tidak Ramah Pejalan Kaki dan Disabilitas Megapolitan 2 Desember 2025
/data/photo/2025/12/06/69342da64f7be.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/06/69341f9033588.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/06/69340c90d8e99.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/08/09/6896da5e4748b.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/06/69340d46b04da.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)