Perjuangan Pedagang Air Bersih Muara Angke, Usia Tak Muda, Keringat, Jeriken
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Persis di samping jembatan Muara Angke, Jakarta Utara, belasan pedagang air bersih berkumpul setiap harinya.
Di sana, mereka bergantian untuk mengisi air bersih ke dalam puluhan jeriken di atas gerobaknya.
Gerobak kayu berukuran 60 sentimeter (cm) dengan panjang tujuh meter mampu menampung sekitar 20 jeriken berukuran 20 liter.
Untuk mengisi air ke dalam 20 jeriken, para pedagang harus membayar sebesar Rp 15.000 ke pemilik air.
Setelah terisi penuh, para pedagang silih berganti mengantarkan air-air bersih itu ke para pembeli.
“Ada 20 drigen ukuran 20 liter. Sekali dorong ini bebannya empat kuintal,” ucap salah satu
pedagang air bersih
bernama Suhendar (50) saat diwawancarai Kompas.com di lokasi, Jumat (28/11/2025).
Beban yang berat membuat para pedagang air harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk mendorong gerobaknya.
Bahkan, beberapa dari mereka terpaksa harus melepas sandal, agar lebih kuat menapaki kaki di aspal.
Sepanjang perjalanan mendorong gerobak airnya, keringat terus bercucuran di wajah dan tubuh para pedagang yang usianya tak lagi muda.
Suhendar mengaku, dalam satu hari bisa mengantarkan air dengan gerobak kayunya itu sebanyak lima kali.
Sejauh ini, para pedagang gerobak lebih banyak menyuplai air ke para pedagang kaki lima.
“Ini kan masih banyak konsumen yang membutuhkan. Buat nyuci, buat minum juga, tapi banyakan dipakai sama warung kaki lima pinggir-pinggir jalan, kan dia enggak ada air, ke pelelangan juga karena airnya asin,” tutur Suhendar.
Sebab, banyak pedagang yang belum bisa memasang PAM karena merupakan warga pendatang.
Pedagang air lain bernama Edi (60) juga lebih banyak menyuplai air bersih ke para pedagang di sekitar
Muara Angke
hingga Muara Karang.
“Ini buat pedagang kaki lima di terminal kan ramai yang dagang,” ucap Edi.
Di usianya yang sudah tak lagi muda, Edi mengaku terpaksa masih menjalani profesi sebagai pedagang air bersih di Muara Angke.
Ia tetap memaksa tubuhnya agar mampu mendorong gerobak air dengan bobot kwintalan itu.
Semua itu, Edi lakukan demi tetap bisa berpenghasilan.
Sebab, ia masih harus menjadi tulang punggung keluarga di kampung halaman, meski buah hatinya sudah bekerja.
Bagi Edi, penghasilan anak-anaknya belum mampu mencukupi kebutuhan keluarga, sehingga ia tetap harus berjuang sebagai pedagang air hingga saat ini.
Sudah 41 tahun lamanya, ia mengandalkan profesi sebagai pedagang air bersih untuk menghidupi keluarga.
“Wah, belajar dagang air bersih mah udah tahun 1984 di Mangga Dua masih ada sebelum dibongkar. Tadi kan dagang sandal sama kreditin, cuma perumahan Mangga Dua dibongkar jadi pindah ke sini,” tutur Edi.
Mendorong beban kuintalan tak menjamin pendapatan pedagang air bersih melimpah.
Pasalnya, satu jeriken berukuran 20 liter, hanya dijual seharga Rp 2.500 – Rp 3.000.
Semakin jauh lokasi pengantarannya maka harganya juga semakin mahal.
Biasanya, jika hanya di sekitar Muara Angke, Edi menjual air bersihnya seharga Rp 5.000 per pikul atau dua jeriken.
Sementara jika di kawasan Muara Karang maka harga air bersihnya dihargai Rp 6.000 per pikul mengingat jarak yang harus ditempuhnya lebih jauh.
“Tergantung lokasinya jauh dan dekatnya. Makanya kan di sini ada yang protes kok air mahal banget saya bilang ini kan pakai tenaga diantarnya, lama-lama mereka mengerti,” tutur Edi.
Dalam satu hari ia hanya bisa mengantar tiga kali air bersih dengan gerobaknya karena tenaganya yang tak lagi sekuat dulu.
Pendapatan Edi dalam sehari hanya sekitar Rp 100.000.
Uang itu ia gunakan untuk makan, membayar kontrakan, dan mengirim keluarganya di kampung halaman.
Di tengah pendapatannya yang pas-pasan, kondisi tubuh Edi kini tak senormal dulu karena pernah mengalami kecelakaan ketika sedang berdagang air bersih keliling.
“Saya pernah kecelakaan ditabrak sama orang mabuk ada sekitar dua tahun lalu. Saya lagi dorong air, cuma namanya dia orang mabuk ya, dia naik motor PCX saya sampai mental ke jalanan,” ujar Edi.
Setelah kejadian, Edi disarankan polisi untuk membuat laporan secara resmi.
Namun, ia memilih untuk berdamai karena istri pelaku berjanji bertanggung jawab.
Namun ternyata, setelah dibebaskan, pelaku dan istrinya sama sekali tidak bertanggung jawab dan justru memberikan alamat palsu kepada Edi.
Imbas kecelakaan itu, kaki kanan dan kirinya retak dan kondisinya kini semakin parah karena pengapuran.
Dengan telapak kaki yang diperban, Edi tetap berkeliling menjajakan dagangan air bersihnya ke warga dan pedagang.
“Kaki saya retak kanan kiri, namanya usia jadinya pengapuran. Makanya terpaksa saya juga dagang,” ujar Edi.
Meski pendapatannya tak seberapa, Edi berharap pekerjaannya sebagai pedagang air bersih di Muara Angke bisa bertahan.
Selain itu, ia juga berharap bisa mendapatkan
bantuan pemerintah
.
“Harapannya kalau bisa ngasih bantuan yang tepat, didata yang benar. Saya KTP-nya Tasik tapi di sana mah enggak pernah dapat juga,” ujar dia.
Pedagang air lain bernama Sudirto (56) juga berharap bisa merasakan bantuan sosial dari pemerintah.
“Pengin sih dapat bantuan, di kampung juga enggak pernah dapat bantuan, orang tetanggaan sederet cuma saya aja yang enggak dikasih,” ucap ia.
Sudirto bilang, bantuan sosial dari pemerintah sangat diharapkan pedagang air bersih di Muara Angke yang memiliki pendapatan pas-pasan.
Pakar Lingkungan dari Universitas Indonesia Mahawan Karuniasa menilai, keberadaan pedagang air di Muara Angke tetap dibutuhkan masyarakat meski harganya lebih mahal.
Jadi, keberadaannya tidak harus dihilangkan meski pemerintah tengah melakukan berbagai upaya agar masyarakat di Muara Angke bisa mendapatkan akses air bersih secara keseluruhan.
“Saya kira kita tidak perlu melarang saudara kita yang mengais rezeki dengan berdagang air, karena ada peluang pasarnya,” ujar Mahawan.
Namun, yang perlu dilakukan pemerintah adalah memastikan
kualitas air
yang dijual para pedagang benar-benar baik dan tidak merupakan air tanah di sekitar Muara Angke yang sudah tercemar dan tidak layak dikonsumsi secara langsung.
Jika air yang dikonsumsi warga merupakan air tanah dari Muara Angke maka berpotensi mendatangkan masalah kesehatan, seperti pencernaan, penyakit kulit, stunting, hingga gangguan reproduksi.
Warga diminta pindah ke PAM Ketua Subkelompok Pengendalian dan Penyediaan Air Bersih-Bidang Geologi, Konservasi Air Baku dan Penyediaan Air Bersih, Dinas Sumber Daya Air Provinsi DKI Jakarta, Maman Supratman menyarankan agar warga Muara Angke bisa segera beralih ke air PAM.
“PAM Jaya sudah mulai masuk ke daerah utara karena sumbernya juga sudah banyak dari Jatiluhur pipa juga sudah siap, diharapkannya masyarakat bisa sangat mendukung rencana pemerintah untuk menyediakan air bersih yang siap dipakai,” ucap Maman.
Namun, dari 1.700 rumah yang berpotensi melakukan penyambungan air perpipaan dari PAM Jaya, baru sekitar 200 yang mendaftar.
Oleh karena itu, Dinas SDA akan terus melakukan kampanye agar warga segera beralih ke PAM.
Sebab, kualitas air dari PAM Jaya rutin diperiksa oleh Dinas SDA, sehingga kualitasnya sudah sesuai dengan baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah.
“Masyarakat bisa mendapatkan harga yang lebih murah dan berkualitas baik, daripada air jeriken yang enggak jelas kualitasnya,” ucap Maman.
Selain itu, Maman juga mengimbau agar warga di Muara Angke bisa mengurangi penggunaan air tanah yang membuat intrusi air laut semakin parah.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Perjuangan Pedagang Air Bersih Muara Angke, Usia Tak Muda, Keringat, Jeriken Megapolitan 2 Desember 2025
/data/photo/2025/12/01/692d4ecddc3cb.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/11/28/692996b0e34c8.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/06/24/685a6fb8bf3cb.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/06/6933d218396ce.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/06/6933b0d037df8.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2023/08/28/64ec7c8b95ce2.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/05/693230daa69eb.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/06/6933b85c67abd.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)