Menelusuri Gemuruh Hidup Warga Kampung Pinangsia yang Tinggal di Bawah Rel Kereta
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Gemuruh roda besi KRL yang melintas dari Stasiun Kampung Bandan menuju Stasiun Duri terdengar nyaris tanpa jeda sepanjang siang di Kampung Pinangsia.
Suara metalik itu memantul di dinding seng dan kayu rumah-rumah semi permanen, bergema hingga masuk ke gang-gang gelap tempat warga beraktivitas setiap hari.
Permukiman ini berada tepat di garis batas Jakarta Barat dan Jakarta Utara, dengan jalur rel aktif menjadi pemisah alami antara kedua wilayah tersebut.
Di sisi selatan terdapat Kelurahan Pinangsia, Kecamatan Tamansari, Jakarta Barat. Sementara di seberangnya, hanya terpaut beberapa jalur rel, terlihat hunian padat Kampung Tongkol, Kelurahan Ancol, Pademangan, Jakarta Utara.
Walau berada di wilayah administrasi berbeda, kedua kampung ini sehari-hari berdampingan menghadapi situasi yang sama: rumah menempel rel, ruang hidup sempit, serta dinamika kepadatan yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Dari sini, gang-gang sempit mulai tampak. Beberapa hanya cukup dilewati satu motor, bahkan sebagian lebih kecil dari itu.
Di beberapa titik, terlihat lorong selebar kurang dari satu meter, dipenuhi jemuran pakaian, kabel listrik kusut, dan dinding kayu serta triplek yang menutup rapat rumah-rumah bedeng.
Hanya sedikit cahaya matahari yang bisa masuk karena bagian atas gang tertutup oleh bangunan semi permanen dan terpal.
Kondisi tersebut membuat udara terasa lembap, bercampur bau gorengan, uap masakan, dan sesekali aroma minyak bekas dari bengkel kecil di pojok gang.
Di tengah lorong, seorang perempuan paruh baya tampak melintas sambil membawa bungkusan plastik.
Tak jauh darinya, sebuah motor dan gerobak tertutup kain terpal oranye diparkir sangat dekat dengan pintu rumah warga, menunjukkan betapa terbatasnya ruang untuk aktivitas harian.
“Ini sudah agak lega dibanding sebelum penggusuran di bawah kolong tol,” kata Putri (24), salah satu warga, saat ditemui
Kompas.com
, Senin (1/12/2025).
Kawasan yang membentang sekitar 260 meter ini memiliki dua lapisan hunian. Di bagian atas, tepat di bibir rel, berdiri rumah-rumah semi permanen dengan dinding seng, kayu, triplek, dan terpal warna-warni.
Sebagian rumah hanya berjarak kurang dari satu meter dari besi rel, tempat rangkaian kereta melintas setiap beberapa menit sekali. Meski tidak semua wilayah berada di bawah jalur rel, hanya satu titik di area Jalan Cengkeh menuju Jalan Pasar Pisang.
Di bawahnya, terbentang permukiman yang lebih gelap. Gangnya berupa lorong-lorong sempit dengan lantai tanah dan dinding papan.
Ruang di sini bukan hanya tempat tinggal, tetapi dapur, tempat mandi, hingga area bermain anak.
Saat
Kompas.com
mencoba menyusuri bagian atas dan samping rel, hunian-hunian itu tampak menempel langsung ke bentangan besi.
Beberapa rumah hanya disekat selembar seng dari kabel listrik dan tiang rel. Jarak antara pintu rumah dengan roda kereta kadang tidak lebih dari dua langkah kaki.
Ketika kereta melintas, getaran terasa merayap lewat tanah dan dinding. Jemuran bergoyang, seng tipis bergetar, debu tanah terangkat.
Selama hampir satu jam pengamatan, kereta melintas berkali-kali. Gemuruh logam beradu rel itu menjadi latar suara yang tak pernah hilang, suara yang bagi sebagian orang mungkin memekakkan, tetapi bagi warga Pinangsia telah menjadi nyanyian yang menemani hari-hari.
Nopi (32), warga lama RT 07 RW 01, menyambut
Kompas.com
di lorong kecil dekat rumahnya. Ia tinggal di Pinangsia sejak 2008.
Selama 17 tahun, ia menyaksikan bagaimana kampung yang dahulu “masih longgar” kini berubah menjadi hunian sangat padat.
“Waktu pertama saya datang, lapak pedagang belum serapat ini. Lalu setelah ada pembongkaran di kolong tol beberapa tahun lalu, banyak orang pindah ke sini,” ujarnya.
“Sekarang satu lorong bisa diisi beberapa keluarga. RT 07 RW 01 itu sekitar 200 KK, hitungan kasar dari data kartu keluarga yang aktif,” lanjut Novi.
Menurut dia, pertambahan jumlah warga bukan hanya dari warga lama yang beranak pinak, tetapi juga dari pendatang yang membutuhkan tempat tinggal dekat pusat ekonomi seperti Pasar Asemka, Kota Tua, dan sejumlah sentra niaga lainnya.
Tinggal di area dekat rel juga mempengaruhi ritme kehidupan sehari-hari. Getaran dan suara kereta menjadi hal yang tak bisa dihindari.
“Kereta lewat tiap beberapa menit. Bunyi dan getarannya sudah biasa. Kadang anak kecil kaget, jemuran bergoyang, panci di dapur bunyi,” kata Nopi.
Ia bekerja serabutan sebagai pengangkut barang dan pembantu bongkar muat.
“Kalau malam tidur juga mesti hati-hati. Sudah terbiasa, tapi tetap ada rasa khawatir, apalagi kalau ada anak kecil main dekat rel,” ujar Nopi.
Di dekat sebuah jembatan kecil di bawah rel, Umi (47) tengah menggoreng pisang. Asap dari wajan panas membumbung, bercampur suara gemuruh kereta yang baru saja lewat.
Umi sudah 15 tahun berjualan gorengan di titik itu, sebuah area teduh di bawah konstruksi rel yang dianggapnya cukup strategis karena dilalui karyawan, pelajar, dan pengendara ojek.
“Kalau dagangan laku, keluarga makan enak. Lokasi ini ramai, tapi juga rentan,” ujarnya.
Ketika hujan, air kerap merembes dari atap seng bangunan di sekitarnya. Genangan bisa muncul tiba-tiba di bawah kakinya. Saat kereta melintas, getarannya cukup kuat hingga menggeser panci panas.
“Pernah asap dari gerbong masuk gang, bau minyak sama debu. Jadi saya pasang terpal ekstra dan tutup makanan lebih rapat kalau kereta lagi sering lewat,” katanya.
Kampung Pinangsia
bukan fenomena tunggal. Sejumlah permukiman di Jakarta tumbuh mengikuti ruang-ruang “sisa” bantaran kali, kolong tol, hingga jalur rel yang secara hukum tidak boleh dihuni.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan ruang-ruang tersebut menjadi pilihan banyak keluarga berpenghasilan rendah. Selain dekat dengan pusat ekonomi, biaya hidup di sini jauh lebih murah dibanding rusun atau rumah kontrakan resmi.
Di sisi lain, keberadaan permukiman ini kerap berhadapan dengan kebutuhan teknis operasional perkeretaapian.
Yayat mengatakan, penanganan permukiman di sepanjang rel aktif seharusnya tidak hanya mengandalkan satu pihak.
“Ini harusnya kerja sama antara PT KAI dengan Pemprov DKI,” katanya.
Ia mengingat kembali masa ketika Menteri Perhubungan Ignasius Jonan melakukan penertiban besar-besaran di sekitar rel kereta, di mana PT KAI memiliki mandat kuat untuk menata kawasan demi keselamatan.
Namun, persoalan sering muncul di dua titik, status tanah dan pemanfaatan lahan pascapenertiban.
“Kalau ditertibkan, tanah itu mau dipakai apa? Dibuat taman, dipagar besi, atau difungsikan untuk fasilitas yang tidak mudah dijamah lagi? Kalau tidak ada pemanfaatan yang jelas, lahan itu bisa kembali diisi warga,” ujar Yayat.
Selain itu, masalah status tanah juga krusial.
“Kalau tanah itu milik seseorang atau lembaga pemerintah, harus ada ganti rugi. Kalau tanah negara, harus jelas siapa pemilik administrasinya dan apa rencananya,” jelasnya.
Dalam konteks Jakarta kini, Yayat melihat pemerintah pusat dan daerah cenderung berhati-hati.
“Kalau penertiban dilakukan, harus sudah ada rencana B: dipindahkan ke mana. Ada uang kerohiman atau tidak, ada ganti rugi atau tidak?,” tutur dia.
Menurut Yayat, penertiban tidak sesederhana membongkar bangunan.
“Ada aspek sosial ekonomi yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Penganggaran juga jadi masalah besar. PT KAI sedang mengalami tekanan finansial, DKI juga mengalami pengurangan anggaran,” kata Yayat.
“Selama aspek keuangannya belum jelas, sulit untuk melakukan penertiban menyeluruh,” lanjutnya.
Warga yang tinggal di pinggir rel itu hidup di antara dua sisi, risiko keselamatan dari rel aktif dan risiko kehilangan rumah dari potensi penertiban.
Sebagian warga sudah berkali-kali mendengar kabar relokasi, tetapi tidak pernah tahu kapan waktunya.
“Kalau digusur, kami harus ke mana, rusun mahal. Kontrakan jauh dari tempat kerja,” kata Umi.
Ketidakpastian ini membuat warga memilih bertahan menempuh risiko sehari-hari yang sudah mereka pahami, alih-alih menghadapi ketidakpastian baru di tempat yang belum tentu terjangkau.
Sampai kini, belum ada kepastian mengenai rencana penataan kawasan rel antara Pinangsia dan Ancol. Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) masih akan memberikan pernyataan lebih lanjut dalam beberapa waktu ke depan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Menelusuri Gemuruh Hidup Warga Kampung Pinangsia yang Tinggal di Bawah Rel Kereta Megapolitan 2 Desember 2025
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5434629/original/032299200_1764936701-Banner_Infografis_Diskon_H.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/09/22/68d0a216335a9.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)


/data/photo/2025/09/25/68d4dc0dd0442.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)

/data/photo/2017/12/20/1716285305.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2023/11/08/654b347a94825.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/05/693239b871628.jfif?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2021/12/05/61acdd2a73645.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/11/02/690767c45d7f1.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/03/28/67e5f5cd725f8.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)