Topeng Monyet Tetap Eksis di Jakarta karena Identitas Sosial yang Turun-Temurun
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com —
Di tengah gelombang hiburan digital yang kian mendominasi kota besar, tradisi
topeng monyet
tetap bertahan sebagai salah satu bentuk hiburan jalanan.
Lebih dari itu, atraksi ini menyimpan
identitas sosial
yang diwariskan turun-temurun, terutama bagi para pawang yang menggantungkan hidup pada profesi tersebut.
Menurut sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Rakhmat Hidayat, meski jumlah pengamen topeng monyet kini makin jarang, profesi tersebut tetap eksis karena memiliki akar identitas dan jejaring sosial yang kuat.
“Ada unsur sosial dan identitas profesi yang sudah melekat serta diwariskan turun-temurun sejak awal kemunculannya,” ujar Rakhmat kepada
Kompas.com,
Jumat (28/11/2025).
“Namun, lemahnya pengawasan dan keberadaan jaringan monyet yang tersebar membuat praktik ini tetap eksis,” lanjutnya.
Tradisi topeng monyet mulai populer di Jakarta pada awal 1990-an. Saat itu, hiburan digital belum berkembang, sehingga atraksi jalanan seperti ini menjadi tontonan favorit anak-anak di permukiman kota.
“Fenomena pengamen topeng monyet ini termasuk generasi awal jika dibandingkan dengan pengamen lain seperti badut, manusia silver, dan ondel-ondel,” ujar Rakhmat.
“Awalnya, topeng monyet hadir sebagai hiburan. Monyet dianggap lucu karena bisa mengikuti perintah dari pawangnya,” katanya.
Meski menghibur, atraksi ini kerap menimbulkan kekhawatiran karena beberapa monyet dilaporkan menggigit atau mengejar anak-anak.
Pada masa itu, banyak pawang berkeliling secara berkelompok menggunakan alat musik sederhana. Topeng monyet pun menjadi sumber pendapatan utama bagi mereka.
Memasuki tahun 2000-an, keberadaan topeng monyet meredup akibat persaingan hiburan jalanan baru serta kritik aktivis lingkungan terkait
eksploitasi satwa
.
Meski sempat ditertibkan pemerintah, praktik ini muncul kembali setelah 2010 karena jejaring pawang yang saling terhubung.
“Pemerintah seharusnya membatasi penggunaan hewan karena ada aspek eksploitasi. Perlu pendekatan humanis dan edukasi kepada para pawang, bukan represif,” jelas Rakhmat.
Ia menambahkan, masyarakat masih memandang atraksi ini sebagai hiburan lucu, padahal terdapat risiko kesejahteraan hewan dan keselamatan publik.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian (KPKP) DKI Jakarta, Hasudungan Sidabalok, menegaskan bahwa pengawasan terhadap penggunaan satwa primata untuk atraksi jalanan tetap berjalan.
“Pengawasan bersifat kesehatan dan kesejahteraan hewan, diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012, Perda Nomor 11 Tahun 1995, serta Pergub Nomor 199 Tahun 2016 tentang pengendalian Hewan Penular Rabies,” jelas Hasudungan.
Ia menyebut tren atraksi topeng monyet sudah menurun drastis, namun masih ada jaringan penyewaan monyet yang berpindah-pindah.
Operasi penertiban melibatkan Dinas Pertamanan dan Hutan Kota, Satpol PP, dan BKSDA. Setelah diamankan, hewan akan menjalani pemeriksaan medis dan rehabilitasi dengan dukungan lembaga konservasi.
Mantan pawang juga mendapat pendampingan untuk alih profesi. Namun, tantangan terbesar justru terletak pada mobilitas pengamen dan persepsi masyarakat.
“Tantangan terbesar adalah mobilitas pengamen, jaringan penyewaan, dan persepsi masyarakat yang masih menganggap hiburan ini lucu dan murah. Itu secara tidak langsung melanggengkan praktik ini,” ujarnya.
Meski menghadapi larangan dan penghasilan yang tak menentu, sejumlah pawang tetap bertahan karena menganggap profesi ini bagian dari identitas keluarga.
Deni (43), pawang asal Cirebon, menuturkan topeng monyet adalah pekerjaan turun-temurun, bukan sekadar mencari uang.
“Ini pekerjaan turun-temurun. Dari kecil saya lihat orang tua, tetangga, atau kerabat main topeng monyet. Jadi ini bukan sekadar kerjaan, tapi bagian dari hidup kita,” katanya saat ditemui di Matraman, Jakarta Timur.
Deni duduk bersandar di pagar rumah sambil memainkan drum bekas tabung gas. Dentuman ritmis itu menjadi pengiring gerak monyet kecil berbaju biru dan bertopi putih. Di sampingnya, ponakannya Raffi (18) mengendalikan tali yang mengatur gerak monyet.
“Saya yang bunyikan musik, ini ponakan yang jaga tali monyet,” ujar Deni.
Selama lebih dari 25 tahun menekuni profesi ini, penghasilannya rata-rata hanya Rp 50.000 per hari. Itu pun tidak selalu cukup untuk kebutuhan hidup.
“Kadang susah nyari Rp 50.000. Sudah banyak yang melarang, dan warga jarang memberi uang,” ungkapnya.
Monyet yang digunakan hewan sewaan dari kampung, dengan biaya Rp 700.000 per bulan. Deni juga mengaku beberapa kali ditangkap Satpol PP dan monyetnya disita.
“Orang lihatnya senang, tapi enggak tahu dukanya. Penghasilan kecil,” katanya.
Ia tinggal di kontrakan kecil di Tanah Tinggi bersama keluarga besar dengan biaya sewa Rp 350.000 per bulan yang dibayar patungan. Tawaran pekerjaan lain kerap ditolak karena syarat administrasi yang dianggap rumit.
Hidup di antara kontrakan yang sempit dan rutinitas keliling Jakarta setiap hari, ia tetap bertahan karena ini pekerjaan yang sudah diwariskan dan sulit digantikan.
Tradisi ini, menurut sosiolog, mencerminkan dinamika sosial masyarakat kota dan peran hiburan rakyat dalam membentuk identitas lokal.
Di Jakarta, pengamen topeng monyet kini jarang ditemui. Lampu merah yang dulu menjadi tempat mereka tampil kini lebih sering diisi pengamen musik atau seniman jalanan lain.
“Sudah mulai langka kalau saya lihat ya. Jarang sekali malah, kalau pun ada pasti engga selalu setiap hari,” kata Mustho (40), warga Matraman.
Meski begitu, atraksi ini masih menarik perhatian anak-anak. Seorang bocah tampak terpaku melihat monyet mengendarai miniatur motor mengikuti irama drum yang dimainkan Deni. Matanya terpaku pada monyet yang menaiki miniatur motor sambil mengikuti ritme dentuman drum.
Raffi memberi aba-aba melalui tarikan tali, mengatur gerak sang monyet. Sementara itu, Deni terus memainkan irama, mencoba menarik perhatian warga agar berhenti dan menonton.
Rakhmat menekankan pentingnya edukasi dan pendekatan dialogis dalam menangani fenomena ini. Menurut dia, banyak pawang yang selama ini tidak terdata dan bekerja secara liar.
Pendataan melalui aparat setempat serta pembinaan bersama aktivis hewan dinilai penting untuk mencegah risiko keselamatan dan kesejahteraan satwa.
Kepala Dinas KPKP Hasudungan menambahkan, masyarakat perlu memahami sisi eksploitasi satwa dalam atraksi ini.
“Persepsi masyarakat masih melihat topeng monyet sebagai hiburan murah. Padahal ada pelanggaran kesejahteraan hewan yang rentan terjadi,” ujarnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Topeng Monyet Tetap Eksis di Jakarta karena Identitas Sosial yang Turun-Temurun Megapolitan 1 Desember 2025
/data/photo/2025/12/06/69342da64f7be.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/06/69341f9033588.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/06/69340c90d8e99.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/08/09/6896da5e4748b.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/06/69340d46b04da.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)