Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Kisah Jahri Menyambung Hidup di Bantaran Ciliwung, Bertani di Tanah Bukan Miliknya Megapolitan 1 Desember 2025

Kisah Jahri Menyambung Hidup di Bantaran Ciliwung, Bertani di Tanah Bukan Miliknya
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Suasana bantaran Sungai Ciliwung di Banjir Kanal Barat, Tanah Abang, Jakarta Pusat tidak pernah benar-benar sunyi.
Di tengah riuh kota, hamparan kebun yang tak terlalu luas tampak seperti irisan kecil pedesaan yang tersesat di metropolitan.
Gubuk-gubuk kecil, rumput liar menandai batas-batas tanah yang belum sempat diolah, dan di kejauhan terdengar deru kendaraan yang tidak pernah benar-benar berhenti.
Di antara kontras itu, berdirilah seorang lelaki yang memegang cangkulnya seperti sebuah bagian tubuh yang tidak pernah terpisah darinya.
Setiap ayunan cangkulnya terasa seperti dialog diam dengan kota yang terus bergerak cepat, sementara ia tetap berada di satu titik—menggantungkan harapan pada tanah yang bukan miliknya.
Lelaki itu adalah
Jahri
(63), lelaki dengan tubuh tinggi dan kurus, yang oleh warga dijuluki Pak Jangkung.
Sudah lebih dari dua dekade ia bergantung hidup pada lahan di bantaran Ciliwung itu. Lahan milik negara.
Namun di tempat itulah ia menanam nafkah, harapan, serta alasan untuk terus bertahan di Jakarta.
Bertani di bantaran sungai bukan hal baru bagi warga sekitar. Namun, kondisi lahan yang dulu kumuh membuat banyak orang enggan mengolahnya.
Jahri mengingat masa ketika pemerintah membuat program pemberdayaan lingkungan sekitar awal 2000-an.
Saat itu, lahan kosong di pinggir kali dikelompokkan dan diawasi oleh orang yang disebutnya ketua kelompok, lalu dibagikan untuk digarap warga.
Program tersebut menyediakan pupuk, bibit, dan modal usaha bagi masyarakat yang ingin bertani di tanah pemerintah.
“Dulu di sini ada ketua kelompok dikasih bibit sama kelurahan,” kata Jahri kepada Kompas.com, Jumat (28/11/2025).
Bibit dan pupuk datang. Bahkan alat penyiram, termasuk genset, tersedia bagi kelompok.
Warga berlomba menanam kangkung, bayam, dan aneka sayuran dalam sistem yang teratur.
Namun, program itu perlahan padam. Satu per satu orang berhenti menggarap lahan. Lahan-lahan kembali menjadi rumput liar.
“Kalau nggak salah ada kurang lebih 10 orang dah. Ada yang nanam kangkung, nanam apa aja sayur-mayur, cuma sekarang jadi orang yang pada males,” ujarnya mengenang.
Setelah kelompok bubar, tak ada lagi koordinasi.
Tak ada lagi pupuk gratis dan alat bantu dari pemerintah. Yang tersisa hanya lahan kosong dan Jahri yang mencoba bertahan.
Ia kembali menggarap lahan sendirian dan membeli bibit sendiri.
Lahan yang digarap Jahri milik Dinas Sumber Daya Alam (SDA) DKI Jakarta.
“Ini lahan sebenarnya punya pemerintah. Kalau punya saya, mah, saya jual lah. Tapi karena punya pemerintah, boleh digarap. Yang penting dipandangnya rapi,” ujarnya.
Ia mengerti bahwa ia tidak memiliki hak penuh atas tanah itu. Terpenting warga menggarap lahan dengan rapi.
“Yang penting saya di sini numpang, tapi dipandang rapi,” kata dia.
Ia tidak membangun rumah permanen dan membuat pagar.
Ia hanya membuat gubuk kecil tempat menyimpan alat dan meneduh saat istirahat.
Ia tahu, kapan pun pemerintah bisa datang dan meminta semua itu dikosongkan.
Namun selama bertahun-tahun, ia tidak pernah diminta pergi.
Bahkan, ia merasa keberadaannya justru membantu lingkungan.
“Orang lingkungan (SDA) juga senang kalau digarap, lebih rapi,” katanya.
Lahan yang ia kelola mencapai hampir satu hektar, terbagi dalam beberapa petakan.
Tanaman yang ia garap tidak jauh berbeda dari petani pinggiran kota lainnya yakni kangkung, bayam, kemangi, kenikir, dan beberapa pohon pisang.
Kangkung dan bayam ia panen setiap 25 hari. Kemangi dan kenikir sebulan sekali.
Sistem ini sudah ia jalani bertahun-tahun sehingga terasa seperti ritme hidup yang tak terpisah dari kalendernya.
Namun, tantangan terbesar bukanlah tenaga atau modal—melainkan risiko banjir.
“Tahun kemarin, kemangi dua belas petak kena lumpur semua. Baru dapat Rp 200 ribu, itu pun buat bibit lagi,” ujarnya pelan.
Ketika banjir besar datang, air menyapu seluruh petakan lahan. Tanah kembali menjadi lumpur pekat.
Rumput liar tumbuh cepat. Proses pemulihan membutuhkan waktu panjang dan biaya tidak sedikit.
Jahri menyebut lahan itu seperti “tanah lumpur dari kali” yang subur tetapi rapuh.
Sekali banjir lewat, seluruh papan kehidupan bisa runtuh.
Meskipun begitu, ia tetap bekerja setiap hari, memacul, mengikat, dan menyiram.
Menyenderkan punggung sejenak. Lalu kembali mengayun cangkul hingga petang. Kadang ia bekerja sampai malam, jika bulan terang.
Hasil panen dijual langsung ke berbagai pasar tradisional seperti Pasar Jati, Pasar Gili, Pintu Air, dan Impres.
Setiap kali menjual, ia membawa 200 ikat kangkung, 80 ikat bayam, 300 ikat kemangi, dan 40 ikat kenikir dengan harga Rp 2.000 per ikat.
Dalam sekali panen pula, Jahri bisa mendapatkan penghasilan hingga Rp 7-8 juta jika semua petak lahan ditanami.
Dari hasil itu ia masih harus membaginya untuk kebutuhan modal yang mencapai Rp 1,5 juta untuk pupuk, bibit, dan operasional.
Sementara pengeluaran hariannya mencapai Rp 150.000 untuk makan, kopi, dan kebutuhan sehari-hari.
Sebagian lagi habis untuk pupuk, bensin diesel, dan alat-alat kecil. Jika gagal panen, modal hilang.
“Ngebon itu kayak dagang. Kalau ada hasil ya ada,” tuturnya.
Perusakan, dan Kerentanan Hidup di Pinggir
Sungai Bantaran sungai tidak pernah steril dari gangguan. Ada preman dan tangan-tangan iseng.
Ada orang yang menebang pohon diam-diam saat malam.
“Ada yang nebang malam-malam. Ya sudah, diikhlasin,” katanya.
Ia pernah didatangi beberapa preman. Namun ia memilih melawan dengan cara yang ia sebut sebagai “kebenaran”.
Kerentanan itu bukan sesuatu yang ia takuti, melainkan ia anggap sebagai bagian dari risiko hidup di lahan yang tidak bisa ia klaim sebagai milik pribadi.
“Namanya hidup pinggir kali,” ujarnya.
Ia tidak ingin memperumit situasi. Jika digusur, ia pasrah. Jika dikeruk alat berat, ia mulai lagi.
Ia hanya berharap ada sedikit pengertian dari pemerintah jika mereka suatu hari ingin mengatur ulang lahan itu.
Sebelum bertani, Jahri pernah bekerja sebagai kuli bangunan.
Ia merantau dari Jawa, mengikuti teman, lalu bekerja serabutan.
Ketika ada yang mengajaknya menanam kangkung untuk pertama kali, ia mencoba ternyata berhasil. Dari situ ia belajar bertani.
Rumah warisan orang tuanya di Cirebon masih ada. Namun ia tidak ingin kembali ke kampung.
“Namanya udah telanjur kerja di sini. Di kampung enak, tapi enggak betah,” katanya sambil tertawa kecil.
Kawasan bantaran kali tempat Jahri menggarap lahan beberapa kali masuk agenda pembersihan.
Ia menyebut bahwa pernah ada rencana pengerukan kali.
“Di sini katanya mau diaruk lagi, diratain. Katanya ada kegiatan. Semua sudah dikontrol wali kota,” ujarnya.
Jika itu terjadi, kebun yang ia rawat selama puluhan tahun bisa hilang dalam sehari.
Namun ia tidak mengeluh. Baginya, itu risiko paling wajar bagi orang yang menggarap tanah milik negara.
Ia hanya berharap jika ada pembenahan, pemerintah bisa tetap mempertimbangkan ruang bagi warga untuk tetap berkebun.
Meski kecil, kebun itu menjadi ruang hijau, sumber pangan, dan cara hidup bagi warga seperti dirinya.
“Ya kalau ada bantuan dana dari pemerintah, alhamdulillah,” ucapnya.
Menurut Pengamat tata kota, Yayat Supriatna, salah satu keunggulan
urban farming
adalah fleksibilitasnya.
Lahan yang tersisa di perkotaan bisa dimanfaatkan untuk menanam tanaman hias, pangan, atau buah-buahan.
Bahkan di lahan sempit sekalipun, sistem urban farming tetap bisa dijalankan dengan memaksimalkan ruang yang ada.
“Artinya memaksimalkan penggunaan tanah-tanah untuk dijadikan nilai manfaat. Jadi urban farming ya kalau di lahan itu lahan tersisa daripada nganggur ya mendingan dipakai,” ujar Yayat.
Menurut Yayat, urban farming tidak sekadar soal menanam tanaman.
Hal semacam ini bisa menjadi sarana membangun kepedulian masyarakat terhadap lingkungan dan kota.
“Urban farming itu bisa menjadi solusi untuk membangun kepedulian kepada kota,” ujarnya.
Ia juga menilai bahwa urban farming merupakan inisiatif positif di kota-kota yang padat saat ruang terbuka semakin berkurang.
“Krisis lahan pertanian, konsep urban farming juga bagian dari skenario bagaimana kota mencukupi pangan dan bagian dari strategi untuk mempertahankan koridor hijau kota,” ujar Yayat.
Kebun urban farming yang dikelola Jahri di lahan sempit dekat rel kereta api kini menjadi oase hijau di tengah kepadatan pemukiman.
Selain menambah estetika kawasan, kebun yang menanam sayuran seperti kangkung dan kemangi ini juga menjadi sumber tambahan bahan pangan bagi tetangga sekitar.
Kehadiran kebun ini menciptakan interaksi sosial yang lebih hangat antarwarga, karena hasil panen dibagikan dan dimanfaatkan bersama.
Herman (52), salah seorang tetangga, mengungkapkan awalnya, merasa heran melihat warga menanam di lahan sempit di tengah kota, namun sekarang ia mengakui manfaat yang dirasakan.
“Awalnya heran, lahannya kan sempit, di tengah kota lagi. Iya di samping rel, tapi ternyata subur,” kata Herman.
Manfaat langsung pun dirasakan dalam kehidupan sehari-hari.
“Lumayan, kadang saya minta, ambil kemangi sama kangkung buat masak,” kata dia.
Herman berharap kebun ini dapat terus lestari dan tidak digusur, sehingga warga dapat menikmati manfaatnya dalam jangka panjang.
Sari (55), tetangga lain, juga menaruh perhatian dan apresiasi terhadap keberadaan kebun ini.
Ia mengaku sejak awal memperhatikan warga menanam, dan melihat bagaimana kebun itu berkembang menjadi subur dan produktif.
“Itu mah udah lama mas, udah dari dulu. Pak Jangkung emang rajin dia tiap hari nanam,” kata Sari.
Bagi Sari, kebun ini tak sekadar mempercantik lingkungan, tapi juga memberikan manfaat nyata bagi kehidupan sehari-hari warga sekitar.
“Lumayan, kadang ambil kangkung buat masak. Kadang juga beli terus kan lebih hijau gitu walaupun di pinggir kali, senang saja rasanya,” jelas dia.
Ia pun berharap agar kebun tetap bertahan, sehingga manfaatnya dapat dinikmati semua warga, tidak hanya mereka yang aktif menanam.
“Semoga tetap bisa bertahan. Biar tetap hijau, dan semua warga bisa merasakan manfaatnya, tidak cuma yang nanam saja,” ujarnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.