Jejak Sejarah di Paledang, dari Pos Ronda Era Kolonial Jadi Tempat Pangkas Rambut
Tim Redaksi
BOGOR, KOMPAS.com
– Pada sebuah sudut kecil di Jalan Paledang, Bogor, berdiri sebuah bangunan mungil yang hampir selalu dilewati orang, tetapi jarang diperhatikan.
Ukurannya tak lebih dari bilik kecil. Dindingnya menua dimakan hujan dan matahari.
Bentuknya setengah lengkung, seolah masih mengingat masa ketika penjaga kolonial pernah duduk di dalamnya.
Kini, bangunan itu bukan lagi tempat perintah disampaikan, bukan lagi titik ronda para opas yang berkeliling malam hari.
Ia menjelma menjadi sesuatu yang jauh lebih sederhana, tempat pangkas rambut Rp 10.000 bagi warga yang mencari murah, cepat, dan ramah.
Namun, di balik kesederhanaan itu, bangunan kecil ini menyimpan sejarah panjang tentang kota, penjagaan, dan ingatan warga yang turun-temurun.
Sejarawan Taufik Hassuna menunjukkan potongan peta lama yang warnanya mulai pudar, tetapi garis-garisnya masih jelas memperlihatkan struktur kota Bogor era kolonial.
Menurut dia, lokasi bangunan kecil yang kini menjadi tempat pangkas rambut itu memang selaras dengan jejak infrastruktur pertahanan kecil yang lazim dibangun Belanda di jalur-jalur lalu lintas penting pada masa itu.
“Potongan peta tahun 1920 berdasar data topografi tahun 1919. Wh Wachthuis di ujung jalan Kantor Batu. Wachthuis = Rumah jaga atau pos Jaga,” ujar dia.
Kata
“Wachthuis”
dalam ejaan Belanda berarti rumah jaga, atau pos tempat serdadu dan opas beristirahat ketika menjalankan ronde.
Letaknya di jalur penting. Dekat alun-alun lama, dekat pusat administrasi kolonial, dan tepat di persimpangan strategis yang menghubungkan
Paledang
dengan kawasan permukiman dan perkantoran masa itu.
Bangunan itu tidak megah, justru kecil dan ringkas. Fungsinya memang bukan untuk gagah-gagahan, melainkan menjadi titik aman bagi penjaga yang harus memastikan malam tetap terkendali.
“Gardu Jaga Oppasser (Opas Jaga) Paledang. Konon kata orangtua dulu, setiap malam petugas Opas jaga (biasanya pribumi) berkeliling ronda menggunakan sepeda,” kata dia.
Pos inilah tempat mereka singgah, berteduh dari hujan, atau menuliskan laporan.
“Pos ini menjadi tempat
ngaso.
Yang saya ingat ada beberapa gardu jaga diantaranya di ujung jalan Merdeka,” ujar dia.
Dalam ingatan warga yang puluhan tahun tinggal di Paledang, bangunan itu memang bukan sekadar bangunan tua. Ia adalah saksi waktu yang berubah seiring kota bergerak.
Iman (54), warga yang tinggal tak jauh darinya lokasi, menegaskan kembali cerita turun-temurun itu.
“Dari dulu mah orang sini nyebutnya pos Belanda, soalnya kata orangtua saya, zaman-zaman dulu tentara Belanda suka nongkrong di situ,” tutur dia.
Ia menunjuk bentuk bangunan yang kotak, kecil, dan setengah lengkung.
“Bangunannya kan kecil, kotak gitu, melengkung. Model begini biasanya buat jaga jalan,” imbuh Iman.
Namun, sebelum dimanfaatkan kembali, bangunan kecil itu sempat berada dalam kondisi terbengkalai dan tak terurus.
“Sebelum dijadiin tempat cukur, waduh… itu bangunan mah terbengkalai ya. Suka dipake nongkrong, terus kadang juga ada orang luar, yang enggak punya tempat,” ujar Iman.
“Pernah juga jadi tempat nyimpen rongsokan, ada yang naro besi tua sama kayu-kayu bekas. Baru pas si tukang cukur itu masuk jadi agak mending keliatan,” sambung dia.
Ipah (47), warga lain, mengaku tumbuh besar dengan cerita serupa tentang bangunan mungil tersebut.
Baginya, tak ada keraguan bahwa struktur kecil itu merupakan peninggalan masa kolonial.
“Setahu saya, iya, itu tuh bangunan peninggalan Belanda. Dari kecil saya juga sering diceritain sama aki, katanya itu dulu pos penjagaan. Ciri-cirinya juga keliatan. Makanya warga sini pada percaya itu bangunan jaman kolonial,” ujar Ipah.
Ia masih mengingat bagaimana bangunan itu dulu sempat menjadi tempat yang membuat warga waswas karena tidak memiliki fungsi apa pun dan sering digunakan orang tidak dikenal untuk bermalam.
Seiring waktu, kondisinya semakin kusam dan kotor.
“Sebelum ada tukang cukur mah, aduh, itu tempat suka dipake nginep orang-orang yang numpang tidur. Kadang juga jadi tempat naro barang bekas, rongsokan, macem-macem. Nah setelah dipake cukur, jadi lebih hidup lah tempatnya, gak serem,” kata dia.
Bambang (73) menjadikan bangunan kecil itu sebagai ruang mencari rezeki selama dua setengah tahun terakhir.
“Saya buka di sini sudah sekitar dua tahun setengah. Daripada tempat ini nggak digunakan, mending saya manfaatkan. Soalnya sebelumnya di pinggir jalan sini suka dipakai nongkrong saja,” ujarnya saat ditemui.
Dari depan pos kecil tersebut, suasana langsung terasa berbeda.
Teduh oleh barisan pohon besar di sepanjang trotoar, lokasi itu memberi kesan seperti halaman tenang yang terselip di tengah hiruk-pikuk Paledang.
“Saya pakainya sederhana saja. Nunggu pelanggan juga seadanya di depan,” kata Bambang sambil melirik kursi plastik putih yang ia letakkan di sisi kanan bangunan.
Kursi itulah tempat para pelanggan menunggu. Tidak ada antrean panjang seperti
barbershop
kekinian, tidak ada musik, tidak ada pendingin udara.
Hanya angin dari pepohonan dan gemuruh kendaraan yang tak pernah benar-benar padam. Di tengah kesederhanaan itu, justru sebagian orang merasa menemukan kenyamanan.
“Pelanggan saya macam-macam: tukang becak, ojol, sampai anak muda juga ada. Ada yang balik dua kali karena cocok,” ujar dia.
Bangunan itu tampak seperti rumah kecil yang tak pernah tumbuh sempurna, dengan dinding putih kecokelatan, atap seng bergelombang, dan coretan merah yang menandai jejak usil tangan-tangan yang lewat.
Sebelum menempati tempat ini, Bambang hidup sebagai tukang cukur keliling, menggantungkan pendapatannya pada panggilan yang tak menentu.
“Sebelum di sini, saya tukang cukur keliling. Mau bikin tempat baru kan susah, jadi saya pakai yang ada aja,” kata dia.
Pada papan kecil yang tergantung di depan bangunan, tulisan “Pangkas Rambut 10.000” terlihat mencolok.
Di saat tarif pangkas rambut di kota bisa mencapai puluhan ribu rupiah, harga itu terasa seperti napas lega bagi banyak orang.
“Tarif saya Rp 10.000 karena kebanyakan pelanggan di sini masyarakat menengah ke bawah. Orang lagi susah. Itu strategi saya. Bukan cari nama. Yang penting pelanggan merasa terbantu, dapur saya juga tetap ngebul,” ujarnya.
Peralatan cukurnya sederhana. Sebuah kursi hidrolik berdiri di tengah ruangan, sementara gunting, sisir, dan perlengkapan lain ia letakkan di atas meja kecil.
Di dalam bangunan tidak ada listrik, Bambang menggantungkan seluruh pekerjaannya pada cahaya matahari yang masuk dari pintu.
“Di sini masih tradisional pakai gunting. Enggak ada listrik. Tapi ya modern juga, pelanggan biasanya kasih contoh gambar, saya ikutin versi saya,” kata dia.
Menggunakan bangunan tanpa status yang jelas adalah langkah berisiko.
Kapan saja bisa ditertibkan. Kapan saja bisa diminta angkat kaki. Namun, Bambang menjalani semuanya dengan sikap pasrah yang justru tampak menenangkan.
“Soal ditertibkan, saya belum pernah. Saya pakai aja. Kalau suatu saat diusir, ya sudah, saya terima. Orang saya juga enggak tahu hukum bagaimana. Pernah kepikiran urus ke dinas, tapi ribet,” ujar Bambang.
Meski begitu, ia tidak berjalan sendirian. Warga sekitar mendukung keberadaannya.
Bahkan ada yang merasa kehadiran Bambang mengembalikan “fungsi lama” yang sebelumnya hilang dari ingatan banyak orang.
“Warga pertama kali juga mendukung. Katanya dulu memang tempat ini bekas tukang cukur, jadi seperti mengenang masa lalu,” ujar dia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Jejak Sejarah di Paledang, dari Pos Ronda Era Kolonial Jadi Tempat Pangkas Rambut Megapolitan 27 November 2025
/data/photo/2025/12/06/69340c90d8e99.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/08/09/6896da5e4748b.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/06/69340d46b04da.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2013/05/20/1108584-bil--inspeksi-mendadak--780x390.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)