Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Eksistensi Perahu Eretan di Kali Gendong Jakut, Bertahan di Tengah Modernisasi Transportasi Megapolitan 27 November 2025

Eksistensi Perahu Eretan di Kali Gendong Jakut, Bertahan di Tengah Modernisasi Transportasi
Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com –
Di tengah gempuran transportasi modern,
perahu eretan
di Kali Gendong, Cilincing, Jakarta Utara, tetap eksis dan menjadi andalan warga.
Puluhan eretan ini membantu pengendara memotong jalur, menghemat waktu, dan menjadi sarana transportasi vital bagi masyarakat serta pekerja industri sekitar.
Hingga kini, sekitar 30 perahu eretan masih beroperasi di Kali Gendong, dengan jarak antar perahu sekitar 200 meter. Kali ini memiliki lebar sekitar 15 meter dan diapit oleh pemukiman padat serta kawasan industri.
Banyak warga dan pengendara motor memanfaatkan eretan ini untuk menyebrang atau memotong jalan, karena jika memutar melalui jalur biasa, perjalanan bisa bertambah hingga tiga kilometer.
Kondisi jalan di sepanjang kali cukup rusak, belum beraspal, dan dipenuhi bebatuan serta pasir. Saat musim panas, jalan berdebu, sementara saat hujan menjadi licin, membuat eretan menjadi pilihan lebih aman dan nyaman.
Beberapa eretan masih ditarik menggunakan tambang, sementara eretan lain sudah dibangun menyerupai jembatan kayu sehingga pengendara dan pejalan kaki bisa melintas dengan mudah.
Eretan yang menyerupai jembatan lebih ramai digunakan dibanding yang harus ditarik dengan tambang.
Idan (32), pemilik salah satu eretan, menjelaskan, sebagian besar pengguna jasa perahu ingin memotong jalan.
“Masih ada aja orang yang lewat kalau mau cepat, misal dari Cilincing ke Malaka Rorotan, lebih lama lewat Marunda kan, jadi mereka lebih milih lewat sini,” ujar Idan.
Jika melalui jalur biasa, perjalanan dari Cilincing ke Malaka membutuhkan waktu sekitar 30 menit, sedangkan naik eretan hanya 15 menit. Selain itu, eretan juga digunakan untuk rute menuju Jakarta Timur. Kali Gendong berada di perbatasan wilayah Cakung Jakarta Timur dan Cilincing, Jakarta Utara.
“Kadang orang berangkat kerja, pulang kerja, ini kan jalan pintas karena kalau mutar jauh. Orang yang lewat sini biasanya mau ke JGC, AEON, kalau mutar jauh banget, ini jalan pintas,” ucap Moza (35), penjaga eretan lainnya.
Setiap pengendara membayar tarif Rp 2.000 untuk melintas di eretan yang dijaga Moza. Namun, ia tidak memaksa pembayaran, beberapa pengendara hanya membayar Rp 1.000 atau bahkan tidak membayar.
“Ratusan motor setiap hari lewat sini, tapi banyak yang enggak bayar, bilang bakal balik lagi, enggak balik lagi,” tutur Moza.
Beberapa pengendara lain membayar lebih dari tarif resmi. Tarif eretan lain bervariasi antara Rp 1.000–2.000 per penumpang, tergantung pemiliknya.
Puluhan eretan beroperasi 24 jam, karena banyak pekerja pabrik yang membutuhkan jasa eretan untuk menyebrang, termasuk pada malam hari.
Adapun Kali Gendong sendiri diapit oleh pemukiman padat penduduk dan kawasan industri. Banyak pegawai pabrik yang bekerja
shift
malam dan tetap membutuhkan jasa eretan untuk menyebrang Kali Gendong.
Setiap eretan dijaga lebih dari satu orang dan dibagi menjadi dua shift, agar operasional tetap lancar.
“Operasinya 24 jam, kalau saya jaga dari jam 06.00 WIB sampai jam 20.30 WIB. Setelah itu ada orang lain yang jaga,” tutur Moza.
KOMPAS.com/ SHINTA DWI AYU Moza (35) penjaga eretan di Kali Gendong, Cilincing, Jakarta Utara.
Meski menjadi tempat andalan untuk mencari uang warga sekitar, kondisi Kali Gendong tidak selalu aman.
Saat hujan, air Kali Gendong sering meluap sehingga eretan tidak bisa melayani penumpang. Penjaga enggan mengambil risiko menarik penumpang di tengah banjir.
“Tergantung kalau meluap ditutup karena takut ada apa-apa, kita kan saling menjaga,” tutur Moza.
Moza berharap transportasi tradisional ini tetap dipertahankan, karena menjadi mata pencaharian utama untuk menghidupi kedua anaknya.
Adapun Moza merupakan orangtua tunggal yang harus menghidupi kedua anaknya yang masih sekolah.
“Harapannya, biar gini aja lah, ini kan jalan pintas, eretan ini ngebantu saya buat menghidupkan anak yatim, bosnya baik memahami saya, pemerintah biarin lah begini,” ujar Moza.
Pengamat transportasi Djoko Setijowarno menilai, keberadaan eretan mencerminkan kebutuhan warga untuk menyeberangi sungai atau kanal secara cepat.
“Sebenarnya adanya perahu eretan ini kan menunjukan adanya kebutuhan di Jakarta untuk melintas di sungai atau kanal-kanal yang kecil, ketimbang mereka melintas mutar agak butuh waktu lama,” tutur Djoko.
Membuat eretan tentu saja membutuhkan biaya tak sedikit, sehingga wajar jika warga menarik bayaran atau tarif tertentu untuk pemeliharaan dan keberlangsungan perahunya.
Menurut dia, eretan di Kali Gendong dinilai tidak harus dihilangkan, namun bisa dibuat lebih menarik agar tak hanya membantu warga menyebrang. Melainkan dikembangkan menjadi wisata untuk orang-orang luar yang datang ke Cilincing.
 “Eretan tidak harus dihilangkan, tapi bisa dibuat lebih menarik sehingga menjadi daya tarik wisatawan. Namun, harus dibangun sesuai standar keselamatan,” ujar Djoko.
Saat ini, sebagian besar eretan masih ala kadarnya, terbuat dari kayu dan papan dengan terpal sebagai penutup.
Pemerintah dapat menetapkan standar konstruksi yang aman agar eretan tetap berfungsi sebagai transportasi vital sekaligus potensi wisata.
“Pemerintah bisa membuat standart konstruksi eretan,” ujar dia.
Untuk menentukan standar konstruksi eretan yang aman maka pemerintah bisa meminta bantuan ahli di bidangnya. Pasalnya, jika dibangun dengan standar keamanan yang tepat maka eretan bisa terus dipertahankan dan menjadi andalan warga sekitar.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.