Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

MBG yang Tak Sekadar Makan Gratis… Megapolitan 14 Oktober 2025

MBG yang Tak Sekadar Makan Gratis…
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Program makan bergizi gratis (MBG) yang digulirkan pemerintah sejak akhir 2024 di SMP Negeri 61 Jakarta, Palmerah, Jakarta Barat, ternyata lebih dari sekadar makan gratis.
Hampir setahun berjalan, program MBG ini memberikan dampak nyata bagi gizi siswa, meringankan beban ekonomi keluarga, sekaligus menimbulkan tantangan terkait selera dan variasi menu.
MBG menjadi bagian dari kebijakan pemerintahan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka untuk meningkatkan gizi dan menurunkan angka stunting pada anak sekolah.
Di SMPN 61 Jakarta, 666 siswa menjadi penerima program setiap hari, dengan menu berisi karbohidrat, lauk hewani, nabati, sayur, buah, dan susu.
Program ini juga memberi pelajaran penting: anak-anak belajar menghargai makanan dan membawa pulang sisa untuk keluarga.
“Bagi kami, ini bukan sekadar program makan siang. Ini program yang menyambung asa anak-anak yang mungkin di rumahnya tidak selalu bisa makan layak,” ujar Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan, Sukmi Purwaningtias kepada Kompas.com, Senin (13/10/2025).
Meskipun ada beberapa tantangan, MBG tetap membawa manfaat nyata bagi keseharian siswa, baik dari sisi gizi, kesehatan, maupun ekonomi keluarga.
Sejak MBG dijalankan pada 18 November 2024, antusiasme siswa terlihat jelas setiap hari.
Banyak yang datang ke sekolah tanpa sarapan sehingga makanan bergizi di sekolah menjadi sangat penting.
Sukmi Purwaningtias menilai program ini benar-benar membantu memenuhi kebutuhan dasar anak-anak.
“Anak-anak sangat antusias. Banyak di antara mereka yang datang ke sekolah tanpa sarapan. Jadi MBG ini betul-betul membantu,” ujarnya.
Selain itu, siswa kadang kembali ke ruang makan untuk meminta tambahan makanan jika masih lapar.
“Ada yang bilang, ‘Bu, masih ada MBG nggak? Saya masih lapar.’ Kalau masih ada sisa, ya kami kasih, kadang dari jatah guru juga,” tutur Sukmi.
MBG juga mendorong kebiasaan membawa pulang sisa makanan untuk keluarga, sehingga anak-anak belajar mengelola makanan dan tidak selalu bergantung pada program ini.
“Kami ajarkan anak-anak membawa tempat makan supaya bisa bawa pulang kalau tidak habis. Itu juga jadi pelajaran supaya mereka tidak bergantung terus,” tuturnya.
Guru dan pihak sekolah menilai program MBG ini menambah energi siswa untuk mengikuti pelajaran di pagi hari, terutama bagi mereka yang sebelumnya sering lemas atau mengantuk karena belum sarapan.
Guru Informatika SMPN 61 Jakarta, Luluk Ul Badriyah, mengatakan program MBG memberi dampak positif pada kesehatan siswa.
“Sekarang anak-anak kelihatan lebih kuat dan jarang mengeluh sakit perut atau lemas di kelas. Kalau dulu, banyak yang ngantuk karena belum sarapan,” ujarnya.
Beberapa siswa melaporkan peningkatan stamina dan energi, membuat mereka lebih aktif dalam kegiatan sekolah.
Meski begitu, Luluk menilai dampak akademis belum signifikan.
“Untuk pelajaran yang butuh logika seperti coding, belum terlihat peningkatan besar. Tapi dari segi fisik, jelas lebih baik,” ujarnya.
Sukmi menambahkan, program MBG juga membantu mengurangi keluhan sakit ringan atau perut kembung, sehingga absensi lebih stabil.
“Anak-anak lebih kuat, tidak gampang lemas. Bahkan ada yang berat badannya naik setelah rutin makan MBG,” kata Sukmi.
Pihak sekolah menilai kesehatan fisik meningkat, tetapi prestasi akademik baru bisa dievaluasi dalam jangka panjang karena gizi hanyalah salah satu faktor pendukung belajar.
Selain aspek kesehatan, MBG memberikan manfaat ekonomi bagi keluarga siswa.
Siti (39), ibu rumah tangga, mengatakan program ini mengurangi biaya makan anak hingga Rp 300.000 per bulan.
“Biasanya anak saya minta uang jajan buat makan di warteg. Sekarang enggak lagi. Pulang sekolah juga sering bawa makanan. Lumayan, bisa dimakan adiknya di rumah,” tuturnya.
Rahman (42), ayah siswa kelas VII, menambahkan MBG membuatnya lebih tenang karena anaknya mendapat makanan sehat di sekolah.
“Saya tahu anak saya makan makanan sehat di sekolah. Dulu sering cuma makan mi atau telur aja di rumah,” ujarnya.
Meski mendapat MBG, beberapa orangtua tetap memberikan uang saku karena anak belum tentu menyukai seluruh menu, khususnya sayur dan ikan.
“Kalau menu MBG-nya sayur atau ikan, anak saya suka sisain. Jadi tetap kasih uang saku,” kata Rudi (45), orang tua siswa.
Program ini juga dianggap sebagai sarana edukasi gizi, karena anak melihat contoh menu sehat setiap hari, sekaligus meringankan beban keluarga.
Adapun hal yang masih menjadi tantangan di SMPN 61 Jakarta ialah siswa yang masih tidak suka makan sayur hingga ikan.
Hira (14) siswi kelas IX, mengaku tidak menyukai ikan atau beberapa sayur dalam menu harian.
“Aku suka ayam goreng atau chicken katsu, tapi kalau ikan lele atau ikan kuah aku kurang suka. Sayur sop juga sering aku tinggal karena nggak suka wortel sama jagung,” ujarnya.
Rafa (13) teman sekelas Hira lebih senang jika lauk berupa ayam goreng atau nugget.
“Kalau ada ayam goreng, rame banget yang minta tambah. Tapi kalau sayur asem atau ikan, banyak yang nggak habis makannya,” kata Rafa.
Luluk menilai pola makan di rumah sangat memengaruhi selera siswa.
“Banyak siswa yang di rumah jarang makan sayur dan ikan, jadi waktu dapat menu seperti itu di sekolah, mereka kurang suka. Pola makan mereka memang masih dipengaruhi kebiasaan keluarga,” jelasnya.
Orangtua siswa juga mengakui anaknya sulit menyukai sayur, meski diberikan secara rutin.
“Di rumah saya udah biasain masak sayur, tapi anak saya tetap pilih-pilih. Katanya baunya aneh. Jadi kalau di sekolah juga susah disuruh makan sayur,” kata Sukma (38).
Selain selera, siswa mulai merasa bosan dengan menu MBG yang dianggap monoton. Hira mengatakan menu hampir tiap hari terasa mirip.
“Kalau ayam goreng atau semur telur aku suka, tapi kalau telur kuah kuning sama sayur sop udah sering banget, jadi bosan,” ujarnya.
Farhan (13) juga mulai kehilangan selera makan karena menu yang berulang.
“Dulu semangat banget makan, sekarang kalau lihat ikan lele atau sayur asem, kadang nggak habis. Kalau ayam goreng atau spaghetti, baru deh rame,” katanya.
Luluk menilai kejenuhan wajar karena program MBG berjalan setiap hari.
“Secara gizi sudah baik, porsinya juga cukup. Tapi anak-anak memang cepat bosan. Mereka cenderung suka makanan yang kering, seperti ayam goreng atau chicken katsu,” katanya.
Sekolah telah menyampaikan masukan agar menu lebih variatif, termasuk sistem “request menu” dari siswa agar mereka merasa terlibat dan semangat makan.
Sekolah menilai program MBG perlu inovasi agar lebih efisien dan berkelanjutan.
Sukmi menyarankan opsi bantuan beras sebagai alternatif distribusi makanan siap saji.
“Ke depannya, mungkin tidak harus setiap hari, tapi dua minggu sekali dengan menu yang lebih variatif. Atau bisa juga dalam bentuk bantuan beras supaya lebih fleksibel,” ujarnya.
SMPN 61 Jakarta juga menerapkan sistem tester makanan untuk memastikan kualitas MBG aman dikonsumsi siswa.
“Anak-anak sangat bergantung pada makanan dari program ini. Jadi, keamanan dan kualitasnya harus dijaga betul,” kata Sukmi.
Sekolah juga menilai program MBG tidak mengganggu pendapatan pedagang sekitar karena siswa tetap membeli sarapan dan jajan sepulang sekolah.
Sukmi berharap pemerintah melanjutkan MBG dengan inovasi menu, edukasi gizi, dan pembiasaan makan sehat agar manfaatnya maksimal bagi siswa.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.